Aplikasi Pajak Coretax Senilai Rp1,3 Triliun Dirancang Era Jokowi, Pakar Duga Cacat Hukum

Penggunaan aplikasi pajak Coretax yang dibangun dengan anggaran Rp1,3 trilun, justru mengalami banyak masalah sejak beroperasi pada 1 Januari 2025. Dari perspektif hukum, aplikasi yang dirancang di era Jokowi iru, diduga cacat hukum.
Pakar hukum perpajakan, Alessandro Rey Nearson menerangkan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan yang menjadi landasan dalam pembangunan aplikasi Coretax senilaiRp1,3 triliun, memiliki kelemahan fundamental.
Karena, perpres yang diteken Jokowi itu, hanya mencantumkan pasal 4 ayat 1 UUD 1945 sebagai dasar hukumnya. Tanpa didukung peraturan lain yang lebih rinci, misalnya undang-undang (UU) atau peraturan pemerintah (PP).
“Konstitusi yakni UUD 1945 tidak dapat dilakukan langsung lewat Perpres. Karena bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Di mana, perpres adalah aturan pelaksana yang spesifik dan harus didasarkan pada amanat yang jelas dari UU atau PP,” kata Rey, Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Ketum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I) itu, mengingatkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah dengan UU No 13 Tahun 2022, menekankan pentingnya hierarki hukum.
Di mana, perpres berada di bawah UU dan PP. Sebagai aturan pelaksana, perpres tidak dapat berdiri sendiri tanpa rujukan yang jelas dari peraturan yang lebih tinggi.
“Konstitusi hanya memberikan landasan dasar bagi negara. Namun, untuk pelaksanaan teknis dan kewenangan eksekutif, diperlukan penjabaran lebih rinci melalui UU atau PP. Tanpa itu, perpres berisiko dianggap cacat hukum dan dapat memunculkan persoalan serius dalam pelaksanaan kebijakan,” tambahnya.
Dia juga menekankan pentingnya prinsip kepastian hukum dalam negara hukum. Regulasi yang tidak didasarkan pada aturan yang jelas dan spesifik, memicu tumpang-tindih kewenangan, membuka peluang penyalahgunaan, dan melanggar hak-hak masyarakat.
Dia menyoroti sejumlah laporan dari wajib pajak terkait kendala teknis yang signifikan. Kurangnya pendampingan teknis bagi pengguna menjadi salah satu penyebab lambatnya adopsi sistem ini.
“Proyek yang sudah menelan biaya sebesar ini seharusnya dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Namun, apa yang terjadi justru sebaliknya. Coretax menghadapi masalah teknis dan hukum yang mengurangi kepercayaan publik terhadap proyek ini,” kata Rey.
Rey mengingatkan, transparansi dalam pengelolaan anggaran dan prosedur pengadaan teknologi sangat penting untuk memastikan akuntabilitas. Mengingat nilai proyek yang sangat besar, pemerintah wajib memberikan penjelasan terkait berbagai persoalan yang muncul dalam pelaksanaan Coretax.
“Kita tidak bisa membiarkan proyek besar seperti ini dikelola tanpa pengawasan yang ketat. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap tahapan proyek, dari dasar hukum hingga implementasi teknis, memenuhi standar hukum dan regulasi yang berlaku,” kata Rey.
Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti meminta maaf atas gangguan dalam implementasi layanan Sistem Inti Administrasi Perpajakan atau Coretax, yang berlaku sejak 1 Januari 2025.
“Kami dengan segala kerendahan hati menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh wajib pajak atas terdapatnya kendala dalam penggunaan fitur-fitur layanan Coretax DJP,” kata Dwi, Jumat (10/1/2025).
Kendala itu, kata Dwi, menyebabkan terjadinya ketidaknyamanan dan keterlambatan administrasi perpajakan. Sejauh ini, DJP telah mengambil sejumlah langkah perbaikan untuk mengatasi kendala yang dihadapi wajib pajak.
Dwi menyampaikan langkah-langkah tersebut termasuk memperluas jaringan dan peningkatan kapasitas bandwith. Hingga 9 Januari 2025, wajib pajak yang berhasil mendapatkan sertifikat elektronik untuk faktur pajak berjumlah 126.590.
Selain itu, ada 34.401 wajib pajak yang berhasil membuat faktur pajak. Faktur pajak yang telah divalidasi atau disetujui berjumlah 236.221.