Market

Pengamat Soroti Kendala Teknis Aplikasi Pajak Coretax Senilai Rp1,3 Triliun


Pengamat IT Erick Karya mengkritisi sejumlah kendala teknis yang muncul dalam implementasi aplikasi pajak Coretax dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Erick mengungkapkan, proyek pembangunan Coretax senilai Rp1,3 triliun menghadapi berbagai tantangan serius yang sangat memengaruhi keberhasilan penerapan, khususnya di masa transisi.

“Misalnya, durasi pengawasan yang tidak selaras dengan kontrak kerja. Kontrak pekerjaan Coretax pada 2020 hingga 2024. Namun, proyek pengawasannya berakhir pada 2023. Menunjukkan asumsi prematur bahwa aplikasi sudah siap digunakan tanpa pengawasan penuh selama masa implementasi di level pusat. Padahal, tanpa pengawasan yang memadai, risiko kegagalan di masa transisi justru meningkat,” kata Erick, Jakarta, Rabu (22/1/2025).

Akibat, lanjut Erick, sejumlah pihak harus menangung erugian akibat terkendalanya Coretax. Mulai dari wajib pajak, konsultan pajak hingga kantor pajak. “Ketika pertama kali enrollment, Coretax menunjukkan banyak kendala. Helpdesk terhenti karena tingginya volume laporan. Aplikasi sulit hingga sulit diakses dan bandwidth yang dibutuhkan sangat besar,” ungkapnya.

Baca Juga:  Menko AHY Pastikan Roda Ekonomi Domestik Tetap Bergerak Melalui Penguatan Konsumsi Dalam Negeri

Hal ini, kata dia,  mencerminkan lemahnya pendampingan dari penyedia, pengawas, dan pembuat blueprint untuk memastikan kendala saat Coretax dijalankan, tidak terjadi. Celakanya lagi, DJP tidak melakukan antisipasi yang memadai untuk mencegahnya.

Sebagai perbandingan, Erick menyebut solusi IOP Enygma dengan nilai 0,2 persen dari sistem Coretax, mampu memberikan layanan pendampingan implementasi selama setahun. Dan, program change managementnya lebih efektif, serta menjaminan update mayor selama 2 tahun.

Erick juga mengkritik penggunaan konversi XML untuk input massal yang menjadi salah satu ciri rigid system. Konversi ini menunjukkan, sistem tak berhasil meminimalkan kegagalan inputasi massal. Akibatnya, pengguna menghadapi user friction, potensi kesalahan tinggi dalam proses konversi, dan kurangnya aksesibilitas karena tidak mendukung format umum seperti Excel atau CSV.

Selain tu, dia mempertanyakan, sebayak 790 wjib pajak yang memperoleh hak istimewa. Karena diperbolehkan tetap menggunakan aplikasi predecessor, yaitu e-faktur untuk dijadikan bukti bahwa Coretax gagal memenuhi tiga aspek utama produksi data modern yakni velocity, variety, dan volume.

Baca Juga:  Indonesia Punya Resort dengan Pasir Putih di Tepi Danau? Ada di PIK 2

“Esensi hijrah dari e-faktur ke Coretax adalah menghasilkan aplikasi yang mampu menerima data dengan cepat, beragam, dan dalam volume tinggi. Jika itu tidak tercapai, maka Coretax belum memenuhi ekspektasi,” kata Erick.

Sebelumnya, pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio mendorong KPK mengusut dugaan korupsi dalam pembangunan aplikasi pajak Coretax yang menelan dana Rp1,3 triliun.

Sejak beroperasi pada 1 Januari 025, aplikasi Coretax banyak mengalami kendala. Bntuk kendalanya beragam mulai server DJP yang eror, fitur Coretax sulit diakses, hingga data yang belum sinkron dengan data Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum.

“Ya diperiksa saja, apakah ada manipulasi itu kan yang menyelenggarakan atau yang membuat auditor salah satu, atau dua, empat auditor yang lalu direkomendasikan pemerintah untuk digunakan dari badan internasional. Jadi dicari aja. Tugas KPK itu untuk mengusutnya,” ujar Pambagio kepada Inilah.com, Jakarta, Selasa (21/1/2025).

Baca Juga:  Amerika Cari-cari Alasan Tekan Indonesia, QRIS Dianggap Ganggu Visa-Mastercard

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti meminta maaf atas gangguan dalam implementasi layanan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax, yang berlaku sejak 1 Januari 2025.

“Kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh wajib pajak atas terdapatnya kendala dalam penggunaan fitur-fitur layanan Coretax DJP,” kata Dwi, Jumat (10/1/2025).

Kendala itu, kata Dwi, menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan keterlambatan administrasi perpajakan. Sejauh ini, DJP telah mengambil sejumlah langkah perbaikan untuk mengatasi kendala yang dihadapi wajib pajak.

Dwi menyampaikan langkah-langkah tersebut termasuk memperluas jaringan dan peningkatan kapasitas bandwith. Hingga 9 Januari 2025, wajib pajak yang berhasil mendapatkan sertifikat elektronik untuk faktur pajak berjumlah 126.590. 

Selain itu, kata dia, terdapat 34.401 wajib pajak yang berhasil membuat faktur pajak. Faktur pajak yang telah divalidasi atau disetujui berjumlah 236.221.
 

Back to top button