Sulsel

Suku Kajang Ammatoa, Menjaga Tradisi di Tengah Modernisasi

INILAHSULSEL.COM – Suku Kajang Ammatoa adalah salah satu suku yang berada di kabupaten Bulukumba, Kecamatan Kajang, Sulawesi Selatan. Suku ini menghuni Desa Tana Toa yang dianggap sebagai tanah tertua di dunia menurut kepercayaan masyarakat adat setempat.

Dengan luas wilayah sekitar 331,17 hektar, desa ini didominasi oleh hutan yang sangat lebat, tanpa ada jalan beraspal di dalam kawasannya.

Di antara suku yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan, Suku Kajang Ammatoa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang kokoh memegang tradisinya.

Kajang Dalam dan Kajang Luar

Daerah suku kajang terbagi menjadi dua, yakni Kajang Dalam dan Kajang Luar. Batas antara keduanya ditandai dengan pintu gerbang berarsitektur tradisional Kajang.

Kehidupan mereka juga berbeda. Masyarakat Kajang dalam masih memegang teguh adat tradisional mereka. Mereka hidup sederhana tanpa teknologi sebab dianggap dapat menganggu hubungan manusia dengan lingkungan alam.

Berbeda dengan Kajang Dalam, Kajang Luar sudah menerima perubahan. Mereka memiliki listrik dan memiliki kehidupan yang relatif modern. Mereka juga menempatkan dapur dan buang air di belakang rumah. Hal ini berbeda dengan Kajang Dalam yang menempatkan dapur dan tempat buang air di depan rumah.

Agama Suku Kajang Ammatoa

Agama masyarakat Kajang secara administratif adalah Islam. Meski begitu, baik Kajang dalam maupun Kajang Luar melakukan pengamalan agama yang berbeda.

Bagi orang Kajang Dalam, mereka masih memegang teguh ajaran leluhur yang bersumber dari Pasang ri Kajang atau Hukum Tidak Tertulis. Adapun Islam yang diyakini adalah Islam kebatinan atau tarekat.

Mereka mengamalkan konsep “sembayang tatappu je’ne talluka” atau dalam Bahasa Indonesia berarti “sholat yang tak putus-putus dan wudhu yang tak pernah batal”.

Sementara itu, bagi orang Kajang Luar, mereka tetap menjalankan syariat islam seperti sholat, puasa, zakat, dan haji.

Pemimpin Suku Kajang Ammatoa

Masyarakat Kajang dimpimpin oleh pimpinan adat tertinggi Suku Kajang yang disebut Ammatoa. Amma memiliki arti Bapak, sedangkan Toa berarti yang dituakan.

Ammatoa tidak dipilih oleh rakyat, bukan juga dari garis keturunan maupun penunjukkan dari pemerintah. Ammatoa ditunjuk melalui proses ritual di dalam hutan tombolo atau hutan keramat yang disebut Turiek Akrakna (yang berkehendak).

Ammatoa akan menjabat sebagai pimpinan adat seumur hidupnya. Artinya, pimpinan Ammatoa baru akan berganti ketika Ammatoa yang lama sudah meninggal dunia.

Ammatoa juga memegang teguh nilai-nilai kepemimpinan yang memberikan fondasi kuat bagi hubungan sosial dan tata kelola masyarakat, yakni:

Kejujuran

Kejujuran menjadi pijakan utama dalam interaksi sosial masyarakat Suku Kajang. Ammatoa, sebagai pemimpin, dihormati karena integritasnya yang tidak tergoyahkan. Masyarakat meyakini prinsip bahwa “lambusunuji nukareng”, yang berarti kejujuran menjadi landasan yang mengangkat seseorang menjadi karaeng.

Keteguhan

Konsep keteguhan atau ‘gattang’ sangat dihargai dalam Suku Kajang. Hal ini mencerminkan kekuatan dan keteguhan dalam pendirian. Sistem peradilan adat Suku Kajang menegaskan bahwa tidak ada pembedaan dalam penerapan hukuman, bahkan terhadap kerabat atau anggota keluarga sendiri. Prinsip ini menegaskan bahwa keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu.

Demokrasi

Meskipun Ammatoa tidak dipilih secara langsung oleh rakyat, partisipasi masyarakat tetap diakui dalam proses kepemimpinan. Aspirasi dan masukan dari masyarakat menjadi pertimbangan penting bagi Ammatoa dalam pengambilan kebijakan dan tindakan. Hal ini menunjukkan adanya inklusivitas dalam pengambilan keputusan.

Persatuan

Konsep persatuan dan solidaritas di Suku Kajang dikenal dengan istilah “assikajangeng“, yang berarti menjadi bagian dari komunitas Kajang. Ammatoa selalu berupaya menjaga kesatuan dan solidaritas di antara masyarakat, baik di wilayah adat maupun Kajang luar. Musyawarah, atau ‘abborong’, menjadi salah satu bentuk konkret dari persatuan ini, di mana kegiatan dilakukan secara bersama-sama setelah melalui proses musyawarah.

Dengan memegang teguh nilai-nilai ini, Ammatoa tidak hanya menjadi pemimpin, tetapi juga pemelihara kearifan lokal dan harmoni sosial di dalam masyarakat Suku Kajang.

Lestarikan Hutan dan Pandai Menenun

Suku Kajang Ammatoa dikenal sangat menjaga kelestarian hutan. Hutan diserahkan kembali kepada pemangku adat untuk dikelola. Pengolahan hutan ini tidak terlepas dari amanah masyarakat Kajang yang memahami bahwa dunia yang diciptakan oleh oleh Turie’ A’ra’na (Tuhan) beserta isinya haruslah dijaga, terutama hutan.

Salah satu pasal dari amanah tersebut berbunyi “Anjo boronga anre nakulle nipanraki, punna nipanraki boronga, nupanraki kalennu” yang artinya, hutan tidak boleh dirusak, kalau kamu merusak hutan, sama halnya kamu merusak dirimu sendiri.

Selain itu ada juga pasal lain yang berbunyi “Anjo natahang ri boronga karana pasang, rettopi tanayya rettoi ada.” Artinya, hutan bisa lestari karena dijaga oleh adat, jika bumi hancur, maka hancur pula adat Ammatoa.

Tidak hanya ahli dalam menjaga hutan, masyarakat Suku Kajang juga terkenal terampil dalam bertenun. Hasil tenunan inilah yang dijadikan sumber pendapatan mereka. Selain itu, mereka juga menjual hasil tani dan kebun mereka untuk dijual di pasar tradisional.

Rumah Adat

Ada hal yang menarik dari suku Kajang, yaitu rumah adat mereka. Bentuk rumah adat masyarakat Kajang adalah rumah panggung yang mirip dengan rumah adat suku Bugis dan Makassar. Hanya saja, pola rumah ini adalah berkelompok dan dibangun membelakangi Borong Karama’ (Hutan keramat).

Dengan kata lain, semua rumah orang Kajang menghadap ke barat (Gunung Bawakareng), tertata rapi serta berjejer dari utara ke selatan.

Wisata ke Desa Kajang Ammatoa

Bagi wisatawan yang ingin melihat langsung kearifan lokal dari Suku Kajang Ammota, mereka dapat langsung berkunjung ke Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Pengunjung akan disuguhkan dengan wisata budaya yang sangat berkesan dan tentunya akan menjadi pengalaman menarik untuk diceritakan nantinya.

Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jika ingin berkunjung ke desa ini. Para wisatawan diwajibkan berpakaian serba hitam dari atas hingga bawah. Hal ini penting karena pakaian tersebut merupakan identita dari masyarakat Suku Kajang Ammatoa.

Warna hitam dalam pakaian mereka menunjukan kekuatan dan kesamaan derajat semua orang di hadapan sang pencipta.

Selain berpakaian hitam, masyarakat Kajang Ammatoa juga menggunakan baju celana yang hampir menyentuh lutut, sarung, daster, dan ikat kepala bagi laki-laki. Mereka juga tidak menggunakan alas kaki.

Back to top button