Kamala Harris Sebut Iran Musuh Terbesar AS

Wakil Presiden yang juga calon Presiden AS dari Partai Demokrat, Kamala Harris, menyebut Iran adalah musuh terbesar AS. Dia mengatakan hal itu saat ditanya soal siapa ‘musuh terbesar’ AS dalam sebuah wawancara khusus dengan jaringan televisi CBS News.
“Saya pikir ada satu yang jelas dalam pikiran, yaitu Iran. Iran berlumuran darah Amerika, salah satunya ketika serangan 200 rudal balistik terhadap Israel,” kata Harris, seperti dikutip Al Jazeera, Rabu (9/10/2024).
Iran menembakkan sekitar 200 rudal balistik dan hipersonik ke Israel pada 1 Oktober lalu. Serangan tersebut diklaim sebagai jawaban atas genosida Israel di Palestina dan Lebanon, serta balasan atas kematian pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, dan pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah.
Serangan Iran itu hanya berlangsung beberapa jam, namun berhasil membuat dunia merasa khawatir. Pasalnya, sejumlah pejabat Israel mengatakan militer mereka kemungkinan bakal melancarkan serangan balasan yang menargetkan fasilitas minyak dan juga fasilitas nuklir Iran.
Sejalan dengan persoalan fasilitas nuklir ini, Harris dalam wawancara itu juga mengatakan bahwa Iran tak boleh sampai memiliki kemampuan nuklir yang mumpuni. Ia menekankan prioritasnya saat ini yaitu mencegah Teheran mencapai kapabilitas tersebut.
“Yang perlu kita lakukan adalah memastikan bahwa Iran tidak akan pernah memiliki kemampuan untuk menjadi negara berkekuatan nuklir. Itu adalah salah satu prioritas tertinggi saya,” ucapnya.
Permusuhan antara AS dan Iran bukanlah sesuatu yang baru. Iran sudah terlibat dalam Perang Dingin dengan AS selama lebih dari 40 tahun.
Konflik di Timur Tengah belakangan ini pun telah memaksa AS berfokus pada Iran, alih-alih pada Rusia, China, maupun Korea Utara, yang juga merupakan musuh Washington.
Pada 2018, Presiden AS saat itu, Donald Trump, membatalkan Kesepakatan Nuklir Iran, yang memberikan keringanan sanksi kepada Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.
Di bawah pemerintahan Trump, AS menjatuhkan serangkaian sanksi kepada Iran.
Pada 2022, pemerintahan Presiden Joe Biden sempat mendorong agar kesepakatan tersebut dihidupkan kembali. Namun, perundingan itu gagal setelah Gedung Putih menuduh Teheran memasok senjata dan melatih pasukan Rusia dalam invasinya ke Ukraina.
Seiring dengan itu, AS pun menjatuhkan lebih sanksi kepada Iran, sambil mempertahankan sanksi-sanksi yang telah dijatuhkan di era Trump.