Harga Beras Ugal-ugalan, Ombudsman Beri Catatan Bapanas, Kementan dan Bulog

Saat ini, emak-emak kembali teriak akan mahalnya harga beras. Untuk kelas medium, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPS), sudah di atas Rp14.000, sebelumnya Rp10.000 per kilogram. Jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp10.900 per kilogram.

Atas kondisi ini, anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, memberikan catatan untuk Badan Pangan Nasional (Bapanas), Kementerian Pertanian (Kementan) dan Perum Bulog. “Ada tujuh alternatif kebijakan yang bisa dijalankan pemerintah sebagai solusi jangka pendek,” kata Yeka di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Senin (18/9/2023).

Pertama, kata dia, Bapanas mencabut sementara kebijakan HET Beras, guna optimalisasi penyediaan pasokan beras di pasar. Selanjutnya dilakukan evaluasi dan monitoring secara berkala, misalnya seminggu sekali, untuk mengukur efektifitas pencabutan HET Beras.

“Masih ingat waktu minyak goreng dipatok HET Rp14.000, apa yang terjadi? Minyak goreng langka. Sekarang di pasar dan supermarket itu, sudah mulai ada pembatasan beras. Ini jangan sampai terjadi,” kata Yeka.

Kedua, lanjutnya, Bapanas segera membuat kebijakan HET gabah di tingkat penggilingan, guna mengendalikan harga gabah di tingkat petani. Penerapan HET gabah perlu evaluasi tiap minggu. 
Ketika sudah terkendali, maka HET gabah bisa dipertimbangkan tidak diberlakukan. Perumusan HET gabah ini, tetap mempertimbangkan komponen produksi di tingkat petani.

“Harga gabah itu, kan sekarang yang menjadi permasalahan. Ada harga beras, ada harga gabah. Harga gabah, silakan dipatok lewat HET. Sedangkan HET beras dilepas (dicabut). Nanti mereka bersaing, yang penting harga gabah dipatok di level tertentu. Misalnya Rp6.000 atau Rp6.500 per kilogram. Nanti harga berasnya, mau Rp10.000 atau Rp11.000 per kilogram, biarkan bersaing sempurna,” ujarnya.

Ketiga, lanjutnya, Ombudsman mendorong Bapanas membatasi peredaran gabah (GKP dan GKG) lintas provinsi. Keempat, Kementan mendorong kerja sama antara penggilingan kecil dengan besar. Tujuannya untuk menyerap dan mengiling padi petani.

“Jadi, penggilingan kecil dan besar, didorong bekerja sama dalam rangka menjamin ketersediaan gabah. Sebaiknya, jangan adalagi dikotomi penggilingan besar dan kecil,” ujarnya.

Kelima, kata Yeka, Perum Bulog perlu mengoptimalkan masuknya beras impor guna menjaga pasokan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Tata kelola importasi tetap mengacu ke peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan mengedepankan prinsip Good Corporate Governance (GCG).

“Keenam, Ombudsman mengusulkan agar Perum Bulog melakukan operasi pasar/SPHP kepada konsumen langsung, tidak perlu lewat PIBC (Pasar Induk Beras Cipinang),” ungkapnya.

Terakhir, lanjutnya, Ombudsman mengusulkan pemerintah dan aparat penegak hukum mengedepankan asas ultimum remidium dalam pengawasan tata niaga beras. Alasannya, penegakan hukum melalui pidana, dikhawatirkan berdampak kepada minimnya pasokan beras. ‘sehingga semakin langka di pasaran,” pungkasnya. 
 

Exit mobile version