Bagaimana Nasib Anak-anak Yatim Piatu Gaza yang Hancur Akibat Perang?

Diteror, berduka, kelaparan, dan kehilangan tempat tinggal, ribuan anak-anak tanpa pendamping di Jalur Gaza yang dilanda perang menanggung kengerian tak terbayangkan di tengah krisis kemanusiaan mengerikan. Tak jelas bagaimana nasib masa depan mereka.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengurusi soal perempuan UN Women memperkirakan pada bulan April bahwa operasi militer Israel di Gaza, yang dimulai pada 7 Oktober sebagai balasan atas serangan dipimpin Hamas di Israel selatan, telah menyebabkan sedikitnya 19.000 anak kehilangan salah satu atau kedua orang tua.
Lembaga amal yang berpusat di Inggris, Oxfam, menggambarkan perang di Gaza sebagai salah satu konflik paling mematikan di abad ke-21, dengan jumlah korban tewas kini melebihi 40.170 — di antaranya sedikitnya 25.000 wanita dan anak-anak. Pada bulan Februari, dana anak-anak PBB, UNICEF, menyatakan Jalur Gaza sebagai tempat paling berbahaya di dunia bagi anak.
Arab News, dalam laporannya mengungkapkan, anak-anak di Gaza telah menderita cedera yang mengubah hidup akibat pemboman Israel. Banyak yang tidak memiliki akses ke perawatan medis dan menderita kekurangan gizi, tekanan psikologis, dan penyakit menular, termasuk polio, hepatitis A, dan berbagai kondisi penyakit kulit.
UNICEF mengatakan pada bulan Juni bahwa satu dari tiga anak di Gaza mengalami kekurangan gizi akut, memperingatkan bahwa sedikitnya 3.000 dari mereka di selatan daerah kantong itu berisiko meninggal karena kelaparan.
“Gambar-gambar mengerikan terus bermunculan dari Gaza, memperlihatkan anak-anak yang meninggal di depan mata keluarga mereka akibat kurangnya makanan, pasokan nutrisi, dan hancurnya layanan kesehatan,” kata Adele Khodr, direktur regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, dalam sebuah pernyataan. Dia menggambarkan situasi tersebut sebagai perampasan yang tidak masuk akal dan disebabkan oleh manusia.
Sementara itu, pemantau Human Rights Watch yang berkantor pusat di New York menuduh pemerintah Israel membuat warga sipil kelaparan sebagai “metode perang” — klaim yang dibantah oleh pemerintah Israel. Kengerian ini semakin menakutkan bagi ribuan anak yang terpisah dari pengasuh mereka dan terpaksa berjuang sendiri untuk bertahan hidup.
“Anak-anak yang kehilangan atau terpisah dari keluarga mereka menghadapi kesulitan yang tak terbayangkan saat berjuang untuk bertahan hidup tanpa perawatan orang dewasa,” kata Ahmad Baroudi, manajer media untuk kantor Save the Children di Wilayah Palestina yang Diduduki, kepada Arab
“Dalam banyak kasus, saudara kandung yang lebih tua atau anggota keluarga besar turun tangan untuk memberikan dukungan semampu mereka, sering kali dalam kondisi yang paling menyedihkan. Namun, anak-anak ini sangat rentan terhadap eksploitasi, pelecehan, dan pengabaian, serta trauma psikologis yang parah karena sendirian di lingkungan yang tidak bersahabat seperti itu.”
Tanpa Intervensi Segera Berdampak Serius
Meskipun organisasi-organisasi kemanusiaan bekerja tanpa lelah untuk menjangkau anak-anak ini, menawarkan tempat penampungan darurat, makanan, dan dukungan psikososial, Baroudi mengatakan skala kebutuhan jauh melampaui sumber daya yang tersedia. “Situasinya sangat buruk. Tanpa intervensi segera dan berkelanjutan, kelangsungan hidup anak-anak ini akan tetap berada dalam risiko yang serius.”
Ada juga banyak anak di bawah umur yang tidak didampingi orang dewasa karena ditahan di penjara-penjara Israel. Komisi Palestina untuk Urusan Tahanan dan Mantan Tahanan melaporkan bahwa Israel telah menahan sejumlah anak dari Gaza yang tidak diketahui jumlahnya sejak 7 Oktober, selain lebih dari 650 anak yang ditangkap di Tepi Barat.
Tahanan anak yang dibebaskan mengatakan bahwa mereka telah menjadi korban berbagai metode penyiksaan, termasuk pelecehan fisik dan seksual, penggeledahan badan, dan perlakuan kejam, seperti dipaksa berdiri dalam suhu panas selama jangka waktu yang lama, menurut Save the Children.
“Penyiksaan, perlakuan kejam atau tidak manusiawi terhadap anak-anak dilarang keras berdasarkan hukum internasional,” kata badan amal tersebut dalam sebuah pernyataan pada bulan Juli.
Pada bulan Juni, PBB menambahkan Israel ke dalam daftar global negara dan kelompok bersenjata yang terlibat dalam “pembunuhan dan mutilasi anak-anak, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang dilakukan terhadap anak-anak, serangan terhadap sekolah, rumah sakit dan orang-orang yang dilindungi.” Kelompok militan Palestina Hamas dan Jihad Islam juga ditambahkan ke dalam daftar.
Komite Penyelamatan Internasional yang berpusat di AS mengatakan minggu lalu bahwa mereka khawatir bahwa jumlah sebenarnya anak di bawah umur tanpa pendamping di Gaza jauh lebih tinggi daripada perkiraan PBB saat ini. Sebuah survei PBB pada bulan April menemukan bahwa sejak 7 Oktober, sekitar 41 persen keluarga di Gaza telah mengasuh anak-anak yang bukan anak mereka sendiri.
Sementara organisasi nonpemerintah menyediakan layanan penting seperti distribusi makanan, perawatan kesehatan, dan dukungan psikososial kepada anak di bawah umur, Baroudi dari Save the Children mengatakan, “skala krisis ini berarti banyak yang tidak mendapatkan bantuan yang sangat mereka butuhkan.
“Keterbatasan sumber daya dan hambatan akses berarti bahwa hanya sebagian kecil penderitaan yang dapat dikurangi saat ini, yang mengakibatkan banyak orang, terutama anak-anak, berada dalam situasi mengancam jiwa.”
Butuh Gencatan Senjata Secepatnya
Organisasi kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional, bersama dengan beberapa negara, telah berulang kali menyerukan gencatan senjata segera dan permanen di Gaza dan pembebasan semua sandera.
Jika gencatan senjata permanen segera dicapai, Baroudi percaya masa depan anak-anak yatim yang selamat akan bergantung pada komitmen komunitas internasional untuk dukungan jangka panjang dan upaya rekonstruksi.
“Anak-anak ini akan membutuhkan perawatan komprehensif yang lebih dari sekadar kebutuhan bertahan hidup,” katanya. “Ini termasuk perumahan yang aman dan stabil, akses berkelanjutan ke pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan kesehatan mental untuk membantu mereka pulih dari trauma mendalam yang telah mereka alami.”
Ia menambahkan, upaya perlu dilakukan untuk menyatukan kembali mereka dengan anggota keluarga yang masih hidup atau menempatkan mereka di lingkungan aman di mana mereka dapat menerima perawatan dan dukungan untuk membangun kembali kehidupannya. “Tanpa dukungan internasional yang berkelanjutan, anak-anak yatim piatu ini berisiko terabaikan, menghadapi ketidakstabilan dan kerentanan seumur hidup.”
Sahar Alhabaj, seorang terapis okupasi di fasilitas kesehatan mental Inggris, mengatakan bahwa anak-anak yatim piatu dan yang tidak memiliki pendamping di Gaza menderita kesepian, kekurangan emosi, dan kurangnya perawatan karena tidak adanya keluarga mereka.
Tantangan emosional ini diperburuk oleh “ketidakmampuan mereka untuk memahami konsep mendalam seperti kematian dan memahami emosi yang terkait dengan konsep ini, seperti kesedihan dan ketakutan,” ungkapnya kepada Arab News.
Meskipun anak-anak tersebut mungkin “aman secara fisik” setelah gencatan senjata permanen tercapai, Alhabaj mengatakan mereka mungkin menderita stres traumatis jangka panjang atau gangguan kepribadian.
Audrey McMahon, seorang psikiater anak di Medecins Sans Frontieres (MSF), memperingatkan pada bulan Juni bahwa seluruh populasi anak-anak dan remaja di Gaza — lebih dari 1 juta orang — akan membutuhkan dukungan kesehatan mental setelah perang berakhir.
Namun setelah melihat langsung dampak perang terhadap anak-anak, ia mengatakan “Di Palestina, tidak pernah ada ‘pasca’ dalam sindrom stres pascatrauma. Itu adalah trauma yang berkelanjutan, trauma yang berlarut-larut, perang demi perang.”
Anak-anak ini adalah manusia yang memiliki hak yang sama untuk hidup damai, memiliki akses terhadap makanan yang baik, dan tumbuh sehat. Mereka seharusnya memiliki hak untuk bermimpi dan memiliki harapan untuk masa depan. Anak-anak dilahirkan di tempat mereka dilahirkan, dan itu tidak membuat mereka menjadi bagian dari kelompok mana pun. “Mereka hanyalah anak-anak.”