Catatan Pendidikan 2024 untuk 2025 yang Lebih Baik

2024 sudah berlalu, dan jika memperhatikan kondisi tahun 2024, ada beberapa refleksi pendidikan yang perlu dilakukan agar situasi pendidikan dapat dioptimalisasi lebih baik. Jika memperhatikan situasi di tahun 2024, sesungguhnya problem dan kompleksitas pendidikan di Indonesia masih selalu tentang cerita yang sama. Dari amatan di tahun 2024, setidaknya ada enam catatan yang perlu diperhatikan.
Pertama, problem klasik akses, inklusivitas, dan kesetaraan masih menantang. Berbagai capaian terkait dengan rata-rata lama sekolah (RLS), angka partisipasi sekolah (APS), atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Selain itu, anggaran pendidikan pun semakin melesat. Anggaran pendidikan tahun 2024 misalnya mencapai 665 triliun, meningkat dari 552,1 triliun.
Namun, meski secara kualitatif meningkat, akses pendidikan berkualitas bagi kelompok marjinal masih menjadi tantangan. Ketimpangan antar desa-kota, miskin-kaya, mayoritas-minoritas masih terlihat di mana-mana. Untuk menggapai pendidikan berkualitas, keluarga miskin perlu perjuangan berlipat di tengah keterbatasan pengetahuan, informasi, biaya, dan pendampingan.

Kedua, isu perundungan dan kekerasan seksual masih mendominasi ruang pendidikan. Meski aturan-aturan terkait dengan perundungan dan kekerasan seksual sudah dirilis (misal di antaranya: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan), namun letupan tindak perundungan, kekerasan, ataupun kekerasan seksual di dunia pendidikan masih terus mewarnai.
Jika ditelaah, ada empat hal yang menjadikan kasus-kasus tetap hadir: pertama, pemahaman isu perundungan, kekerasan, dan kekerasan seksual serta berbagai aturannya di ruang pendidikan belum terinternalisasi secara memadai. Kedua, masih ada gap yang lebar antara aturan dengan praktik, tentu akibat poin pertama. Ketiga, kegamangan pihak sekolah, perguruan tinggi, hingga pemerintah ketika menghadapi kasus-kasus yang hadir. Nampak berbagai persoalan tidak diselesaikan sampai ke akarnya dan justru menimbulkan luka mendalam bagi korban. Keempat, orientasi pendidikan humanistik nampak terpinggirkan, sebab tindak kekerasan nampak lazim terjadi di dunia pendidikan.
Ketiga, internalisasi literasi dan tantangan digital. Dunia pendidikan dihadapkan dengan kemajuan informasi dan teknologi dengan ragam transformasinya, tetapi aktor-aktor yang ada belum memiliki kapasitas dan kapital yang memadai. Kondisi ini diperparah dengan kondisi literasi dan numerasi baik siswa maupun guru yang masih sangat terbatas. Banjir informasi ataupun hadirnya artificial intelligence perlu diimbangi dengan kapasitas memadai dari subjek yang ada di dunia pendidikan.
Jika tidak, kita akan kesulitan untuk memverifikasi berbagai informasi yang meluap tersebut. Dalam konteks literasi, soal kehadiran buku-buku yang berkualitas hingga pelosok negeri dan internalisasi kebiasaan membaca secara kritis masih jadi soal utama. Juga akses terhadap teknologi dan informasi yang tak merata. Dua kondisi yang membuat efek lanjutan terhadap penguasaan berbagai perangkat teknologi dan informasi dan bagaimana memanfaatkannya.
Keempat, kompleksitas transisi dunia pendidikan ke dunia kerja. Sudah sekolah tinggi tapi sulit mendapatkan pekerjaan memadai, itu yang dirasakan para pencari kerja. Kualifikasi akademik tinggi, tetapi keterampilan yang ditampilkan kok tidak memadai, itu yang sering dinyatakan oleh dunia industri.
Kita kenal istilah mismatch antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Tapi sebetulnya lebih kompleks dari itu, ada soal deindustrialisasi, kebijakan pendidikan yang lebih neoliberal, dan kondisi anak muda yang lebih rentan karena persoalan-persoalan ekonomi global dan lokal. Risiko ini membayangi anak-anak muda kita yang sedang berjibaku untuk meraih pekerjaan.
Kelima, persoalan guru di ruang pendidikan. Tantangan untuk menyejahterakan guru masih jadi pekerjaan rumah utama di samping meningkatkan kapabilitas guru dalam mendidik anak-anak bangsa. Terlalu besar pertaruhan pemerintah ketika tidak fokus pada kedua aspek tersebut, sebab risiko utamanya adalah anak-anak bangsa yang dididik dan dicerahkan. Isu perlindungan kepada guru juga semakin mengemuka, dengan beberapa kasus yang terjadi di tahun ini. Ancaman keselamatan guru ketika mengajar, menjadi hal yang juga perlu diperhatikan.

Keenam, kegamangan arah kebijakan pendidikan. Jika diakumulasi, poin keenam ini sesungguhnya adalah hal yang menjadi fokus persoalan. Pertanyaan yang dapat diajukan adalah, apa tujuan pendidikan Indonesia? Manusia Indonesia seperti apa yang akan dibentuk? Dan bagaimana kebijakan pendidikan untuk meraih dua pertanyaan utama tersebut? Kegamangan pendidikan tidak hanya berbentuk pergantian kurikulum, tetapi kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada dalam kurun 20 tahun terakhir. Fleksibilitas tentu diperlukan, tetapi mengingat Indonesia yang luas geografis dan keragaman sosial budaya serta ekonominya begitu dahsyat. Jika setiap lima tahun ada perubahan kebijakan, delivery kebijakan ke seluruh daerah belum tentu tercapai.
Memperhatikan enam catatan tersebut menjadi hal penting, agar kompleksitas pendidikan dapat diurai dan dicarikan solusinya. Pendidikan adalah arena perjuangan atas otoritas, identitas, dan makna menjadi terdidik, hal tersebut diungkapkan oleh Michael Apple, salah satu akademisi otoritatif di bidang pendidikan. Dalam prosesnya, reformasi politik pendidikan dijalankan melalui proyek-proyek budaya, politik, dan ekonomi serta visi ideologis dan tidak semata teknis (Apple, 2019).
Jika memperhatikan apa yang disampaikan oleh Apple tersebut, sudah sangat jelas bahwa mendidik generasi bangsa merupakan persoalan yang tak pernah mudah. Dalam konteks Indonesia yang bineka ragam identitas anak-anak bangsa baik dari segi sosial, kultural, dan ekonomi menandai betapa pendidikan harus memberi perhatian pada aspek otoritas, identitas, dan makna subjektif menjadi subjek terdidik dari setiap generasi.
Sebagai bangsa yang memiliki populasi penduduknya begitu besar dengan geografi wilayah yang sangat bervariatif dan memiliki banyak tempat yang sulit dijangkau, mengimplementasikan kebijakan pendidikan yang dapat mengayomi semua kebutuhan dari rakyat Indonesia tentu sangat tak mudah. Jika berkaca pada Pancasila, tentu visi ideologis kebijakan pendidikan adalah sila-sila yang ada pada Pancasila tersebut. Namun, sudah dimaklumi pembuat kebijakan di negeri ini selalu kesulitan untuk merealisasikan Pancasila dalam ruang aktual.

Visi ideologis pendidikan di negeri ini juga didasarkan pada keinginan untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Atas dasar itu, pendidikan tidak hanya difokuskan pada ruang pendidikan formal, tetapi hadir di semua ruang kehidupan bangsa. Secara normatif, maka setiap laku dari para pemimpin atau tokoh publik juga merupakan bagian dari “pendidikan” dan berkontribusi terhadap pencerdasan bangsa. Sebab itu, jika ada laku destruktif atau contoh buruk yang ditampilkan oleh para tokoh publik, tentu hal tersebut akan berkontribusi atas “pendidikan” tidak elok yang mereka tampilkan.
Dalam konteks tersebut, kekuatan visi dari pemerintah terkait dengan pendidikan menjadi sangat penting. Proyeksi dari visi jangka panjang tersebut kemudian diimplementasikan dalam kebijakan dan implementasi kebijakan. Repotnya, kita sudah memiliki dokumen-dokumen teknokratis seperti dokumen kebijakan atau pun peta jalan pendidikan. Namun, kita sadar, operasionalisasi sesuatu yang normatif menjadi implementatif adalah hal yang sangat sulit dilakukan dengan smooth di ruang aktual. Namun itulah perjuangan bersama untuk mewujudkan setiap hal yang sudah dijanjikan. Semoga di tahun 2025 pemerintah terus melakukan perbaikan mendasar tahap demi tahap secara konsisten, serta lebih memperhatikan kelompok yang marjinal, yang selama ini tertinggal laju pembangunan.