Onto Seno dan Cinta Sejati untuk PSIM: Penantian 18 Tahun yang Berbuah Manis

Di tengah lautan biru yang memenuhi tribune Stadion Manahan, Solo, Rabu (26/2/2025), pria berusia 48 tahun duduk dengan penuh kebanggaan, bersama 14 ribu penonton lainnya.
Onto Seno, begitu akrab ia disapa, hadir dengan balutan Surjan khas Yogyakarta, sarung batik, dan blangkon, tersirat menegaskan identitasnya; bagian dari suporter setia PSIM Yogyakarta.
Sendirian, ia bertolak dari Kota Istimewa, membawa harapan besar menyaksikan PSIM Yogyakarta mengangkat trofi Liga 2 2024/2025, sebuah penutup manis bagi perjalanan Laskar Mataram yang akhirnya berhasil menapakkan kaki di kasta tertinggi, Liga 1.
“Hujan pertanda baik, semoga PSIM juara hari ini mas,” ucap Seno dengan logat khasnya saat memulai percakapan dengan Inilah.com di salah satu sudut tribune Stadion Manahan.
Kebetulan saat itu, hujan deras memang tengah mengguyur wilayah Surakarta. Bahkan karena hujan lebat, pertandingan final yang mempertemukan PSIM dengan Bhayangkara Presisi FC itu sempat tertunda selama kurang lebih satu jam.
Bagi Seno, pertandingan ini bukan sekadar spesial karena PSIM berada di ambang gelar juara. Lebih dari itu, laga ini menjadi jendela nostalgia, membawanya kembali ke awal perjalanan sebagai suporter setia Laskar Mataram.

Sepak bola dengan PSIM di dalamnya, bagi Seno bukan sekadar hiburan semata. Melainkan bagian dari hidup, warisan dari sang ayah yang pertama kali membawanya ke stadion saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) sekitar tahun 1980-an.
“Kalau seberapa lama saya dukung PSIM, seingat saya, saya umur SD. Waktu itu dimunji (digendong) bapak saya masuk stadion, nonton PSIM,” ucap Seno mengenang.
Sejak saat itu, Seno tak pernah absen memberikan dukungan untuk tim kebanggaannya. Dalam suka maupun duka, ia tetap setia, tak sekali pun berpaling dari klub kota kelahirannya.
Ia juga menjadi saksi betapa terjalnya jalan yang dihadapi klub ‘Warisane Si Mbah’. Ia teringat pada 2003-2004, saat PSIM hampir lolos ke kompetisi utama di tempat yang sama, Stadion Manahan. Tapi harapan itu pupus.
Setelahnya, bertahun-tahun PSIM selalu berada di ambang promosi, hanya untuk kembali gagal di saat terakhir.
“Gila banget, Mas. Dari dulu hampir lolos, gagal lagi. Hampir berhasil, gagal lagi. Tapi akhirnya sekarang kami berhasil. Masya Allah, Alhamdulillah, sangat bersyukur,” ucap Seno penuh syukur.
Total sudah 18 tahun lamanya PSIM, salah satu klub pendiri PSSI, absen dari kasta tertinggi sepak bola Indonesia.
Tahun 2006 menjadi titik paling kelam bagi Laskar Mataram dan para pendukungnya, Brajamusti. Usai gempa berkekuatan Magnitudo (M) 6,3 mengguncang Yogyakarta, PSIM terpaksa mundur dari kompetisi.
Di tengah situasi darurat, banyak pemain yang mayoritas putra daerah, harus memikirkan keselamatan keluarga mereka.
Meski demikian, mundurnya PSIM dari kompetisi tidak serta-merta membuat mereka terdegradasi. Laskar Mataram masih berlaga di Divisi Utama hingga 2007.
Namun, satu tahun berselang, PSSI merombak struktur liga dan membentuk Liga Super Indonesia (ISL) sebagai kasta tertinggi, sementara Divisi Utama bergeser menjadi kompetisi level kedua. Sejak saat itulah, PSIM mulai terjebak dalam penantian panjang untuk kembali ke panggung utama sepak bola nasional.
Penantian yang seolah tak bertepi itu akhirnya berakhir pada Senin, 17 Februari 2025. PSIM Yogyakarta memastikan tiket promosi ke Liga 1 ada dalam genggaman, menuntaskan penantian 18 tahun.
Kemenangan dramatis 2-1 atas PSPS Pekanbaru dalam laga terakhir fase 8 besar Grup X Liga 2 musim 2024/2025 di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, menjadi penanda kebangkitan PSIM.
Tak cukup sampai di situ, tim asuhan Erwan Hendarwanto itu mampu menutup perjalanan mereka di Liga 2 dengan akhir yang sempurna. PSIM meraih trofi juara setelah menaklukkan Bhayangkara Presisi FC dengan skor 2-1 dalam partai final yang berlangsung dramatis hingga 120 menit.
Laskar Mataram membuka keunggulan lebih dulu melalui gol Rafael Rodrigues alias Rafinha pada menit ke-8.
Bhayangkara sempat menyamakan kedudukan di menit ke-71 lewat aksi Felipe Ryan, sebelum Roken Tampubolon memastikan kemenangan PSIM dengan golnya di menit ke-96 pada babak perpanjangan waktu.
“Tidak ada kata yang lebih pantas menggambarkan suasana hati saya saat itu mas. ‘Istimewa’. Saat penentuan di Yogyakarta, saya hampir menangis. Tapi karena hujan, mungkin tidak terlihat,” ujarnya dengan nada haru.
Bagi Seno, promosi dan gelar juara Liga 2 bukanlah akhir dari segalanya. Ia berharap PSIM tak sekadar kembali ke Liga 1, melainkan mampu bertahan dan bersaing dengan klub-klub besar seperti Persis Solo dan PSS Sleman, rival-rival yang telah menjadi bagian dari sejarah panjang tim kebanggaan warga Yogyakarta.
Namun, ada satu hal yang lebih penting baginya; persatuan. Seno punya impian melihat derby-derby klasik antara PSIM, Persis, dan PSS berlangsung dalam suasana damai.
“Sekarang kami sudah bersatu lagi, tidak ada permusuhan. Itu yang bikin saya gembira. Saya ingin kami bisa derby dengan Solo, bisa derby dengan Sleman, tapi dengan damai. Kami bisa bersama-sama di stadion, mendukung tim masing-masing tanpa kebencian,” katanya.