News

Jelang Akhir Jabatan, Pimpinan KPK Bakal Ungkap Ada Pejabat Manipulasi LHKPN


Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, menyatakan pihaknya akan membeberkan hasil validasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang mengungkap adanya pejabat yang sengaja memasukkan data tidak sesuai atau memanipulasi.

Ghufron menjelaskan bahwa selama dua tahun terakhir, KPK tidak hanya berfokus pada tingkat kepatuhan pejabat dalam melaporkan LHKPN, tetapi juga meningkatkan pengawasan terhadap validitas laporan tersebut.

“LHKPN itu sebelumnya kita mengukur tingkat prestasi dari prosentase kepatuhan. Tapi mulai 2022 sampai 2024, kami meningkatkan bukan hanya pemenuhan laporan, tetapi sejauh mana validitasnya. Jadi kalau dulu misalnya ada 390 ribu pejabat yang diukur, sekarang tidak hanya berapa persen yang melapor, tetapi juga apakah yang dilaporkan valid,” ujar Ghufron saat ditemui di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, dikutip Rabu (11/12/2024).

Ia menegaskan bahwa hasil validasi tersebut akan disampaikan sebelum masa jabatan pimpinan KPK saat ini berakhir pada 20 Desember 2024 mendatang. Untuk saat ini, data itu sedang disusun oleh tim Direktorat LHKPN KPK.

Baca Juga:  4,2 Juta Anak Putus Sekolah, KPAI Soroti Akses Pendidikan yang tak Manusiawi

“Apakah hasilnya?. Nanti di akhir tahun ini sebelum kami beralih ke pemimpinan yang baru akan kami sampaikan. Kalau ditanya sekarang, kami sedang masih mengimput datanya dari teman-teman LHKPN,” ucapnya.

Ketika disinggung mengenai adanya pejabat yang terindikasi menerima gratifikasi seperti kasus eks Pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo maupun eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto, Ghufron tidak memberikan jawaban langsung. Namun, ia memastikan bahwa KPK terus memantau laporan-laporan yang mencurigakan melalui mekanisme validasi LHKPN.

Sebelumnya diberitakan, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menyoroti adanya pengisian laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dilakukan secara tidak jujur.

Hal ini menurutnya berbanding terbalik dengan semangat pemerintah yang lebih mendahulukan pencegahan daripada penindakan praktik korupsi.  

Baca Juga:  Pesawat Presiden Ganti Warna, Komisi I DPR: Efisiensi tak Sasar Anggaran Perawatan

Penilaian ini berdasarkan pengamatan Nawawi, bahwa pada Undang-Undang 30/2002 (UU KPK), pemerintah meletakkan ‘tugas pencegahan’ korupsi di urutan kesekian, setelah tugas koordinasi, supervisi, dan penindakan. Sedangkan, di UU 19/2019 (UU KPK) ‘tugas pencegahan’ ditaruh di urutan yang paling pertama.

“Dari situ ada gambaran, sinyal kepada KPK, bahwa yang lebih diberi perhatian itu adalah aspek pencegahannya,” kata Nawawi, dalam Seminar Nasional Hari Anti-Korupsi Sedunia 2024, di gedung Mahkamah Agung, Jakarta, pada Senin (9/12/2024).

Terkait hal itu, ia kemudian menjelaskan, LHKPN menjadi satu di antara beberapa instrumen yang dibuat dalam rangka menjalankan tugas pencegahan praktik korupsi.

Namun, pengisian LHKPN yang dilakukan secara tidak jujur oleh sebagian pejabat negara menjadi persoalan lain dalam hal pencegahan korupsi itu.

Baca Juga:  Puluhan Warga Sumedang Mengungsi karena Tanah Bergerak

“Hanya saja ada yang kita minta perhatian kepada pemerintah, bahwa ternyata pengisian LHKPN itu lebih banyak abal-abalnya daripada benarnya. Fakta pengisian itu enggak benar,” ungkapnya.

Ketua KPK itu mengatakan, tak jarang penindakan sejumlah kasus korupsi berawal dari temuan LHKPN yang dinilai janggal.

Beberapa di antaranya, yakni kasus korupsi yang dilakukan mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo dan mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto.

“Itu LHKPN sudah kita bisa lihat di situ, begitu berbedanya apa yang dicantumkan di LHKPN dan apa yang kita temukan, itu jungkir balik faktanya,” ungkapnya.

“Dan itu ada ratusan, bahkan lebih daripada itu yang kita temukan, bahwa ada ketidakjujuran dalam pengisian LHKPN,” imbuh Nawawi.
 

Back to top button