Market

PPN 12 Persen Bakal Diberlakukan, Sri Mulyani Jangan Malas Tentukan Barang yang Kena


Ekonom dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, berharap Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani segera umumkan barang apa saja yang kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Sesuai pernyataan Presiden Prabowo bahwa PPN 12 persen dilakukan selektif, hanya menyasar barang mewah. Sedangkan barang kebutuhan rakyat, dilindungi.

“Statemen itu clear dan jelas bahwa PPN 12 persen tidak akan diterapkan untuk kebutuhan pokok, kebutuhan dasar dan lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata Salamuddin, Jakarta, Senin (30/12/2024).

Dia mempertanyakan, apakah mungkin memisahkan barang mewah dan barang tidak mewah dari semua kebutuhan atau keperluan rakyat? Atau, bagaimana memastikan PPN 12 persen benar-benar menyasar barang mewah, memengaruhi harga barang terutama yang tidak mewah? “Jawabannya memang sulit, tapi bisa dilaksanakan. Asal saja Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipimpin Sri Mulyani tidak malas,” tegasnya.

Baca Juga:  Cetak Pre Sale Rp466 Miliar di Kuartal Pertama 2025, PIK 2 Siap Jadi The New Jakarta City

Saat ini, kata dia, ada tuduhan bahwa  Kemenkeu pemalas, tertutup, tidak transparan dan suka bermain main, dan mau mudahnya saja dalam pemungutan pajak dan penerimanaan negara.

“Apa buktinya? Kasus pencucian uang Rp340 triliun di Kemenkeu adalah bukti paling nyata adanya permainan di sana. Ada banyak permainan karena masalah data yang tidak pasti atau tidak clear,” lanjut Salamuddin.

Dia pun mengkritisi program pengampunan pajak atau tax amnesti yang berisiko tinggi ternyata tidak berbasiskan data perpajakan yang valid. Alhasil, muncul banyak kekacauan atau manipulasi data lebih lanjut.

“Sampai sekarang publik tidak tahu data tax amnesty yang kemarin dijadikan apa oleh Kemenkeu. Data ini bisa saja dijadikan alat untuk memeras dan lain-lain. Publik tidak tahu karena Kemenkeu tidak terbuka sama sekali soal program tax amnesty itu,” imbuhnya.

Baca Juga:  Ekonomi AS Kuartal Pertama Menyusut tak Terduga, Trump Salahkan Biden

Menurut Bank Dunia, lanjut Salamuddin, pemungutan pajak di Indonesia, sangatlah tidak efisien. Artinya, lebih besar biaya ketimbang hasil. Hasilnya sedikit dibandingkan potensi.

Bank Dunia menyebut, pemerintah Indonesia seharusnya bisa mendapatkan setoran pajak 2 kali lipat dengan undang-undang yang ada sebelum UU No 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Pajak (HPP) diketok palu era Jokowi. 
 

Back to top button