Belanja Daerah dan Bias Kriminalisasi

Rendahnya realisasi penyerapan anggaran daerah pada akhir tahun 2024 kembali memunculkan tanya sejauh mana komitmen desentralisasi fiskal ditegakkan seutuhnya? Pertanyaan ini menjadi penting karena daerah adalah ujung tombak dan pelaksana teknis pembangunan. Rencana pembangunan ambisius yang dirancang pemerintah pusat hanya akan menjadi ide konseptual semata jika kinerja ekonomi daerah tidak mampu berjalan dengan sigap dan terarah.
Dalam Laporan Kementerian Keuangan (2025), realisasi serapan belanja daerah secara agregat sepanjang tahun 2024 hanya mencapai 87,19 persen. Serapan terbesar berasal dari belanja pegawai sebesar 90,81 persen, belanja barang dan jasa 84,95 persen, dan belanja modal 81,55 persen. Jika dilihat lebih rinci terkait kontribusi jenis belanja, belanja operasi masih menjadi kontributor terbesar jenis belanja daerah.
Badan Pusat Statistik (2024) mencatat realisasi belanja barang dan jasa pemerintah provinsi pada 2023 mencapai 28,82 persen, diikuti oleh belanja pegawai sebesar 24,16 persen. Secara akumulatif, belanja operasi mencapai 64,26 persen dari total belanja pemerintah provinsi. Bandingkan dengan belanja modal yang hanya terealisasi sebesar 14,27 persen. Fakta yang sama terlihat dari realisasi belanja operasi di pemerintah kabupaten dan kota yang mencapai 68,68 persen. Belanja pegawai mencapai 33,11 persen, diikuti belanja barang dan jasa sebesar 30,39 persen. Sementara belanja modal hanya sebesar 17,96 persen.
Deretan fakta itu menjelaskan terjadinya paradoks berganda dalam kinerja fiskal daerah. Di satu sisi, rendahnya realisasi serapan anggaran menandaskan pemerintah tidak mampu menggunakan semua anggaran yang dimilikinya untuk menopang program-program pembangunan. Serapan yang tidak optimal berarti hilangnya kesempatan untuk memacu aktivitas ekonomi di daerah, yang berdampak pada rendahnya kinerja perekonomian nasional. Di sisi lain, rendahnya kontribusi belanja modal mencerminkan komitmen pemerintah daerah yang tidak ramah pada investasi jangka panjang. Padahal, belanja modal adalah katalis pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan sarana dan prasarana publik.
Dari sisi pendapatan, sebagian besar daerah di Indonesia masuk kategori tidak mandiri. Terdapat 368 kabupaten dan kota atau 72 persen yang masuk kategori ketergantungan tinggi. Ini terlihat dari ketergantungan kabupaten dan kota terhadap dana transfer yang mencapai 80,7 persen, sementara pendapatan asli daerah hanya menyumbang 18,2 persen (LPEM FEB UI, 2025). Dengan kata lain, pemerintah daerah memiliki risiko fiskal yang sangat tinggi. Jika terjadi perubahan pola kebijakan pemerintah pusat, seperti efisiensi belanja, dampaknya sangat terasa dan langsung terhadap keberlanjutan fiskal.
Persoalannya kian rumit dengan rendahnya disiplin fiskal daerah. Hal ini telah menjadi persoalan endemik dan historikal. Serapan anggaran tidak memiliki pola yang solid dan terukur dalam satu tahun anggaran. Realisasi menumpuk di semester kedua, bahkan bulan-bulan terakhir di tahun bersangkutan. Padahal, realisasi anggaran yang tidak disiplin berpengaruh terhadap daya saing pembangunan. Pembangunan fisik, misalnya, jika digenjot di akhir periode demi mengejar realisasi, tentulah kualitas bangunannya tidak akan optimal. Begitu juga belanja non-fisik, seperti bantuan sosial, hal ini jelas akan berpengaruh terhadap kualitas hidup masyarakat terdampak, terutama dari sisi daya belinya.
Karena itu, apologi bahkan penyangkalan kinerja dengan menyalahkan ketidakpastian peraturan hukum adalah sesuatu yang tidak beralasan. Dampak derivatif penyangkalan ini berimplikasi pada dua hal: beban fiskal dan ongkos pembangunan. Dari sisi fiskal, rendahnya realisasi anggaran berdampak pada semakin tertekannya beban pembiayaan terutama yang bersumber dari utang luar negeri. Dengan penyerapan di semester pertama yang teramat rendah, potensi anggaran terserap penuh dalam satu tahun masa anggaran akan sulit terwujud. Dalam logika matematika sederhana, idealnya penyerapan anggaran terjadi pada angka 25 persen di setiap triwulannya.
Penyangkalan Hukum
Menuding ketidakpastian hukum sebagai penyebab mandeknya realisasi anggaran adalah keliru pikir yang berbahaya. Kriminalisasi kebijakan ini tidak memiliki dasar akademis yang dapat dipertanggung jawabkan. Dalam kepustakaan pidana, terminologi kriminalisasi ini dikenal dengan overcriminalization, yakni surplus jumlah dan luasnya keterjangkauan hukum pidana (Stephen F. Smith, Overcoming Overcriminalization, 2012).
Maka pertanyaannya, apakah memang ciri hukum pidana kita seperti itu? Sejauh mana hukum pidana ini menjangkau tindakan administrasi pejabat negara ketika memutuskan suatu kebijakan? Dan yang terpenting, apakah implikasi atas kebijakan tersebut tunduk kepada hukum pidana? Deretan pertanyaan inilah yang kerap menjadi dasar apologia birokrat daerah sehingga lamban dalam memutuskan kebijakan pembangunan. Parahnya lagi, apologia ini telah menjadi sikap kolektif dan bertendensi ke arah ketakutan yang berlebihan.
Sebenarnya hukum pidana korupsi kita telah memberikan ketentuan yang tegas dan jelas tentang batasan tindakan administrasi negara yang berkualifikasi tindak pidana korupsi. Dari berbagai klausula yang diatur dalam UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah terakhir dengan UU 19/2019, kualifikasi tindakan administrasi tercermin langsung pada tindakan merugikan keuangan negara (Pasal 2 dan 3), penyalahgunaan dalam jabatan (Pasal 8, 9, dan 10), serta pengadaan (Pasal 12). Dari semua perbuatan berkategori koruptif, muaranya tetap satu: niat jahat.
Faktorial determinasi ini sulit dielak sebab secara teoritik dan empirik, bertindak sesuatu tanpa didasari niat jahat sangat sulit dinalarkan. Maka lokus perkaranya: adakah niat jahat dari pengambil kebijakan ketika mengambil keputusan publik tertentu? Niat jahat inilah yang menjadi batasan hukum untuk menentukan suatu tindakan administrasi merupakan pelanggaran pidana atau bukan. Artinya, sanksi pidana korupsi tidaklah dilihat dari keputusan yang diambil, melainkan ada tidaknya niat jahat (mens rea) dan perbuatan jahat (actus reus). Jika memang keputusan tersebut diambil dengan niat yang baik, maka seharusnya tidak ada alasan untuk menjerat pengambil keputusan tersebut.
Dengan terangnya berbagai klausula yuridis ini, sejatinya tidak ada alasan untuk berbagai upaya afirmasi dari pemerintah pusat. Bahkan jenis upaya seperti ini hanya akan menjadi serba parsialistik. Yang justru perlu dikedepankan dan dilaksanakan secara konsisten adalah skema insentif dan disinsentif berupa pemotongan dana transfer bagi daerah yang realisasi belanja pembangunannya rendah. Cara ini jauh lebih efektif dan tepat arah sebab persoalan kinerja ini sekadar apologia belaka. Daerah tidak kunjung memperlihatkan produktivitas memadai untuk menggenjot kemajuan pembangunannya.
Lagipula, faktanya, korupsi kepala daerah terjadi bukan karena sengkarut dan penegakan kebablasan peraturan hukum, namun disebabkan perilaku yang jelas-jelas koruptif dari institusi daerah itu sendiri. Dari berbagai modus korupsi yang dilakukan, sulit menjelaskan absennya motif jahat. Jika memang faktanya niat jahat adalah pangkal determinasi tindakan jahat, argumen kriminalisasi kebijakan telah benar-benar kehilangan pijak akademik dan empiriknya sekaligus.