KPK Ungkap Kondisi Shelter Tsunami Imbas Dikorupsi, dari Retak hingga Jadi Tempat Gembala Ternak

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat shelter tsunami Nusa Tenggara Barat (NTB) tepatnya di Kabupaten Lombok Utara tak layak pakai karena proyeknya dikorup. Bahkan, warga setempat memanfaatkannya sebagai kandang ternak terbuka.
“Beberapa kali berkunjung ke Shelter Bangsal dan menemukan kondisi shelter sebagai berikut, kondisi secara visual banyak terjadi kerusakan di bagian lantai bawah, di halaman juga tidak terawat dan bahkan digunakan oleh penduduk untuk menggembala ternak,” kata Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (30/12/2024).
Lebih lanjut, Asep memaparkan, jalur evakuasi ke lantai atas juga mengkhawatirkan. Terungkap adanya getaran pada cor yang dilewati hingga retakan di jalurnya. Padahal, bangunannya disebut masih baru.
Asep menyebut, kondisi shelter makin parah ketika di hantam gempa. Mulai dari gempa 6,4 skala richter di 47 KM arah timur laut Kota Mataram, NTB, pada 29 Juli 2018. Kemudian ada lagi gempa berkekuatan 7,0 skala richter pada 5 Agustus 2018. Sejatinya bangunan kokoh ini tahan gempa hingga yang berkekuatan 9,0 skala richter.
“Kondisi shelter rusak berat dan tidak bisa digunakan. Di awal sudah disampaikan bahwa seharusnya ini bisa menopang atau bisa kuat di 9,0 skala richter, tapi ini dua kali gempa 6,4 dan 7,0 skala richter itu bangunannya sudah ada yang rusak berat,” tutur Asep.
Penyebab rusaknya shelter tersebut dikarenakan tindak rasuah dua tersangka yaitu Aprialely Nirmala (AN), menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen Proyek, Agus Herijanto (AH) merupakan Kepala Proyek Shelter Tsunami di Kabupaten Lombok Utara pada tahun 2014. Keduanya ditahan hingga 20 hari kedepan terhitung 30 Desember 2024 hingga 18 Januari 2025 karena membuat negara rugi dari proyek itu sebesar Rp18,4 miliar.
Dalam kontruksi perkara, ada pengubahan design engineering detail (DED) pada shelter tsunami di NTB tersebut serta penurunan spesifikasi tanpa dasar.
Beberapa pengurangan material yang dilakukan, antara lain menghilangkan balok pengikat antar kolom pada elevasi 5 meter, di mana dalam dokumen perencanaan seharusnya ada balok pengikat di seluruh kolom, tetapi hanya mengikat di sekeliling bangunan; mengurangi jumlah tulangan dalam kolom dari 48 menjadi 40; serta mengubah mutu beton dari K-275 menjadi K-225.
“Selain itu, dalam perubahan gambar DED, tidak digambarkan balok ramp (jalur evakuasi yang menghubungkan antar lantai) sesuai dengan gambar pra-desain yang terdapat dalam Laporan Akhir Perencanaan. Hal ini menyebabkan perkuatan ramp terlalu kecil, dan kondisi ramp hancur saat terjadi gempa,” ungkap Asep.