SulselNews

Kabupaten Luwu Menjadi Daerah dengan Indeks Risiko Bencana Tertinggi di Sulsel

INILAHSULSEL.COM – Ilham Alimuddin, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Kebencanaan Universitas Hasanuddin, mengungkapkan bahwa Kabupaten Luwu menempati posisi pertama dalam Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI) di Provinsi Sulawesi Selatan.

“Dari 24 kabupaten dan kota di Sulsel, Luwu memiliki IRBI tertinggi berdasarkan survei kaji cepat penanganan bencana banjir dan tanah longsor,” ujar Ilham dalam Diskusi Publik yang diadakan oleh The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Simpul Sulawesi Selatan di Balai Rehabilitasi Wirajaya Makassar.

Diskusi ini merupakan bagian dari program diseminasi liputan investigasi kolaborasi SIEJ-Depati Project dengan enam media, yang fokus pada pengrusakan hutan di Pulau Borneo, Kalimantan, dan dampaknya terhadap Sulsel.

Tema diskusi adalah “Deforestasi Hutan Tanah Luwu dan Ancaman Bencana Ekologis Rutin.”

Ahli geologi ini menjelaskan bahwa tanah di Luwu sering mengalami bencana ekologis, seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi pada awal Mei 2024.
Karakteristik tanah di daerah ini, termasuk tanah yang cepat bergerak dan material longsor dari tanah permukaan yang tebal, berkontribusi pada bencana tersebut.

Baca Juga:  Prabowo dan Megawati Bicara 4 Mata Selama 1,5 Jam, Potensi PDIP Gabung Koalisi Masih Gelap

Tanah longsor di Luwu sebagian besar adalah longsor translasi (debris slide) yang terjadi pada tanah tebal yang merupakan pelapukan dari batuan metamorf, dengan bidang gelincir berupa batas antara tanah dan batuan, ditambah dengan curah hujan yang tinggi.

Kondisi geologi di Kecamatan Latimojong, yang mengalami longsor, terdiri dari formasi batuan filit atau batuan keras yang berlapis tipis dan sudah lapuk di bagian atasnya.

Lapisan tanah yang tidak lapuk di bawahnya menjadi licin dan mendorong tanah lapuk ke bawah, menyebabkan longsor.

Bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten Luwu telah menyebabkan 14 orang meninggal dunia dan kerugian materiil serta nonmateriil mencapai puluhan miliar.

Sebanyak 13 desa di wilayah pegunungan Latimojong terisolir dengan 16 titik longsor di wilayah Luwu. Bantuan dan evakuasi harus dilakukan melalui jalur udara menggunakan helikopter.

Baca Juga:  Jamaah Asy-Syahadatain Indramayu Laksanakan Salat Idul Fitri Lebih Awal, Ini Alasannya

“Peta zona kerentanan gerakan tanah dan peta bahaya longsor menunjukkan bahwa tanah di Luwu berada pada zona merah,” kata Ilham.

Ilham memberikan beberapa rekomendasi untuk mengurangi risiko bencana di Luwu, dimulai dengan mengetahui risiko bencana di sekitar.

Untuk jangka pendek, perlu dilakukan pendataan rumah atau bangunan yang berada di area bahaya tanah longsor.

Pemerintah Daerah Luwu harus berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan survei dan pemetaan lanjutan pada titik longsor yang belum terpetakan, terutama di permukiman, untuk menentukan apakah perlu relokasi atau tindakan mitigasi lainnya.

Untuk mitigasi jangka menengah, dokumen perencanaan penanggulangan bencana harus dilengkapi mulai dari kajian risiko bencana yang akan disusun pada 2025, penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), dan Rencana Kontigensi (Renkon) per jenis bencana sesuai dengan amanat Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 101 tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Kabupaten/Kota.

Selanjutnya, hasil kajian risiko bencana harus diintegrasikan dengan perencanaan tata ruang Kabupaten Luwu, termasuk perhatian terhadap sempadan sungai dan sempadan lereng.

Baca Juga:  Presiden Prabowo Kenang sosok Mgr. Turang Selalu Bekerja untuk Rakyat Kecil

Pemantauan hulu sungai secara rutin dan terprogram juga penting, serta koordinasi antara dinas terkait dan peningkatan kapasitas serta edukasi masyarakat terkait pengetahuan risiko dan mitigasi bencana di wilayah masing-masing.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulsel, Muhammad Al Amin, menambahkan bahwa bencana yang terjadi di Luwu dipengaruhi oleh alih fungsi hutan menjadi lahan sawit dan kerusakan lingkungan yang marak.

“Pascabencana ini, semua stakeholder harus bisa duduk bersama mencari solusi untuk menekan kasus bencana alam serupa yang terjadi secara rutin saat musim hujan tiba, termasuk menghadirkan kurikulum sekolah berbasis kebencanaan,” tegas Amin.

Diskusi publik tersebut dihadiri oleh jurnalis dari berbagai media, anggota SIEJ Simpul Sulsel, serta perwakilan organisasi lingkungan lainnya.

Diskusi diakhiri dengan penandatanganan spanduk deklarasi penyelamatan hutan di Indonesia, khususnya hutan di wilayah Sulsel.

Back to top button