UU TNI Hanya Awal? Ancaman Dominasi Militer dan Represi Hukum

Empat hari jelang Lebaran 2025, ribuan mahasiswa dan masyarakat sipil masih berdemo di depan Gedung DPR menolak pengesahan UU TNI. Aksi serupa terjadi di berbagai daerah, menuntut penolakan kembalinya dwifungsi TNI. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyebut demo sebagai puncak kekecewaan terhadap DPR dan pemerintah yang dianggap hanya menjadi “tukang stempel” elit politik.
Lucius Karus, peneliti Formappi, menyatakan DPR telah kehilangan kepercayaan publik sejak 2014. “Pemilu 2019 dan 2024 gagal lahirkan anggota DPR yang representatif. Mereka justru terjebak kompromi politik elit,” tegasnya. Revisi UU TNI dinilai sebagai contoh nyata pengabaian partisipasi publik, mirip revisi UU KPK, Cipta Kerja, dan IKN yang dilakukan tertutup dan manipulatif.
Kekhawatiran publik makin menjadi ketika DPR berencana merevisi Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Polri, dan Kejaksaan. Lucius mengingatkan agar DPR tidak mengulangi kesalahan dengan mengabaikan prosedur transparan. “Jika DPR tetap acuh, konsolidasi penolakan publik bisa berujung pada hal tak terduga,” imbuhnya.
Anggota Komisi III DPR Hasbiallah (PKB) membantah tudingan itu. Ia menyebut revisi KUHAP diperlukan karena sudah berusia 43 tahun dan harus selaras dengan KUHP 2026. “Pembahasan akan melibatkan akademisi dan masyarakat,” janjinya. Namun, terkait RUU Polri, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku belum menerima Surpres dari Presiden, sehingga pembahasan belum dimulai.
Meski demikian, publik skeptis. Lucius mencurigai revisi UU Polri dan Kejaksaan berpotensi dijadikan alat kekuasaan untuk mengendalikan stabilitas politik. “Instrumen hukum bisa digunakan untuk membungkam kebebasan,” katanya. Mahasiswa dan aktivis terus mendesak DPR menghentikan pola legislasi tertutup, sambil bersiap mengawal proses revisi UU selanjutnya.
Ulasan lebih lengkap bisa dibaca di Insider edisi 6 April 2025 di tautan ini: Setelah UU TNI, Kini Giliran Polri dan Kejaksaan