News

Tidak Semua Parpol Serius soal Kaderisasi, Bergulir Wacana Capres Jalur Independen


Usai Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menghapus ambang batas pencalonan presiden 20 persen, bergulir usulan capres jalur independen. Ketua DPD RI Sultan B Najamuddin menilai usulan ini layak diwacanakan dalam sistem politik Indonesia.

Alasannya, tak semua partai politik serius dalam kaderisasi untuk menyiapkan calon pemimpin bangsa dan hanya sedikit partai politik yang memiliki atensi dalam proses kaderisasi.

“Saat ini UUD 45 memang hanya menugaskan partai politik sebagai institusi demokrasi yang berhak mengajukan calon presiden. Namun, wacana menghadirkan calon pemimpin bangsa yang independen atau dari institusi demokrasi yang nonpartisan perlu dimulai”, kata Sultan dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (4/1/2025).

Sultan mengatakan beberapa negara demokrasi besar seperti Amerika Serikat bahkan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada rakyat Amerika yang dinilai kompeten untuk mencalonkan diri menjadi presiden melalui jalur independen. Presiden Rusia Vladimir Putin adalah presiden yang dipilih langsung oleh rakyat Rusia setelah mencalonkan diri secara independen.

Baca Juga:  Selain untuk Regenerasi, Pengamat Ungkap Dua Pertimbangan Kapolri Layak Diganti

“Artinya, prinsip keadilan dan persamaan hak politik warga negara untuk memilih dan dipilih dalam demokrasi tidak boleh dibatasi baik oleh aturan Presidential Threshold maupun institusi politik tertentu saja,” ucapnya.

Di sisi lain, Sultan menegaskan pihaknya masih menghormati ketentuan dalam konstitusi yang mengatur pencalonan presiden hanya melalui partai politik. Namun, wacana dan kajian pencalonan presiden melalui jalur independen adalah penting untuk dilakukan oleh pembentuk UU khususnya para akademisi hukum tatanegara.

“Kami sangat mengapresiasi langkah Mahkamah Konstitusi yang secara perlahan tapi berani menyingkirkan batasan-batasan politik yang menghambat perkembangan demokrasi dan memberikan hak-hak politik yang sedikit lebih terbuka bagi warga negara dalam mencalonkan diri menjadi pemimpin nasional,” ujarnya.

Dia berharap agar hak untuk memilih dan dipilih ini bisa dibuka secara lebih luas dan memenuhi rasa keadilan politik bagi masyarakat. Sehingga bangsa ini dapat menemukan pemimpin nasional yang lebih berkualitas dari waktu ke waktu.

Baca Juga:  Sabu 35 Kilogram Dalam Drum Ditemukan Nelayan Mengapung di Laut

“Sulit rasanya bagi bangsa ini untuk mencapai kualitas demokrasi dan menemukan kepemimpinan nasional yang paripurna jika kita tidak menyiapkan institusi demokrasi alternatif selain partai politik dalam menentukan hal-hal fundamental dalam kita bernegara. Sementara banyak partai politik belum sepenuhnya bersedia mempraktekkan demokratisasi di internal partai,” tuturnya.

Sebelumnya MK resmi menghapus ketentuan ini, usai mengabulkan gugatan bernomor  62/PUU-XXII/2024 yang digelar di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025). “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK, Suhartoyo saat membacakan putusan.

Dia menjelaskan, dikabulkan permohonan tersebut karena norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.

Adapun Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya.”

Baca Juga:  Eks Dirut Taspen Segera Didakwa KPK di Kasus Korupsi Rp1 T, Berkas Sudah Dilimpahkan

Pada poin putusan berikutnya Suhartoyo menyatakan, “pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau suara sah secara nasional.”

Dalam proses putusan, dua dari sembilan hakim konstitusi, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic dinyatakan memiliki pendapat berbeda. Menurut Suhartoyo, keduanya menyatakan pemohon tak memiliki legal standing.

Putusan ini jadi kado tahun baru bagi para partai politik yang tak memiliki perolehan suara sebanyak partai besar pada pemilu sebelumnya, tetapi ingin mencalonkan jagoannya.

Back to top button