Blok Sejarah Indonesia 2045

Dalam sebuah sarasehan nasional para ekonom, pelaku bisnis, dan pemerintah bersama Presiden Prabowo Subianto, April 2025, sebuah ide menyeruak: “Sudah saatnya kita meniru Vietnam. ‘Neck to neck’, ‘point to point’, ‘eye to eye’. Apa pun yang negara itu lakukan, harus kita ikuti.” Ujar salah satu peserta.
Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa Indonesia harus menjadikan Vietnam sebagai benchmark. Di tahun 1970 hingga 1990-an, narasi yang kita baca tentang negara itu adalah komunisme, perang, dan kemiskinan. Waktu itu Indonesia adalah Macan Asia, pemimpin ASEAN yang paling makmur sekaligus disegani. Apa yang membuat hari ini para ekonom justru menyarankan pemerintah meniru Vietnam? Apakah ini saran yang tepat? Bagaimana caranya?
Transformasi Ideologis
Vietnam adalah contoh negara yang menulis ulang masa depannya dengan membangun blok kesejarahan yang baru. Setelah Perang Vietnam berakhir pada tahun 1975, negara itu menghadapi kehancuran ekonomi dan sosial total. Rakyatnya hidup miskin dan menderita. Sistem komunis murni terbukti tidak sanggup membangkitkan produktivitas. Kelaparan melanda seantero negeri dan pemerintahnya tak punya uang untuk proyek-proyek kesejahteraan rakyat.
Tak mau terus menerus hidup dalam kesulitan, pada tahun 1986 pemerintah Vietnam mencanangkan Đổi Mới, yang berarti renovation, yakni sebuah proyek transformasi struktural dan ideologis. Mereka mengadopsi ekonomi pasar terbuka, namun tetap dalam kerangka sosialisme.
Mereka tidak melakukan deregulasi; peran negara tetap kuat, tapi membuka ruang bagi koperasi, UMKM, dan investor asing untuk menggerakkan ekonomi. Inilah yang disebut ekonomi hibrida: sebuah sistem kapitalisme pasar yang dikontrol oleh negara komunis. Mirip apa yang dilakukan oleh Tiongkok hari ini.
Tak hanya mentransformasi ideologi, mereka juga membentuk tatanan sosial baru. Elit Partai Komunis berkoalisi dengan teknokrat, petani produktif, dan pengusaha diaspora Vietnam yang kembali ke tanah air. Anak muda mereka didorong belajar ke luar negeri, tapi diminta kembali untuk membangun negeri, menjadi generasi patriot yang berwawasan global.
Vietnam tidak meninggalkan komunisme, tetapi melakukan redefinisi terhadap apa itu ideologi sosialis yang relevan di tengah dunia yang kompetitif hari ini. Lantas mereka menemukan premis ini: bagi Vietnam, sosialisme adalah kemakmuran, keadilan, dan martabat rakyat. Langkahnya pun strategis, negara mendeklarasikan sebuah narasi kebangsaan yang baru, memadukan nasionalisme, romantisme sejarah, dan imajinasi masa depan.
Di level birokrasi pemerintahan, Vietnam juga melakukan reformasi penting. Mereka berhasil memperkuat kapasitas penyelenggara negara sebagai penyedia layanan dan fasilitator pembangunan. Birokrasi dibersihkan dan ditekankan pada efisiensi dan efektivitas. Orientasinya adalah ekonomi yang produktif dan menyejahterakan.
Wajah Vietnam pun berubah total. Mereka berhasil melakukan pergeseran ideologi dari komunisme yang bersifat dogmatis ke sosialisme yang pragmatis dan praktikal. Hasilnya mencengangkan: kini Vietnam adalah negara ASEAN yang memiliki fondasi perekonomian yang kuat dan masuk ke dalam daftar 10 negara terbaik di dunia untuk melakukan investasi asing langsung (foreign direct investment).
PDB per kapita mereka juga naik lebih dari 15 kali lipat dibandingkan tahun 1990. Ekonominya tumbuh hingga 6–7% per tahun. Daya saing SDM-nya juga tinggi, dengan indeks kebahagiaan dan kepercayaan publik yang kuat. Vietnam berhasil menjadi pusat manufaktur dunia, pesaing serius Tiongkok dan India. Para pengamat menjuluki mereka China Kecil, bukan hanya karena ideologi ekonomi-politiknya, tetapi sekaligus kapasitas dan potensinya.
Dari Narasi ke Blok Sejarah
Dalam hemat saya, Indonesia perlu meniru Vietnam karena yang negara ini harus lakukan bukan hanya perubahan strategi ekonomi dan politik kebijakan belaka. Lebih jauh dari itu, kita perlu sebuah transformasi menyeluruh seperti yang pernah dilakukan Vietnam di tahun 1986. Kita perlu melakukan perubahan yang lebih ideologis dan struktural, menciptakan apa yang disebut Antonio Gramsci sebagai blok kesejarahan (historical bloc) yang baru.
Merujuk pada teori Gramsci tentang hegemoni budaya, blok kesejarahan adalah konfigurasi atau aliansi kekuatan sosial, ekonomi, politik, dan ideologis yang mendukung dan mempertahankan suatu tatanan hegemonik tertentu pada periode sejarah tertentu. Blok semacam ini akan menciptakan konsensus dominan yang memungkinkan satu kelompok (kelas atau elit) memimpin masyarakat, bukan hanya memerintah dengan paksa (coerce), tapi juga dengan persetujuan (consent).
Jika kita memperhatikan apa yang dilakukan Vietnam, mereka memperbaiki semua unsur dalam blok kesejarahan, yakni:
(1) Basis material, struktur ekonomi atau sistem produksi dan distribusi kekayaan dalam masyarakat,
(2) Superstruktur ideologis dan kultural, yaitu nilai-nilai, keyakinan, norma, pendidikan, agama, seni, hingga olahraga,
(3) Aparatus negara yang diwakili oleh lembaga-lembaga resmi seperti pemerintah, militer, polisi, dan pengadilan, dan
(4) Koalisi masyarakat sipil seperti organisasi-organisasi sosial, serikat buruh, dan pers.
Apakah ini sebuah ide untuk mengubah negara? Bukan. Konsep blok kesejarahan lebih menekankan pada perubahan aliansi ekonomi-politik-ideologi. Sebenarnya kita pernah melakukannya berkali-kali dalam sejarah republik ini.
Contohnya adalah blok kesejarahan Orde Baru (1966–1998) dengan karakteristiknya yang khas: basis ekonominya adalah kapitalisme negara (state capitalism) dengan liberalisasi yang dilakukan secara bertahap, didukung oleh modal asing dan konglomerasi. Kekuatan sosial dominannya adalah militer (ABRI), teknokrat, pengusaha besar, dan birokrasi. Ideologi hegemonik yang dimainkan adalah Pancasila, pembangunanisme, dan anti-komunisme.
Semua itu kemudian berubah di era blok kesejarahan reformasi (1998–2004). Ideologi ekonomi yang diadopsi adalah neoliberalisme (di bawah pengawasan IMF) dan desentralisasi fiskal. Kekuatan sosial sentral bergeser dari militer ke sipil dengan dicabutnya dwifungsi ABRI. Koalisi masyarakat sipil terbentuk dari LSM, ormas, partai politik baru, dan pers yang bebas. Ideologinya pun bergeser ke demokrasi, di mana prinsip-prinsip seperti keterbukaan, transparansi, supremasi hukum dan HAM menjadi arus utama.
Itulah blok kesejarahan: arah politik-ekonomi-ideologi yang bisa kita definisikan dari waktu ke waktu. Bahkan di era Presiden Jokowi, bisa kita baca basis ekonominya, struktur kekuatan sosialnya, ideologi dominan, dan strategi hegemoni budayanya.
Di masa pemerintahan Presiden Prabowo menuju Indonesia Emas 2045, blok kesejarahan seperti apa yang perlu kita bentuk? Kita perlu bukan hanya narasi, tetapi transformasi.
Empat Pilar Penting
Untuk menciptakan blok kesejarahan Indonesia 2045, setidaknya kita memerlukan empat pilar penting.
Pertama, kita memerlukan basis material baru. Dalam hemat saya, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto perlu segera melakukan transisi dari ekonomi ekstraktif yang bergantung kepada sumber daya alam ke ekonomi berkelanjutan yang berorientasi pada nilai tambah dan inovasi.
Investasi pada teknologi dan kreativitas harus dilakukan secara besar-besaran. Ke depan, perekonomian Indonesia harus dibangun di atas perpaduan kekuatan manusia (‘human capital’), digitalisasi etis, dan pemanfaatan sumber daya alam yang berprinsip keberlanjutan dan keadilan ekologis.
Kedua, kita perlu narasi kultural yang baru. Masyarakat harus bisa membayangkan bersama-sama Indonesia seperti apa yang ingin kita lihat dan wujudkan dalam 20 tahun ke depan. Baik dalam hal ekonomi, politik, hukum, hankam dan sosial budaya. Narasi Indonesia masa depan sebagai sebuah ‘peradaban terbuka’, yaitu sintesis antara kesalehan sosial, kearifan kultural dan etika global. Kita perlu melakukan produksi imajinasi baru yang dikerjakan oleh generasi baru.
Ketiga, kita perlu kekuatan sosial baru. Koalisi antara generasi muda, masyarakat adat, kreator pengetahuan, spiritualis modern, diaspora, dan kaum pekerja baru di sektor ekonomi digital, informal, dan kreatif. Hal ini akan mendorong munculnya elit atau aktor-aktor baru di luar sistem lama, pemimpin generasi baru yang bukan hanya punya posisi formal tetapi kredibilitas sosial.
Kempat, kita perlu struktur politik kultural yang baru. Budaya politik Indonesia hari ini sudah menjemukan. Menuju 2045 kita perlu demokrasi berbasis deliberasi dan kedaulatan pengetahuan. Budaya politik yang memungkinkan terjadinya desentralisasi nilai dan kapasitas (‘merit-based’) serta melahirkan kepemimpinan sebagai pelayanan, bukan dominasi kekuasaan.
Hanya jika kita memiliki blok kesejarahan semacam itulah maka Indonesia 2045 bisa kita songsong dengan perasaan optimistis. Tahun 2045 bukan sekadar ‘milestone’ 100 tahun kemerdekaan republik. Tapi sebuah kebangkitan peradaban baru Nusantara. Sebuah negeri dengan tatanan sosial baru yang inklusif, adil, cerdas, dan beradab.
Jadi, apakah sudah tepat kita meniru Vietnam? Saya kira bukan ‘apa’ yang dilakukan Vietnam yang perlu kita tiru, tetapi ‘bagaimana’ mereka melakukannya. Bukan ‘neck to neck’, ‘point to point’ atau ‘eye to eye’ di level teknis, tetapi arah besar dan langkah strategisnya. Itu yang terpenting.
Sehingga, jika hari ini kita ketinggalan daya saing soal tempat tujuan investasi asing langsung (FDI), misalnya, kita tahu itu bukan soal apakah ada premanisme atau tidak di Vietnam? Tapi soal bagaimana mereka membangun budaya sehingga pengusaha-pengusaha asing tidak terganggu ormas preman yang bikin kabur investor asing seperti di Indonesia.
Konon Apple, Tesla, sampai BYD lebih memilih berinvestasi di Vietnam daripada Indonesia. Karena di sana lebih aman, nyaman dan jelas aturannya. Kita mungkin bisa meniru Vietnam hari ini, tapi sudah seperti apa mereka 2045 nanti? Salah besar kalau yang kita tiru hanya aksinya, bukan strateginya.
Tabik!