Market

Kebijakan Kenaikan PPN dan Daya Rusaknya terhadap Ekonomi


Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terus memicu kontroversi. Kalangan masyarakat menolak karena kebijakan tersebut disinyalir bakal menaikkan harga dan memengaruhi daya beli. Kalangan praktisi dan ekonom menilai kebijakan kenaikan PPN akan punya daya rusak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan, kebijakan kenaikan tarif PPN yang diterapkan Pemerintahan Prabowo—meski diklaim hanya pada barang dan jasa mewah— akan berdampak langsung terhadap konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi motor utama perekonomian Indonesia. 

“Ketika konsumsi rumah tangga terganggu, ekonomi secara keseluruhan akan terganggu,” ujar Nailul Huda kepada wartawan Inilah.com Ucha Julistian Mone pada Selasa, 24 Desember 2024.

Ia memperkirakan, jika kebijakan PPN terus berlangsung, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 hanya akan mencapai 4,1 persen. “Namun, ada faktor-faktor lain seperti kenaikan UMP yang mungkin bisa sedikit mengangkat ekonomi. Secara keseluruhan, kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2024 akan berada di angka 4,8 hingga 4,9 persen,” kata Huda.

Baca Juga:  Harga Bawang Putih di Jakarta Masih di Kisaran Rp40 Ribu/Kilogram

Senada, pemerhati ekonomi sekaligus Country Manager Center for Market Education Indonesia (CME-ID), Alfian Banjaransari menyatakan kenaikan pajak terasa dampaknya, terutama bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. 

“Kenaikan pajak, walau hanya 1%, artinya mengambil daya beli dari konsumen dan mengalihkannya menjadi prerogatif pemerintah. Belum tentu masyarakat yang terkena dampak kenaikan pajak ini merasakan langsung manfaatnya,” ujar Alfian Banjaransari.

Alfian menyebut, rasio pembayar pajak (taxpayer) di Indonesia mentok di 10% dari PDB, sementara wajib pajak perorangan hanya sekitar 6% dari jumlah penduduk. “Padahal bansos dan subsidi justru dinikmati oleh masyarakat di luar yang 6% itu. Ironis bukan? Jadi, alangkah lebih baiknya jika pemerintah meningkatkan rasio taxpayer, justru untuk menciptakan keadilan,” kata Alfian.

Baca Juga:  Kebangetan! Lebaran 4 Hari Lagi, Masih Ada 40 Perusahaan Belum Bayar THR

Pemerintah menyanggah kenaikan PPN jadi 12% akan menjadi bumerang ekonomi. Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan dan Pengelolaan Usaha BUMN, Kemenko Perekonomian RI, Ferry Irawan mengatakan, pemerintah telah menyiapkan paket stimulus ekonomi 2025 sebagai langkah penyeimbang pemberlakuan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. 

“Paket kebijakan tersebut didesain untuk merespons berbagai guncangan ekonomi yang dialami masyarakat saat ini,” kata Ferry Irawan. 

Ferry menjelaskan, stimulus kebijakan tersebut menyasar tiga segmen masyarakat, antara lain masyarakat berpendapatan rendah, UMKM/Wirausaha/Industri, dan kelas menengah. Untuk masyarakat berpendapatan rendah diberikan insentif berupa PPN DTP (Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah) sebesar 1% dari kebijakan PPN 12% untuk Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting (Bapokting)  berupa Minyakita, tepung terigu, dan gula industri. 

Baca Juga:  GIAMM Cemas Komponen Otomotif China Banjiri RI Imbas Kebijakan Gila Trump

Selanjutnya, bantuan pangan berupa beras sebanyak 10 kilogram dan diskon listrik 50% selama dua bulan untuk pelanggan dengan daya terpasang listrik hingga 2200 VA. Untuk UMKM/Wirausaha/Industri diberikan perpanjangan masa berlakunya PPh final 0,5% dari omzet sampai dengan tahun 2025 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang telah memanfaatkan selama 7 tahun dan berakhir di tahun 2024.

Baca juga ulasan di Majalah INSIDER Edisi 29 Desember 2024Ekonomi 2025 Tetap Tidak Baik-Baik Saja”.

Back to top button