Tebang Pilih Pajak Lewat PPN 12 Persen, Ekonomi Bakal Layu di Tahun Ular Kayu

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen sangat tak adil karena lebih menggencet kelas menengah ke bawah, ketimbang kelompok kaya. Padahal, kelompok kaya menguasai ekonomi hingga 50 persen.
Berdalih undang-undang warisan Jokowi, tim ekonomi Presiden Prabowo mengumumkan kenaikan PPN 12 persen, mulai 1 Januari 2025. Ini kebijakan berisiko serius. Berpotensi meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Mudah-mudahan tak ada gejolak sosial.
Didampingi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto didampingi Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengumumkan kenaikan PPN 12 persen, pertengahan Desember lalu.
Lagi-lagi alasannya UU No 21 Tahun 2021 tentang Harmosasi Peraturan Pajak (HPP). Tak ada kajian akademik yang dijadilan landasan dari kebijakan itu.
“Ini amanah UU Harmoni Peraturan Perpajakan. Ini sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, tarif PPN naik 12 persen per 1 Januari (2025),” kata Airlangga.
Dia pun menjamin, sejumlah kebutuhan pokok seperti beras, daging ayam ras, daging sapi, ikan, telur ayam ras, cabai hijau, cabai merah, cabai rawit, bawang merah, dan gula pasir, tidak kena PPN. Sedangkan tepung terigu, Minyakita, dan gula industri dikenakan PPN 11 persen, sedangnan 1 persen sisanya ditanggung pemerintah. Istilahnya PPN DTP 1 persen.
Sedangkan Sri Mulyani, menyampaikan, keputusan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 ini, tetap memperhatikan keadilan, keberpihakan kepada masyarakat kecil, serta gotong royong.
“Setiap tindakan memungut (pajak) harus dilakukan berdasarkan undang-undang. Dan bagi kelompok masyarakat tidak mampu akan dilindungi, bahkan diberikan bantuan,” ucap Sri Mulyani.
Di sisi lain, mantan Presiden Jokowi yang mengesahkan UU HPP, membela keputusan Presiden Prabowo terkait PPN 12 persen. “Kita dukung keputusan pemerintah. Pasti ada pertimbangan-pertimbangannya,” ujar Jokowi di kediamannya di Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Jumat malam (27/12/2024).
Menurut Jokowi, penetapan PPN 12 persen sudah benar, karena menjalankan amanat UU HPP. “Itu sudah diputuskan dalam harmonisasi peraturan perpajakan oleh DPR RI, pemerintah harus jalankan,” kata dia.
Dia meyakini, pemerintah tentunya sudah mengkaji dengan teliti dan matang sebelum memutuskan pemberlakuan PPN 12 persen. Termasuk dampaknya kepada masyarakat.
“Sekali lagi pemerintah pasti sudah menghitung dan mempertimbangkan matang. Itu (dampak masyarakat) pemerintah sudah berhitung serta lakukan kalkulasi pertimbangan,” kata dia.
Ya, sah-sah saja Airlangga maupun Sri Mulyani dan Jokowi menilai pemberlakuan PPN 12 persen pada 2025, sudah tepat. Tak akan terjadi kenaikan harga bartang dan jasa yang mempersulit hidup rakyat kecil.
Tapi, janggal saja pernyataan itu. Ketika PPN naik pastilah direspons dengan kenaikan harga barang dan jasa. Industri pasti menaikkan harga jika bahan baku naik sebagai dampak PPN 12 persen.
Suka atau tidak, daya beli masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bahkan bukan hanya Indonesia, di negara lain pun kurang lebih sama. Tapi sayangnya itu tadi, pemerintah abai terhadap kenyataan itu.
Selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024, terjadi deflasi. Memang betul deflasi bermakna harga barang dan jasa turun. Tapi karena tak laku alias tak ada pembeli. Ya, karena itu tadi, daya beli lunglai.
Atau fenomena makan tabungan yang ngetren disebut ‘mantab’. Diduga marak sejak awal tahun ini. Salah satu Direktur BCA, Santoso pernah menyatakan nasabah kelas menengah ke bawah, terjun bebas. Istilahnya, mereka sedang memasuki ‘survive mode’.
Diduga kuat, dampak dari pelemahan perekonomian Indonesia. Betul. Banyak perusahaan terpaksa tutup gara-gara tak kuat menahan beban operasional.
Omzetnya turun signifikan. Ujung-ujungnya, mereka harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). “Mungkin juga ada yang terkena PHK. Atau mungkin bisnisnya lagi sepi. Jadi, memang itu adalah realita,” kata Santoso, September 2024.
Masuk akal. Melemahnya daya beli berdampak kepada lesunya industri tutup, melahirkan PHK di mana-mana.
Tahun ini, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyebut, jumlah PHK mencapai 80.000 pekerja. Angka pastinya tentu lebih gede lagi. Banyak perusahaan nakal yang tak lapor ketika putuskan PHK.
Fakta lain yang menggambarkan lesunya daya beli adalah pertumbuhan konsumsi rumah tangga di kuartal III-2024, hanya 4,91 persen secara tahunan (year on year/yoy). Turun 0,48 persen ketimbang kuartal sebelumnya.
Atau menyoal anjloknya omzet usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) hingga 60 persen pada tahun ini. Angka ini dikutip dari laporan Bank BRI. Kurang lakunya produk UMKM, lagi-lagi karena anjloknya daya beli.
Tapi, seluruh kejadian itu tak mendapat atensi pemerintah. Buktinya, pemerintah tetap saja memutuskan PPN 12 persen di tahun depan.
Tolak PPN 12 Persen
Sejumlah ekonom muda yang tergabung dalam lembaga riset Center of Economics and Law Studies (Celios), getol menyuarakan penolakan PPN 12 persen. Tak main-main, penolakan ini dilandasi kajian akademik yang cukup otentik.
Mereka tak yakin keputusan PPN 12 persen mulai 1 Januari 2025 hanya sekadar manut UU HPP. Pastilah ada uang di balik batu. Misalnya, negara butuh uang gede untuk membiayai sejumlah program, termasuk membayar utang dan bunganya.
Tahun ini saja, APBN 2025 harus siapkan dana jumbo untuk membayar utang jatuh tempo serta bunga utang. Angkanya tembus Rp1.350 triliun. Untuk membayar utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun dan bunga utang Rp552,9 triliun.
“Kami akan menerima PPN itu naik jika pemerintah punya kajian akademik yang kuat. Tapi hingga saat ini kan enggak ada. Kebijakan publik yang baik itu harus ada pembandingnya. Ada kajian akademiknya,” kata Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Wahyu Media Askar kepada Inilah.com, Sabtu (28/12/2024).
Masalah PPN 12 persen jelas bukan perkara ecek-ecek. Sehingga perlu ada kajian akademis yang komprehensif. Apalagi masalah PPN menyangkut kehidupan 17,3 persen kelas menengah. Kalau ditambah kelas bawah, menjadi 69 persen.
Bandingkan dengan penerimaan negara dari pajak kekayaan, karbon, ekspor batu bara dan digital. “Hitung semua dengan cermat, sehingga bisa dipilih opsi yang paling berkeadilan dan paling rendah dampaknya untuk masyarakat kecil,”‘ kata peraih gelar PhD dari University of Manchester itu.
Selanjutnya, pria kelahiran Batu Sangkar, Sumatra Barat ini, membeberkan hasil riset Celios yang menyebut PPN 12 persen lebih sarat mudarat ketimbang manfaat. Bahkan ada unsur akal-akalannya.
Misalnya, PPN naik dari 11 persen ke 12 persen, sejatinya naiknya bukan 1 persen. Cara menghitungnya 12 dikurangi 11 dibagi 11, kemudian dikalikan 100 persen. Ketemulah angka 9 persen.
Belum lagi pertumbuhan ekonomi 2025 diprediksikan bakal remuk di level 4,09 persen jika PPN 12 persen diterapkan. Angka inflasi tembus 4,11 persen, membuat daya beli semakin nyungsep.
Upaya pemerintah membangun industri manufaktur demi majunya perekonomian juga bakal gagal total. Rasa-rasanya, industri bakal melakukan banyak PHK. Celios memprediksikan PHK tembus 550.000 pekerja.
Dari sisi beban hidup kelas menengah ke bawah, menurut Media, justru semakin berat ketika PPN 12 persen diberlakukan. “Untuk rumah tangga miskin, rentan miskin dan menengah bakalan kena dampaknya. Pengeluaran bulanan naik bervariasi,” ungkap Media.
Di mana, pengeluaran kelompok miskin bertambah Rp101.880/bulan atau Rp1.222.566/tahun. Kelompok ini akan mengurangi belanja non-esensial (pendidikan dan kesehatan. Menarik tabungan dan kualitas konsumsi sehari-hari.
Untuk kelas rentan miskin, tambahan pengeluaran bulanan mencapai Rp153.871, atau Rp1.846.455/tahun.
Kondisi ini membuat kelompok ini terancam turun kasta menjadi miskin. Untuk bertahan hidup, mereka tarpaksa mengurangi tabungan atau investasi, serta konsumsi/jasa penting (pendidikan, kesehatan).
Sedangkan tambahan pengeluaran yang harus ditanggung kelas menengah sebesar Rp354.293/bulan, atau Rp4.251.522/tahun.
Walhasil, kelas ini harus mengurangi belanja non-esensial (hiburan, piknik, barang mewah). Memengaruhi industri domestik seperti pariwisata dan ritel. Penurunan kualitas hidup dan berpotensi turun kelas masuk kelompok miskin.
Minus Pajak Kekayaan dan Ketimpangan Ekonomi
Ngotot memberlakukan PPN 12 persen, menurut Media, risikonya ketimpangan ekonomi semakin menjulang. Karena, pemerintah tak berani menetapkan pajak kekayaan kepada para triliuner Indonesia.
“Dari PPN 12 persen, menurut hitungan almarhum Bang Faisal, hanya dapat Rp50 triliun. Tapi jika terapkan pajak kekayaan sebesar 2 persen dari 50 triliunan, negara dapat Rp81 triliun. Tapi tidak dijalankan. Ini pertanda, kelompok oligarki bisa memengaruhi kekuasaan,” ungkapnya.
Selain itu, pajak kekayaan dari 50 triliuner itu, berkontribusi sebesar 2,45 persen terhadap APBN 2024 sebesar Rp3.325 triliun. Setara 4,11 persen dari penerimaan pajak 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun.
Dari 50 triliuner Indonesia yang dimaksud Celios, tiga besarnya diduduki Budi dan Michael Hartono (Djarum Group) yang berharta US$48 miliar, atau Rp777,6 triliun; Prajogo Pangestu (Barito Pacific) berharta US$43,7 miliar setara Rp707,9 triliun dan Low Tuck Kwong berharta US$27,2 miliar atau setara Rp440,6 triliun.
Selama berbisnis di Indonesia, para triliuner itu sangat dimanjakan pemerintah. Begitu banyak insentif pajak yang mereka terima. Sehingga wajar jika kekayaan mereka bisa meroket dalam waktu singkat.
Kekayaan tiga triliunan papan atas itu, tumbuh di atas 300 persen dalam dalam tiga tahun. Bak bumi dan langit dibandingkan pekerja yang upahnya hanya naik 15 persen dalam tiga tahun.
Jika ditotal, kekayaan 50 triliuner Indonesia cukup untuk membayar gaji/upah untuk 96,39 juta tenaga kerja di Indonesia selama 13 bulan.
Ketika rakyat kecil yang diwakili kelas menengah ke bawah kehidupannya kembang kempis, namun harus menanggung PPN 12 persen, sementara kelompok kaya justru ‘dimanjakan’ negara dengan insentif pajak yang luar biasa.
Di banyak negara biasanya menerapkan empat jenis pajak yakni pajak konsumsi (PPN), pajak penghasilan, capital income dan pajak kekayaan. Anehnya, Indonesia tak memiliki kebijakan pajak kekayaan.
Idealnya, pajak konsumsi, penghasilan dan capital income diterapkan kepada seluruh warga negara. Belum lagi, rencana pengampunan para pengemplang pajak atau tax amnesty untuk orang kaya. Semakin tak adil negeri ini dalam menerapkan pajak.
Jangan heran jika Kekayaan konglomerat membengkak cepat, karena tak tersentuh pajak penghasilan dan kekayaan. Sementara kelas menengah ke bawah, dikejar-kejar pajaknya. Baik berupa pajak konsumsi (PPN) dan pajak penghasilan.
Alhasil, pajak kelas menengah-bawah di Indonesia memberikan kontribusi terbesar terhadap penerimaan negara. Sebagian besar pajak di Indonesia, bukan berasal dari kantong konglomerat.
“Saat ini, terjadi ketimpangan yang luar biasa di AS dan Eropa. Sehingga para ekonom di sana setuju mengatasinya dengan kebijakan pajak yang lebih progresif. Kuncinya, terapkan pajak aset atau kekayaan. Sayangnya, hingga hari ini, Indonesia tidak jalankan,” pungkasnya.
Kelas Menengah Makin Terjepit
Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono sepakat dengan kajian Celios. Bahwa PPN 12 persen mengerek harga barang dan jasa yang signifikan. Ujungny, menyengsarakan rakyat jelata.
Dalam simulasi Next Policy, belanja konsumen rumah tangga sepanjang 2024, ketika PPN masih 11 persen, mencapai Rp24,1 triliun. Ketika PPN naik menjadi 12 persen, melonjak menjadi Rp64,6 triliun. “Ini keputusan PPN 12 persen berisiko tinggi,” kata Yusuf.
Simulasi dilakukan terhadap 276,8 juta orang (konsumen) yang berasal dari lima kelompok kelas ekonomi. Yakni, miskin, rentan miskin, calon kelas menengah, kelas menengah, dan kelas atas.
Di mana, estimasi beban yang ditanggung konsumen mengalami kenaikan. Pada 2024, ketika PPN masih 11 persen, total beban konsumen mencapai Rp318,35 triliun. Ketika diberlakukan PPN 12 persen, beban tersebut naik menjadi Rp382,99 triliun.
Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan, beban PPN terbesar ditanggung kelas menengah. Dari estimasi total beban PPN Rp294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8 persen atau senilai Rp120,2 triliun ditanggung kelas menengah.
Mencakup 18,8 persen dari total penduduk. “Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini,” kata Yusuf.
Selain itu, pemberlakuan PPN 12 persen melemahkan ketahanan ekonomi sebagian besar masyarakat. Bahkan, kelas menengah yang memiliki ketahanan ekonomi tinggi ikut goyah juga.
Diperkirakan jumlah kelas menengah turun dari 56,2 juta jiwa, atau 20,68 persen pada Maret 2021, menjadi 52,1 juta jiwa atau 18,83 persen pada Maret 2023.
Yusuf mengingatkan, tidak ada sejarahnya PPN naik tidak berdampak kepada inflasi. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan listrik pelanggan rumah tangga yang selama ini, bebas PPN, bakal kena PPN 12 persen.
“Ketika dipandang pemerintah sebagai barang mewah. Misalnya, pakaian, sabun, pulsa internet, hingga transaksi uang elektronik,” pungkasnya.