Anak-anak Gaza Dibakar dan Diamputasi, Menanggung Beban Perang Brutal Israel

Ahmed Al-Ghalban, seorang anak kecil di Gaza utara, termasuk di antara hampir 1.000 anak yang kehilangan anggota tubuh mereka akibat serangan Israel. Dalam perang brutal genosida yang dilakukan Israel ini, anak-anak mewakili lebih dari 35% korban.
Ahmed tidak hanya menderita amputasi di kakinya tetapi juga secara memilukan kehilangan saudara kembarnya, Mohammed, yang tewas dalam serangan rudal Israel saat mereka melarikan diri dari lingkungannya di Gaza utara.
Pada bulan Maret, lingkungan al-Shaima di Beit Lahia, Gaza utara, dilanda beberapa serangan Israel, salah satunya menghantam rumah keluarga al-Ghalban. Ahmed dan saudaranya, Mohammed, telah mengungsi dari rumah mereka setelah ditandai sebagai zona merah oleh pasukan Israel dan sedang menuju ke lokasi yang lebih aman.
Saat bepergian dengan kereta kuda sambil membawa beberapa barang, mereka menjadi korban serangan. “Saya memegang tangan saudara laki-laki saya, yang tidak pernah meninggalkan saya. Kami berada di kereta kuda, menuju daerah yang lebih aman setelah lingkungan tempat tinggal kami dibom. Kami membawa beberapa barang rumah tangga,” ucap Ahmed mengenang kisah sedihnya.
Ahmed al-Ghalban menceritakan, beberapa saat kemudian, ia terbangun di rumah sakit dan mendapati kedua kakinya telah diamputasi. Ia juga telah kehilangan saudara laki-lakinya, Mohammed, dan pamannya dalam serangan Israel tersebut.
Peristiwa tragis itu, menurut Kementerian Kesehatan, mencerminkan apa yang dialami lebih dari 16.000 anak sebagai martir. Selain itu hampir 1.000 lain anak lainnya harus diamputasi anggota tubuhnya selama agresi yang saat ini masih berlangsung,
70% Korban Kebakaran di Gaza adalah Anak-anak
Doctors Without Borders (MSF) memperingatkan bahwa luka bakar di Gaza akibat serangan Israel yang terus-menerus, menyebabkan penderitaan berkepanjangan. Banyak korban menderita luka bakar hingga 40% di tubuh mereka akibat ledakan bom dan memasak secara asal-asalan. Runtuhnya sistem perawatan kesehatan dan pengepungan di Gaza, yang menghalangi bantuan penting, membuat pasien menanggung rasa sakit yang hebat akibat kebakaran ini.
Menurut organisasi tersebut, sejak 18 Maret, menyusul dimulainya kembali serangan Israel, MSF telah melihat peningkatan tajam dalam kasus luka bakar, khususnya di kalangan anak-anak.
Sepanjang April, klinik MSF di Kota Gaza merawat lebih dari 100 pasien luka bakar setiap hari. Hingga Mei 2024, MSF telah melakukan lebih dari 1.000 operasi terkait luka bakar di rumah sakit Nasser, dengan 70% pasiennya adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Luka bakar disebabkan ledakan bom, air mendidih, dan bahan bakar yang digunakan untuk memasak di tempat penampungan sementara.
MSF mengingatkan bahwa luka bakar parah memerlukan penanganan rumit dan jangka panjang, meliputi beberapa kali operasi, perawatan luka harian, fisioterapi, manajemen nyeri, dukungan psikologis, dan lingkungan steril untuk menghindari infeksi.
Namun, setelah 50 hari tanpa pengiriman pasokan karena blokade, tim MSF mulai kehabisan obat pereda nyeri, bahkan yang paling dasar, sehingga pasien tidak mendapatkan bantuan yang memadai. Selain itu, sejak perang dimulai, hanya segelintir dokter bedah di Gaza yang mampu menangani perawatan luka bakar yang rumit dan operasi plastik.
Sejak Desember 2024, tim MSF di klinik mereka di Kota Gaza, rumah sakit lapangan Deir al-Balah, dan rumah sakit Nasser telah menyediakan lebih dari 6.518 pembalut luka bakar. Namun, hampir separuh pasien tidak kembali untuk perawatan lanjutan akibat terhentinya layanan dan hampir tidak mungkinnya mencapai pusat kesehatan.
Menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), lebih dari separuh fasilitas kesehatan yang berfungsi di Gaza berlokasi di daerah yang sedang dalam perintah evakuasi, sehingga layanan kesehatan hampir tidak dapat diakses.