Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) mengungkapkan bahwa sedikitnya 50.000 anak di Gaza telah terbunuh atau terluka sejak dimulainya serangan militer Israel pada Oktober 2023.
Dalam sebuah postingan di akun resminya X kemarin, badan PBB itu mengatakan bahwa warga sipil, termasuk anak-anak, pekerja kemanusiaan, staf medis, dan jurnalis, terus terbunuh dan terluka di Gaza di tengah serangan Israel yang membabi buta.
Pernyataan UNRWA muncul saat kepala militer Israel, Herzi Halevi, memerintahkan perluasan operasi militer di wilayah utara dan selatan daerah kantong tersebut. Menurut pernyataan militer Israel, tujuannya adalah menciptakan kondisi untuk pemulangan para sandera dan mengalahkan Hamas, meskipun kelompok-kelompok hak asasi memperingatkan bahwa operasi tersebut berkontribusi terhadap jatuhnya banyak korban sipil dan kehancuran yang meluas.
Militer juga mengklaim akan mendirikan pusat distribusi baru untuk bantuan kemanusiaan – sebuah upaya yang dianggap tidak efektif dan eksklusif oleh organisasi internasional. Israel telah menutup jalur penyeberangan perbatasan untuk bantuan kemanusiaan selama lebih dari 90 hari, yang secara sengaja menyebabkan 2,4 juta orang mengalami kelaparan. Sebuah mekanisme bantuan baru yang didukung Israel dan AS yang diluncurkan bulan lalu, Yayasan Kemanusiaan Gaza, juga mendapat kecaman.
Badan-badan PBB telah meragukan legitimasi kelompok tersebut. Apalagi operasinya di daerah yang disebutnya ‘zona aman’ di Gaza selatan telah berulang kali berakhir dengan kekacauan, termasuk penembakan mematikan oleh pasukan Israel di titik-titik distribusi. Pada Minggu (1/6/2025), pasukan Israel menembaki kerumunan orang yang menunggu bantuan di Rafah, menewaskan 32 warga Palestina dan melukai lebih dari 250 orang.
Pada Minggu sore, tembakan artileri menewaskan tiga warga Palestina, termasuk seorang anak yang mengalami cacat, dan melukai lebih dari 20 orang di daerah al-Mawasi di sebelah barat Khan Younis. Serangan lainnya menghancurkan sebuah klinik dialisis ginjal di utara dan menghantam daerah dekat persimpangan al-Dhabit di Gaza tengah.
Kementerian Kesehatan mengatakan 37 warga Palestina tewas dalam 24 jam terakhir, sementara 136 lainnya terluka. Banyak yang masih terjebak di bawah reruntuhan atau di daerah yang sulit sementara tim penyelamat berjuang untuk menjangkau mereka.
Selain dampak fisik, Gaza juga mengalami kedaruratan kesehatan mental, khususnya di kalangan anak-anak. Sebuah studi terkini dari Program Kesehatan Mental Komunitas Gaza menemukan bahwa 70 persen anak-anak pengungsi menunjukkan gejala gangguan stres pascatrauma (PTSD), kecemasan, dan depresi.
Lana Khalil Sharif, gadis berusia sepuluh tahun dari Khan Younis, menderita vitiligo dan uban dini setelah selamat dari serangan udara di dekatnya. Ibunya mengatakan kepada The New Arab (TNA) edisi bahasa Arab bahwa dokter mengaitkan kondisinya dengan trauma berat. Gadis itu menjadi penyendiri dan menolak untuk keluar rumah.
Dalam kasus lain, Malak Ahmed yang berusia enam tahun, yang lahir dengan autisme, kehilangan ayahnya dalam serangan Israel di Nuseirat. Sejak itu, ia mengalami komplikasi kesehatan serius dan kini memerlukan perawatan yang tidak tersedia di Gaza.
Anak-anak yang selamat dari serangan menjadi yatim piatu dan terluka secara emosional. Jude Abu Saleh, empat tahun, kehilangan kedua orang tuanya dalam sebuah pengeboman dan sekarang menderita mimpi buruk, serangan panik, dan kecemasan yang ekstrem, menurut bibinya, yang sekarang menjadi walinya.
Dokter juga melaporkan penyakit yang tidak dapat dijelaskan pada anak-anak, termasuk kasus seperti Rahaf Ayad berusia 10 tahun, yang rambut dan berat badannya menurun drastis, membuatnya kurus kering dan tidak bisa bergerak. Kondisinya membingungkan dokter setempat, yang mengatakan kurangnya infrastruktur medis menghalangi diagnosis yang tepat.
Perang telah membuat sistem perawatan kesehatan Gaza hampir tidak dapat beroperasi. Israel telah menghancurkan 38 rumah sakit umum, menutup 81 pusat kesehatan, dan melumpuhkan lebih dari 160 klinik. Sejak Maret, tidak ada pasokan medis, bahan bakar, atau makanan yang diizinkan melewati perbatasan, sehingga menciptakan krisis kemanusiaan yang dahsyat.
Dr Amal Abu Abada, kepala pusat komunitas di Program Kesehatan Mental Gaza, mengatakan ketakutan kronis dan trauma berulang menyebabkan kondisi psikologis dan fisiologis yang serius pada anak-anak. “Semakin besar ketakutan, semakin buruk pula kesehatannya,” katanya.