Kanal

Komdigi Ulang Kesalahan dan Berutang


Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) akan melelang spektrum frekuensi selebar 80 MHz di rentang 1,4 GHz untuk layanan internet murah. Konon, kecepatan yang tersedia bisa mencapai 100 Mbps (megabit per second) dengan harga sekitar seratus ribu rupiah.

Menurut Komdigi, penetrasi layanan pita lebar tetap (FBB – fixed broadband) masih sangat rendah. Hanya sekitar 21,31% rumah tangga yang memiliki akses, itu pun dengan kecepatan rata-rata 32 Mbps, jauh dari klaim 100 Mbps yang dijanjikan dengan harga lebih murah.

Kebijakan ini seolah mengulang kejadian beberapa dekade lalu, ketika kementerian yang sama—dengan nama berbeda—melelang spektrum frekuensi 2,3 GHz untuk layanan broadband wireless access (BWA). Saat itu, banyak pemenang lelang dijanjikan layanan internet murah dan penetrasi yang luas. Bahkan, bukan hanya penyelenggara internet yang tertarik, tetapi juga pihak lain.

Dijanjikan bahwa masyarakat akan bergairah berlangganan internet, apalagi saat itu internet masih merupakan barang langka. Operator internet baru pun berani menawar dengan harga tinggi. Namun, peran operator seluler sudah mapan, sehingga spektrum frekuensi 2,3 GHz untuk BWA tidak laku. Akibatnya, banyak operator baru bertumbangan, termasuk Bakrie Telecom, Jasnita, dan Berca, yang akhirnya mengembalikan lisensi serta spektrumnya.

Lelang kali ini pun terbatas hanya untuk dua pemenang dari 1.275 perusahaan penyedia jasa internet yang tergabung dalam Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Kawasan operasinya pun dibatasi pada daerah yang menjadi sasaran universal service obligation (USO)—program pemerintah untuk menyetarakan layanan telekomunikasi di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), seperti sebagian Kalimantan, NTT, dan Papua.

Baca Juga:  Krisis Kepercayaan di Jantung Ekonomi Global

Industri Heran

Ahli kawasan 3T, Bakti (Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi) Komdigi, sendiri mengalami kesulitan besar dalam menjalankan tugasnya. Tidak hanya soal keamanan, tetapi juga kendala geografis seperti hutan belantara yang pekat, jarak antarkampung yang jauh, dan antar-pulau, sehingga membutuhkan modal besar.

Dari segi teknologi, spektrum 1,4 GHz memiliki kapasitas besar tetapi jangkauannya sempit. Dengan metode frequency reuse, BTS yang dipasang harus lebih banyak, sehingga jumlah pelanggan yang terlayani bisa lima kali lebih banyak dibandingkan spektrum bawah seperti 800 MHz atau 900 MHz.

Namun, biaya pembangunan BTS di spektrum ini jauh lebih mahal. Selain itu, ekosistem perangkat di spektrum 1,4 GHz masih rendah. Artinya, ketersediaan perangkat seperti radio, ponsel, dan infrastruktur lainnya masih terbatas di pasar, meskipun Korea Selatan disebut telah sukses menggunakannya.

Keputusan Komdigi untuk menjual spektrum 1,4 GHz pun membingungkan industri, terutama karena kementerian ini masih memiliki utang untuk merilis spektrum 700 MHz, 2,6 GHz, dan 26 GHz sejak 2024 untuk layanan 5G. Ketiga spektrum ini sebenarnya bisa menyediakan lebih dari 1.200 MHz bagi empat operator, sementara layanan 5G idealnya membutuhkan sedikitnya 100 MHz per operator.

Baca Juga:  Sepertiga Korban Kecelakaan KA Tewas

Ekosistem spektrum 2,6 GHz dan 26 GHz sudah matang dengan ketersediaan perangkat di pasaran. Spektrum 700 MHz, yang sebelumnya digunakan untuk siaran televisi analog dan kini dialihkan ke digital, dinilai sangat cocok untuk layanan Internet of Things (IoT), meskipun kurang diminati operator telekomunikasi.

Masalahnya, ekosistem teknologi di spektrum 700 MHz berbeda dari yang digunakan dalam layanan telekomunikasi berbasis frekuensi 800 MHz, 900 MHz, hingga 2,1 GHz. Hal ini memerlukan modul khusus di perangkat BTS dan pusat jaringan. Sementara itu, untuk spektrum 2,6 GHz dan 26 GHz, modulnya sudah tersedia dan operator hanya tinggal memasangnya (plug and play).

Utang Spektrum

Komdigi memiliki utang kepada masyarakat. Saat masih bernama Kominfo, kementerian ini berjanji akan melelang spektrum 700 MHz, 2,6 GHz, dan 26 GHz pada 2024. Memenuhi janji ini mungkin lebih bermanfaat bagi masyarakat dibandingkan rencana pelelangan spektrum 1,4 GHz.

Spektrum 700 MHz menyediakan 90 MHz, sementara spektrum 2,6 GHz yang sebelumnya digunakan untuk transmisi satelit menyediakan 190 MHz. Di spektrum 26 GHz, tersedia sekitar 1.000 MHz yang masih menganggur. Untuk memberikan layanan 5G yang optimal, setiap operator—Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), dan XL Axiata—membutuhkan minimal 100 MHz masing-masing.

Baca Juga:  Efisiensi Hijau di Tengah Gonjang-ganjing Ekonomi Global

Saat ini, layanan 5G memang telah tersedia di puluhan kota di Indonesia. Namun, layanan tersebut masih menggunakan spektrum milik 4G LTE, sehingga sering disebut sebagai 5G rasa 4G. Selain itu, layanan 5G masih lebih banyak dinikmati oleh sektor industri, transportasi, logistik, kota pintar, pertanian, dan peternakan, ketimbang masyarakat umum.

Investasi awal yang sangat besar membuat harga layanan 5G menjadi mahal, bisa mencapai 10 kali lipat dari harga layanan seluler saat ini. Sementara itu, dunia bahkan sudah mulai memasuki era layanan 6G, yang teknologinya didukung oleh satelit.

Layanan 5G membutuhkan spektrum menengah (middle band) seperti 2,6 GHz dan spektrum tinggi (upper band) seperti 26 GHz, yang mampu menyajikan latensi lebih rendah. Spektrum 700 MHz memiliki keunggulan jangkauan luas hingga radius lima kilometer, mirip dengan spektrum rendah lainnya seperti 800 MHz dan 900 MHz. Sebaliknya, spektrum tinggi di atas 2,6 GHz memiliki jangkauan lebih pendek, hanya sekitar 200-300 meter.

Back to top button