Si Bandel Myanmar ‘Dikutuk’ Saudaranya se-ASEAN

Para pemimpin Asia Tenggara ‘mengutuk’ kekerasan yang terus berlanjut di Myanmar dan menyalahkan pertumpahan darah tersebut kepada para jenderal yang merebut kekuasaan dalam kudeta Februari 2021. Namun Myanmar seperti si anak bandel terus melawan seperti tidak ingin negaranya sendiri tenang dan damai.
Para pemimpin Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memulai pertemuan puncak mereka pada Selasa (5/9/2023) di Jakarta dengan data terbaru dari Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik menunjukkan setidaknya 4.035 orang telah terbunuh sejak kudeta. Para pemimpin bertemu termasuk dengan pejabat tinggi dari negara-negara mitra seperti Tiongkok, Jepang, dan Amerika Serikat.
ASEAN yang beranggotakan 10 negara mengadakan pertemuan di Jakarta setelah para jenderal di Myanmar gagal menerapkan apa yang disebut konsensus lima poin untuk mengakhiri krisis, yang mereka sepakati dengan ASEAN beberapa bulan setelah perebutan kekuasaan. Kekerasan semakin memburuk dalam beberapa bulan setelahnya, dan militer dituduh melakukan kejahatan perang atas serangannya terhadap warga sipil.
Myanmar juga merupakan anggota ASEAN tetapi dilarang menghadiri acara-acara penting karena kegagalannya menerapkan konsensus lima poin. Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan pada hari Rabu (6/9/2023), di Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah, kementerian luar negeri menolak pernyataan ASEAN dengan mengatakan: “Pandangannya tidak objektif, keputusannya bias dan sepihak.”
Mengingat para pemimpin negara junta militer itu tidak berada di Jakarta, pernyataan tersebut mengatakan bahwa meskipun Myanmar telah diajak berkonsultasi mengenai rancangan tersebut, “pandangan dan suara” mereka belum diperhitungkan.
Baca Juga:
PM Li Qiang: China dan ASEAN Ambil Tindakan Nyata Jaga Stabilitas Kawasan
Sebelumnya Malaysia menyerukan tindakan ‘keras’ terhadap para jenderal Myanmar, dengan mengatakan “hambatan” yang mereka ciptakan telah menghalangi implementasi rencana untuk memulihkan perdamaian lebih dari dua tahun sejak militer merebut kekuasaan melalui kudeta.
Pesan blak-blakan yang tidak biasa dari Malaysia seiring dengan ketegangan mengenai Myanmar serta situasi di Laut Cina Selatan yang disengketakan. “Malaysia dan negara-negara anggota lainnya memberikan pandangan mereka bahwa kita tidak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut tanpa tindakan tegas dan efektif yang diterapkan pada junta,” kata Menteri Luar Negeri Malaysia Zambry Abdul Kadir kepada wartawan setelah para menteri luar negeri kelompok tersebut mengadakan pembicaraan di ibu kota Indonesia.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang memimpin kudeta terhadap pemerintahan terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, menyetujui apa yang disebut konsensus lima poin untuk mengakhiri krisis di Myanmar pada pertemuan puncak khusus ASEAN dua bulan kemudian.
Pihak militer hanya melakukan sedikit upaya untuk melaksanakan rencana tersebut. Namun kekerasan semakin meningkat, dimana pihak militer memerangi kelompok sipil bersenjata yang menentang perebutan kekuasaan. Mereka telah dituduh melakukan kejahatan perang karena serangannya terhadap penduduk sipil.
Myanmar bergabung dengan ASEAN di bawah rezim militer sebelumnya pada tahun 1997, namun penggulingan pemerintahan Aung San Suu Kyi setelah periode reformasi terbukti menjadi tantangan besar bagi organisasi tersebut, yang menyoroti perpecahan antara negara-negara yang lebih otoriter dan demokratis dalam kelompok tersebut.
Baca Juga:
Jokowi: Hubungan ASEAN-China Harus Dibarengi Saling Percaya
Para ahli mengatakan pertemuan puncak pekan ini adalah “kesempatan terakhir” bagi ASEAN untuk menunjukkan kemampuan mereka mengambil tindakan yang berarti terhadap Myanmar.
“Saat ini, junta ilegal sedang memainkan permainan memecah belah di ASEAN dan komunitas internasional lainnya,” kata Debbie Stothard, pendiri dan koordinator ALTSEAN-Burma, sebuah jaringan masyarakat sipil yang mendukung hak asasi manusia di Myanmar, mengutip Al Jazeera.
“Jika kita tidak bersatu untuk memberi tahu junta dengan tegas bahwa mereka harus berhenti membunuh warga sipil dan menindaklanjutinya dengan tindakan dan tekanan, junta akan terus melanggar lima poin konsensus yang berdampak serius terhadap keamanan manusia di wilayah ini.”
Myanmar dijadwalkan untuk memimpin kelompok beranggotakan 10 negara tersebut pada tahun 2026 setelah kepemimpinan Indonesia. Namun para pemimpin regional sebelumnya sepakat bahwa Filipina akan mengambil peran tersebut pada tahun 2026. Kursi tersebut biasanya dirotasi setiap tahun berdasarkan urutan abjad nama-nama negara anggota dalam bahasa Inggris.
Myanmar, yang bergabung dengan ASEAN di bawah pemerintahan militer sebelumnya pada tahun 1997, sempat memimpin organisasi tersebut pada tahun 2014 di bawah kepala negara sipil pertama di negara itu.
Baca Juga:
Nama Sekretariat ASEAN Berubah Jadi Markas Besar ASEAN