Prabowo 2029: Politik Bagai Membeli Kucing dalam Karung

Politik, sebagaimana sejarah, sering kali penuh kejutan. Ia bergerak dengan irama yang sukar ditebak—kadang maju dengan gagah, kadang berputar di tempat yang sama. Kini, bahkan sebelum satu pemerintahan benar-benar dimulai, sebelum janji kampanye diuji oleh kenyataan, spekulasi tentang 2029 sudah mengemuka.
Prabowo Subianto, sosok yang akhirnya memenangkan pertarungan panjang setelah berkali-kali kalah, baru saja duduk di kursi kepresidenan. Namun, wacana pencalonannya kembali lima tahun mendatang telah beredar.
Pertanyaannya sederhana: apakah kita sedang melihat keberlanjutan kepemimpinan atau sekadar politik yang terus menjual harapan? Apakah politik kita semakin dewasa dalam memilih pemimpin, atau kita mulai menerima bahwa demokrasi hanya menyediakan pilihan yang itu-itu saja?
Membeli Kucing Dalam Karung?
Di politik Indonesia, kita sering dihadapkan pada sesuatu yang samar, penuh tanda tanya. Politik kerap kali seperti membeli kucing dalam karung. Kita disuguhi janji, diberi narasi, tetapi tidak pernah benar-benar tahu apa yang ada di dalamnya.
Saat pemilihan, kita memilih berdasarkan pidato yang berapi-api, visi-misi yang dijajakan dengan optimisme, dan program kerja yang dikemas rapi. Namun, saat pemimpin itu berkuasa, sering kali realitas tidak sejalan dengan ekspektasi.
Lima tahun berlalu, dan pertunjukan pun diulang. Pemimpin yang sama, janji yang diperbarui, strategi komunikasi yang diperhalus, dan rakyat kembali dihadapkan pada pilihan yang terbatas.
Apakah kita benar-benar belajar dari pengalaman? Ataukah kita hanya mengulangi siklus yang sama?
Janji yang Tak Pernah Berakhir
Setiap pemilu, kita mendengar janji serupa: pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, pemberantasan korupsi, dan keberlanjutan kebijakan.
Namun, jika janji-janji itu terus diulang, bukankah itu berarti janji tersebut belum benar-benar dipenuhi? Jika pada 2029 Prabowo kembali mencalonkan diri, apa yang akan dijanjikannya? Kelanjutan dari program yang sukses atau janji lama yang belum tuntas, dibungkus ulang dalam narasi baru?
Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Itu cukup untuk menilai apakah seorang pemimpin layak diberi kesempatan kedua. Namun, politik sering bekerja dengan cara berbeda—bukan soal kinerja yang diukur, tetapi bagaimana narasi dibangun.
Jika kita tidak hati-hati, kita bisa terjebak dalam permainan yang sama: membeli kucing dalam karung, percaya bahwa kali ini akan berbeda, tanpa benar-benar tahu apakah pilihan kita memang layak untuk diteruskan.
Apakah Demokrasi Kita Kehabisan Calon?
Di negara dengan demokrasi matang, kepemimpinan selalu beregenerasi. Setiap pemilu menjadi ajang kemunculan tokoh baru, ide segar, dan perspektif yang lebih luas.
Namun, di Indonesia, politik masih berkutat pada wajah yang sama. Jika bukan dia, maka lingkaran terdekatnya. Jika bukan partai ini, maka partai lain yang tetap dikendalikan oleh elite yang sama.
Maka, pertanyaannya bukan hanya apakah Prabowo layak maju lagi pada 2029, tetapi juga: mengapa politik kita tidak menawarkan lebih banyak pilihan?
Apakah benar tidak ada pemimpin lain yang kompeten? Ataukah sistem sudah diatur sedemikian rupa sehingga hanya segelintir nama yang selalu muncul dalam bursa kepemimpinan?
Jika pada 2029 kita kembali dihadapkan pada pilihan yang sama, itu bukan hanya soal Prabowo. Itu soal demokrasi kita yang mungkin telah kehilangan daya untuk menghasilkan pemimpin baru.
Politik Tanpa Alternatif?
Seorang pemimpin yang kuat bukan hanya mereka yang bisa mempertahankan kekuasaan, tetapi juga mereka yang tahu kapan harus memberi ruang bagi yang lain.
Namun, dalam politik Indonesia, yang terjadi sering kali sebaliknya. Mereka yang berkuasa ingin tetap di sana, atau setidaknya memastikan penggantinya tetap berada dalam orbit yang sama.
Maka, ketika spekulasi Prabowo 2029 muncul, apakah itu pertanda bahwa kepemimpinannya sukses dan harus dilanjutkan? Ataukah ini tanda bahwa regenerasi dalam politik kita sudah tidak berjalan?
Demokrasi yang sehat bukan hanya soal siapa yang terpilih, tetapi juga memastikan kekuasaan memiliki pintu keluar. Demokrasi yang sehat selalu menyediakan alternatif.
Menjaga Demokrasi Tetap Hidup
Lima tahun adalah waktu cukup untuk melihat apakah sebuah pemerintahan berhasil atau tidak. Tetapi, lima tahun juga bisa cukup bagi mereka yang ingin memastikan kekuasaan tetap dalam genggaman.
Jika kita tidak hati-hati, politik kita bisa berubah menjadi sesuatu yang stagnan—bukan soal gagasan, bukan soal perubahan, tetapi sekadar pertunjukan yang diulang dengan aktor yang sama.
Jika itu terjadi, maka pemilu bukan lagi soal mencari pemimpin terbaik. Ia hanya menjadi prosedur untuk memberi legitimasi kepada mereka yang sudah berkuasa.
Ketika kita berbicara tentang Prabowo 2029, pertanyaannya bukan hanya apakah ia layak maju lagi. Pertanyaannya juga adalah: apakah kita masih memiliki pilihan?
Atau jangan-jangan, demokrasi kita telah sampai pada titik di mana pemilu hanya sekadar formalitas, sementara hasilnya sudah bisa ditebak sejak awal?
Menolak Kucing Dalam Karung
Demokrasi yang sehat bukan hanya soal memilih, tetapi juga memahami pilihan itu sendiri. Kita tidak bisa terus-menerus memilih tanpa bertanya.
Kita tidak bisa terus-menerus membeli kucing dalam karung—memilih pemimpin tanpa menguji gagasan, tanpa mengevaluasi kepemimpinan, tanpa memastikan bahwa pilihan itu benar-benar didasarkan pada sesuatu yang nyata.
Jika kita terus melakukannya, maka kita tidak lagi memilih pemimpin. Kita hanya mengulang kesalahan yang sama.
Dan jika pada 2029 nanti kita kembali ke titik yang sama—dengan janji yang sama, dengan wajah yang sama—maka pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang maju, tetapi apakah kita benar-benar memiliki demokrasi yang bekerja?
Atau, jangan-jangan, kita hanya sedang berpura-pura memilih?