Berbagai Spekulasi Politik Muncul, Koalisi untuk Pilpres Jadi Cenderung Buntu

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana menyoroti berbagai spekulasi politik yang muncul belakangan ini pada koalisi partai politik dalam menghadapi Pilpres 2024 yang seakan menemui jalan buntu.
“Adapun spekulasi politik yang terus berkembang adalah satu atau dua putaran pilpres dan kaitannya jumlah paslon yang kemungkinan akan mendaftar di KPU,” kata Aditya dalam keterangan yang diterima inilah.com di Jakarta, Minggu (24/9/2023).
Menurut dia, dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap bakal calon presiden tertentu, bahkan hingga persoalan putra Jokowi, Kaesang Pangarep yang memutuskan bergabung ke PSI, juga dikait-kaitkan dengan arah endorsement Jokowi.
“Selain itu juga percepatan jadwal pendaftaran capres dan pelaksanaan pilkada juga terkesan tidak terlepas dari spekulasi di atas,” lanjutnya.
Ia pun membeberkan lima alasan mengapa pembentukan koalisi parpol pada Pilpres 2024 ini cenderung menemui jalan buntu.
“Pertama, ketiadaan kepastian adanya pemenang dalam satu putaran pilpres sehingga mendorong adanya, skema simulasi ataupun skenario dua putaran. Namun skenario yang ada pun tidak mudah dapat dilakukan,” katanya.
Kemudian alasan kedua, yakni bacapres yang ada saat ini belum memiliki kekuatan dan dukungan parpol secara dominan, sehingga memudahkan kompetisi dapat diselesaikan dalam satu putaran.
“Hampir semua bacapres yang kuat, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, tidak ada yang memiliki elektabilitas lebih dari 40 persen sehingga peluang kemenangannya, masih sulit ditebak dalam satu putaran. Selain itu, calon yang ada pun belum sepenuhnya mewakili keragaman sosial dan budaya masyarakat kita,” ungkap dia.
Tak hanya itu, Aditya pun menilai sosok bacawapresnya juga tidak ada yang mampu mendongkrak keterpilihan dari bacapres, seandainya berbagai simulasi dilakukan. Faktor keempat, yaitu sebagian besar pimpinan elite parpol berkehendak untuk menyelesaikan pilpres dalam satu putaran, demi efektivitas dan efisiensi pemilu serentak.
“(Kelima), belum ada titik temu yang memuaskan para elite politik dari semua skenario ataupun simulasi yang dikehendaki, karena berlawanan dengan suara publik yang tercermin dari berbagai hasil survei elektabilitas para bacapres yang berkembang selama ini,” ujar Aditya.
Oleh karena itu, lanjut dia, stagnannya kondisi pembentukan koalisi membuat sebagian besar elite parpol cenderung bersikap melihat perkembangan. “Tidak agresif untuk melakukan manuver dalam pembentukan koalisi dan seakan menunggu, atau bermain aman dalam pencalonan pilpres,” kata Aditya.
“Sehingga publik pun hanya diminta mengikuti pertunjukan yang sedang dimainkan oleh para elite,” sambung Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultasi Publik Algoritma ini.
Padahal, ucap dia, publik yang dimaksud adalah pemilih yang dapat menentukan arah permainan elite. Bahkan saat ini, ia menilai publik tidak sepenuhnya mengikuti irama dan skenario yang diinginkan oleh para elite dalam upaya mendorong satu putaran pilpres.
“Semoga kita berharap ada kejutan-kejutan yang lebih baik, agar ada upaya memecahkan kebuntuan koalisi agar publik memiliki banyak pilihan yang variatif dalam koalisi pilpres mendatang,” tutur Aditya.