Usulkan Dana Zakat Biayai Program MBG, Pengamat: DPD Hanya Bikin Gaduh Negara

Usulan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terkait pendanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) berasal dari dana, menuai kritikan.
Pengamat hukum dan pembangunan, Hardjuno Wiwoho menilai, usulan tersebut, justru menciptakan kegaduhan. Sekaligus membuktikan gagal paham pimpinan DPD terkait tata kelola keuangan negara.
“Ini bukan soal kreatif atau tidaknya ide, tetapi soal keberpihakan terhadap prinsip tata kelola keuangan negara yang transparan dan bertanggung jawab. Dana zakat memiliki aturan penggunaannya sendiri yang diatur dalam syariat Islam, dan mengalihkannya untuk program seperti MBG justru berpotensi menimbulkan polemik di tengah masyarakat,” ujar Hardjuno di Jakarta, Senin (20/1/2024).
Sebelumnya, Ketua DPD Sultan B. Najamuddin, mendorong keterlibatan masyarakat dalam pembiayaan program MBG. Salah satu gagasan yang disampaikan adalah pendanaan yang bersumber dari zakat yang dikumpulkan lembaga zakat.
Hardjuno menilai, usulan pembiayaan program MBG dari dana zakat hanyalah asal bunyi alias asbun. Karena itu harus ditentang. Pasalnya, semangat usulan itu tak sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Menurut Hardjuno, wacana penggunaan dana zakat ini untuk program MBG, semakin memperlihatkan bahwa pimpinan DPD, tidak peka terhadap situasi dan kondisi bernegara. Padahal, pemerintahan Prabowo, sedang menata banyak hal sesuai track.
Karena itu, Hardjuno berharap, usulan terkait dana zakat untuk membiayai program BG, tidak perlu ditanggapi dengan serius.
“Zakat itu kan fungsinya untuk kemaslahatan umat, dimana sudah diatur kualifikasi penerimanya, ya fungsikan saja untuk itu. Cukup diawasi pelaksanaannya. Jangan dipakai untuk hal-hal di luar ketentuan yang sudah diatur dan baku,” imbuhnya.
Hardjuno menyarankan DPD agar fokus saja epada kebijakan yang sesuai dengan prinsip keadilan dan akuntabilitas. “Kita tidak bisa terus membebani publik dengan ide-ide yang tidak matang dan tidak mematuhi prinsip tata kelola keuangan. DPD RI seharusnya memperbaiki kebijakan anggarannya terlebih dahulu sebelum mengusulkan hal-hal seperti ini,” terangnya.
Lebih lanjut Hardjuno menilai DPD RI justru abai terhadap pengelolaan anggaran. Hal itu terlihat dari keputusan untuk menambah jumlah reses di rentang bulan Oktober hingga Desember 2024, dimana seharusnya satu kali, sama dengan reses di DPR, menjadi dua kali.
“Sebelumnya, kita sudah melihat bagaimana DPD menambah jumlah reses mereka melebihi jumlah reses DPR RI. Ini jelas membebani APBN miliaran rupiah. Sekarang mereka mengusulkan kebijakan yang justru membuat masalah baru dengan menggunakan dana zakat untuk MBG,” tegas Hardjuno.
Hardjuno menegaskan bahwa langkah DPD menambah reses adalah contoh konkret perilaku yang tidak mematuhi prinsip pengelolaan keuangan negara. Ia menyebut, perilaku ini, sudah jelas melanggar UU MD3, dimana reses DPD RI harus mengikuti jadwal reses DPR RI.
Selain UU MD3, juga berpotensi melanggar UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN.
Menurutnya, terhadap potensi pelanggaran UU tersebut, sudah sepatutnya aparat penegak hukum turun melakukan penyelidikan.
“Selain aparat penegak hukum, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga bisa melakukan audit dengan tujuan tertentu, yang lebih mendalam, mengingat konsekuensi dari penggunaan miliyaran rupiah dana APBN, di tengah penghematan fiskal yang diminta oleh Presiden Prabowo kepada seluruh jajaran kementerian lembaga,” urainya.