Menyelisik Kearifan Ekologi Suku Kajang Ammatoa

INILAHSULSEL.COM – Suku Kajang atau Kajang Ammatoa adalah salah satu suku asli yang mendiami Kawasan Adat Tanah Towa di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Selama turun temurun, mereka menjadi penjaga bagi hutan di sekitarnya.
Kearifan ekologi Suku Ammatoa tampak dalam ritual yang dikenal sebagai Andingingi, sebuah ritual yang diadakan setahun sekali oleh Suku Kajang. Ritual ini dipimpin oleh Ammatoa, pemimpin suku Kajang. Andingingi merupakan ritual mendinginkan alam yang dimanfaatkan oleh seluruh warga untuk meminta doa terhadap segala sesuatu yang ada di muka Bumi.
Hutan menjadi suatu hal yang integral dengan kehidupan suku Kajang. Bagi suku Kajang, hutan merupakan pemberian dari Turiek Arakna yang harus dijaga kelestariannya. Jika tidak, akan ada bencana yang mendatangi.
Ritual Andingingi adalah bentuk komunikasi yang dilakukan suku Kajang terhadap alam. Dalam ritual ini, sesajen akan dibawa untuk dipersembahkan kepada leluhur dan alam. Tujuannya agar alam dan manusia dapat hidup berdampingan di muka bumi dan saling melengkapi.
Di tengah gempuran deforestasi, suku Kajang memberikan gambaran bagaimana manusia dapat hidup berdampingan dengan alam. Komunitas ini hidup sesuai dengan Pasang Ri Kajang, hukum leluhur yang disampaikan secara lisan melalui legenda dan cerita. Hukum ini mengisakan bagaimana manusia pertama jatuh dari langit ke hutan mereka dan menjadikannya tempat paling suci di dunia. Ini berarti hutan berada di pusat kehidupan masyarakat.
Mereka juga menganut filosofi Kamase Mase, yakni hidup sederhana dan tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan untuk bertahan hidup. Ini selaras dengan kehidupan mereka sehari-hari. Suku Kajang tinggal di rumah panggung dengan atap jerami dan dinding papan. Mereka berjalan tanpa alas kaki dan hanya mengenakan pakaian berwarna hitam atau nila, yang menekankan kesetaraan, kerendahan hati, dan hubungan dengan bumi.
Suku Kajang sendiri mengandalkan pertanian, tanpa industri atau perdagangan. Menebang pohon, berburu hewan, dan bahkan mencabut rumput dilarang di sebagian besar tanah. Teknologi modern, seperti mobil dan ponsel, tidak diperbolehkan di wilayah tradisional.
Selama bertahun-tahun, penjaga hutan ini telah membantu melindungi beragam satwa liar, termasuk rusa, monyet, babi hutan, dan burung tropis, serta empat sungai yang memasok air ke beberapa desa di luar tanah Kajang.