Kanal

Setelah Vonis Harvey Moeis; Payahnya Menjaga Asa Warga


Sederhananya, kasus Harvey Moeis adalah cermin buruk wajah hukum Indonesia. Jika dibiarkan, kepercayaan publik akan semakin terkikis, membuka jalan bagi benih anarki dan ketidakpedulian terhadap tatanan sosial. Tak ada opsi lain, Indonesia harus keluar dari kondisi ini dan bangkit

Pada Februari 2023, seorang pria bernama Tono (nama samaran) asal Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terpaksa mencuri beberapa kilogram beras dari sebuah warung kecil. Alasannya sederhana, keluarganya yang terdiri dari tiga anak tidak makan selama dua hari. Ia tertangkap. Meski alasannya masuk akal, pengadilan tetap memvonis Tono satu tahun penjara.

Senin, 23 Desember 2024—di era digital yang setiap perilaku terekam– Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto yang memimpin persidangan kasus korupsi smelter timah di Bangka dengan terdakwa Harvey Moeis, yang disebut-sebut telah merugikan negara hingga Rp 300 triliun, —sekali lagi, triliun!—menjatuhkan hukuman penjara 6,5 tahun kepada terdakwa. Lihat perbandingannya, yang bagai palung—bukan lagi jurang–, menganga hitam karena sedemikian jauh dan dalam.  Seketika, setiap yang berakal akan merasakan ada yang tak normal alias ganjil saat membandingkan kedua kasus tersebut.  

Ketidakadilan yang Melukai Publik

Putusan terhadap Harvey Moeis memantik amarah publik. Bagaimana tidak? Dengan jumlah kerugian negara yang fantastis, hukum seperti memberikan karpet merah bagi pelaku kejahatan elite. Rasa keadilan masyarakat terluka. Bandingkan dengan Tono yang hanya mencuri demi bertahan hidup, tetapi harus menanggung hukuman yang hampir serupa. Hal ini menggambarkan busuknya wajah hukum Indonesia, di mana keadilan seolah memiliki harga yang bisa dinegosiasikan.

Filsuf hukum John Rawls pernah berkata, “Justice is fairness.” Namun, kondisi seperti itu jauh dari apa yang terlihat di ruang-ruang sidang Indonesia. Ketimpangan hukuman yang kita lihat dari kasus Moeis ini menunjukkan bahwa keadilan bukan lagi soal memperbaiki tatanan sosial, melainkan tentang siapa yang memiliki sumber daya untuk mengatur narasi hukum.

Memang ada teori hukum positivis, seperti yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, yang menekankan bahwa hukum adalah sistem aturan yang terpisah dari moralitas. Namun, dalam kasus seperti ini, pemisahan tersebut justru memperlihatkan bahwa hukum dapat digunakan sebagai alat untuk melindungi kepentingan elite, bukan rakyat kecil. Sebaliknya, teori hukum naturalis yang dipelopori Thomas Aquinas berargumen, hukum harus mencerminkan nilai-nilai moral dan keadilan universal. Dalam konteks Indonesia, jelas bahwa praktik hukum saat ini gagal mencerminkan prinsip-prinsip tersebut.

Baca Juga:  Harapan pada Pemerintah

Berkaitan dengan korupsi, Prof. Mahfud MD pernah menyatakan bahwa “korupsi adalah kejahatan luar biasa yang membutuhkan hukuman luar biasa.” Namun, kenyataan di ruang-ruang sidang perkara korupsi, tidak sedikit pun mencerminkan urgensi ini. Vonis ringan untuk Harvey Moeis seolah menunjukkan bahwa kejahatan elite dapat dinegosiasikan, berbeda dengan kejahatan rakyat kecil yang dihukum secara tegas.

Benih Ketidakpercayaan Publik

Ketimpangan seperti itu tidak hanya melukai hati rakyat kecil, tetapi juga membangun benih-benih ketidakpercayaan terhadap hukum. Survei Indonesia Political Opinion (IPO) pada Oktober 2020 menunjukkan bahwa 64 persen responden tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2023 pun mencatat bahwa kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum cenderung menurun, dengan Kejaksaan Agung mendapatkan kepercayaan 72 persen, KPK 68 persen, dan Kepolisian 60 persen.

Ketidakpercayaan publik tersebut berpotensi menumbuhkan sikap apatis terhadap hukum. Dalam banyak kasus, sikap apatis ini dapat berkembang menjadi benih anarki. Contoh riil terlihat pada sejumlah aksi protes jalanan yang berubah menjadi kerusuhan di beberapa kota besar Indonesia. Anak-anak muda, yang semestinya menjadi tumpuan masa depan bangsa, kini semakin banyak yang kehilangan harapan.

Misalnya, ketika seorang pengunjuk rasa dalam aksi di Jakarta pada Desember 2024,–yang menolak menyebutkan Namanya– mengatakan, “Ketika kita melihat kasus korupsi besar hanya dihukum ringan, sementara rakyat kecil yang melanggar hukum demi bertahan hidup dihukum berat, kita mulai bertanya: untuk siapa sebenarnya hukum ini dibuat?” Pertanyaan itu yang kini menggema di berbagai sudut negeri, mencerminkan rasa frustrasi generasi muda terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka.

Sebagaimana dikatakan filsuf Prancis, Michel Foucault, dalam “Discipline and Punish”, hukum dan institusi peradilan sering kali menjadi alat kontrol sosial untuk mempertahankan hierarki kekuasaan. Dalam kasus Harvey Moeis, jelas terlihat bahwa hukum tidak lagi menjadi alat untuk menegakkan keadilan, melainkan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan bagi mereka yang memiliki akses ke sumber daya dan jaringan politik.

Baca Juga:  Efisiensi Hijau di Tengah Gonjang-ganjing Ekonomi Global

Komisi Yudisial (KY), yang diamanatkan untuk menjaga martabat dan integritas hakim, semakin kehilangan wibawa. Lembaga ini nyaris tak terdengar suaranya dalam kasus Harvey Moeis. Padahal, jika KY menjalankan tugasnya dengan lebih tegas, publik setidaknya akan melihat adanya upaya untuk mengawal keadilan.

Ahli hukum terkemuka yang pernah kita punyai,Prof. Satjipto Rahardjo, pernah menegaskan bahwa hukum bukanlah sekadar teks di atas kertas, melainkan harus menjadi alat untuk mencapai keadilan substantif. Namun, keberadaan KY yang lemah menunjukkan bagaimana institusi ini gagal menjadi penjaga moralitas hukum di Indonesia. Dalam kasus Harvey Moeis, KY seharusnya turun tangan dengan mengawasi proses peradilan, memastikan tidak ada kompromi terhadap keadilan.

Potret Suram Masa Depan Generasi Muda

Ketidakadilan sistemik ini menimbulkan dampak besar terhadap generasi muda. Menurut Survei Indeks Optimisme Generasi Muda Indonesia 2023 yang dilakukan Good News From Indonesia (GNFI) bekerja sama dengan Populix, aspek politik dan hukum mendapatkan skor optimisme terendah dibandingkan aspek lain, dengan skor indeks optimisme sebesar 5,72 dari skala 10. Jelas hal itu menunjukkan bahwa generasi muda cenderung kurang optimistis terhadap sektor politik dan hukum di Indonesia.

Selain itu, survei yang sama mengungkap bahwa persepsi terhadap praktik korupsi yang masih tinggi dan penegakan hukum yang tidak diskriminatif menjadi alasan utama pesimisme di kalangan generasi muda terhadap sektor ini.

“Kalau hukum saja tidak adil, untuk apa saya bekerja keras?” kata seorang pemuda asal Medan. Pernyataan itu mencerminkan bagaimana ketidakadilan hukum dapat meruntuhkan moralitas dan etos kerja generasi muda. Mereka tidak lagi melihat Indonesia sebagai tanah harapan, melainkan sebagai tempat yang penuh dengan ketidakpastian.

Solusi: Rekonstruksi Keadilan

Membiarkan kasus seperti Harvey Moeis berlalu tanpa koreksi akan menjadi preseden buruk bagi masa depan hukum Indonesia. Namun, ada langkah-langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki situasi ini, beberapa di antaranya:

Baca Juga:  Negara dan Cerita

-Reformasi Peradilan:
Sistem peradilan harus menjalani reformasi menyeluruh. Hakim yang terbukti melanggar kode etik harus diberi sanksi tegas. Dalam hal ini, KY perlu memperkuat fungsi pengawasannya.

-Peningkatan Transparansi:
Setiap proses hukum, terutama yang melibatkan kasus besar seperti korupsi, harus diawasi secara terbuka oleh publik. Media memiliki peran penting dalam memastikan transparansi ini.

-Pendidikan Hukum:
Pendidikan hukum yang inklusif perlu ditingkatkan agar masyarakat, terutama generasi muda, memahami hak dan kewajiban mereka. Hal ini juga akan membantu membangun kepercayaan terhadap sistem hukum.

-Peningkatan Hukuman untuk Koruptor:
Hukuman untuk kejahatan korupsi harus diperberat. Negara-negara seperti China memberikan hukuman mati bagi koruptor kelas kakap. Meski hukuman mati kontroversial, langkah tegas perlu dipertimbangkan untuk memberikan efek jera.

-Revitalisasi KY:
KY harus direvitalisasi agar lebih proaktif dan memiliki daya tawar yang kuat. Peran KY dalam kasus Harvey Moeis harus menjadi sorotan untuk memastikan bahwa lembaga ini kembali kepada tugas utamanya.

Sederhananya, kasus Harvey Moeis adalah cermin buruk wajah hukum Indonesia. Jika dibiarkan, kepercayaan publik akan semakin terkikis, membuka jalan bagi benih anarki dan ketidakpedulian terhadap tatanan sosial. Namun, Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit.

Masyarakat harus terus menyuarakan ketidakadilan ini. Media, organisasi masyarakat sipil, dan generasi muda harus bersatu untuk menuntut perubahan. Dengan kerja keras dan komitmen bersama, keadilan dapat kembali menjadi landasan utama hukum Indonesia.

Tokoh HAM dunia, Nelson Mandela, pernah bilang, “It is in the character of growth that we should learn from both pleasant and unpleasant experiences.” Indonesia harus belajar dari pengalaman buruk ini untuk membangun sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada kebenaran.

Inilah saatnya kita mempertanyakan: apakah kita akan membiarkan hukum tetap menjadi alat bagi mereka yang berkuasa, ataukah kita akan memperjuangkan keadilan yang sesungguhnya? 

Back to top button