Kanal

MBG: Sudah Tipis Dikerat Pula


Selain turunnya anggaran per porsi dan target penerima, hambatan teknis juga terlihat merata. Di Yogyakarta, pemerintah daerah mengeluhkan kurangnya petunjuk teknis dari pusat. Bahkan di Jakarta, tempat kebijakan itu digodok dan dibincang-debatkan, SMAN 14 Cililitan belum mendapat distribusi makanan, meski jaraknya dekat dengan dapur MBG.

Senin, 6 Januari 2025, menjadi awal bersejarah bagi Program Makan Bergizi Gratis (MBG), nama terkini untuk program Makan Siang Gratis pada awalnya. Di hari itu, 190 dapur MBG yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia mulai beroperasi, menyediakan makanan bergizi bagi ratusan ribu anak sekolah. Janji Presiden Prabowo Subianto dalam kampanye Pilpres 2024 akhirnya mulai direalisasikan. Tapi, apa yang terlihat megah, antusias dan penuh semangat  di atas panggung. ternyata menyimpan tantangan besar di lapangan.

Langkah pertama program itu langsung dihadang persoalan anggaran. Awalnya, pemerintah menetapkan Rp15 ribu per porsi sebagai standar. Namun, sebelum pelaksanaan dimulai pun, jumlah itu dipotong menjadi Rp10 ribu per porsi. Banyak pihak mempertanyakan keputusan tersebut. Diah Saminarsih, CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), mempertanyakan hal itu sehubungan pentingnya kecukupan gizi. 

“Kalau anggaran dipotong, bagaimana kualitas makanan bisa terjaga?” tanya Diah. Bahkan, laporan di lapangan menunjukkan adanya pengurangan lebih jauh, hingga dana di tingkat penyedia disebut-sebut hanya tersisa Rp8 ribu per porsi. Tak heran, banyak katering akhirnya memilih mundur, seperti yang terjadi di Depok, misalnya. 

Persoalan anggaran hanyalah salah satu dari banyak kendala menghadang. yang dihadapi. Di Sragen, Jawa Tengah, Letkol Inf Ricky Julianto Wuwung dari Kodim 0725 terpaksa menggunakan dana pribadi untuk menguji coba program tersebut. “Kami masih menunggu verifikasi dari Badan Gizi Nasional (BGN),” kata Letkol Ricky.  Uji coba itu diadakan untuk mengidentifikasi kendala operasional, seperti distribusi makanan ke lokasi terpencil. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun makanan tetap layak konsumsi, tantangan logistik masih menjadi pekerjaan rumah besar. Selain itu, keterlibatan Kodim di wilayah lain, seperti di Hulu Sungai Tengah, juga menunjukkan masih dominannya inisiatif lokal dalam menalangi biaya operasional karena dana pusat yang lambat turun.

Baca Juga:  Mitos Kemajuan

Janji yang Ambisius, Realitas yang Berat

Program MBG menargetkan tiga juta penerima manfaat. Namun, anggaran yang cekak membuat target itu dikoreksi menjadi hanya 600 ribu orang. Hal itu pula yang membuat Wakil Ketua MUI, Anwar Abbas, mengingatkan agar distribusi tidak diskriminatif. “Kalau hanya sekolah negeri yang diberi, bagaimana nasib anak-anak di pesantren dan madrasah?” tanya Anwar. Sorotan terhadap potensi ketidakmerataan ini mencerminkan tantangan dalam memastikan program tersebut menjangkau seluruh pelosok Indonesia.

post-cover
Suasana dapur MBG di SPPG Khusus Lanud Halim Perdana Kusuma/Koperasi Angkatan Udara, Makassar, Jakarta Timur. (Foto: Inilah.com/Harris Muda).

Selain turunnya anggaran per porsi dan target penerima, hambatan teknis juga terlihat merata. Di Yogyakarta, pemerintah daerah mengeluhkan kurangnya petunjuk teknis dari pusat. Bahkan di Jakarta, tempat kebijakan itu digodok dan dibincang-debatkan, SMAN 14 Cililitan belum mendapat distribusi makanan, meski jaraknya dekat dengan dapur MBG. 

Masalah teknis lain muncul di Pekanbaru, Riau, di mana distribusi tertunda akibat keterlambatan pengiriman peralatan dapur. Selain itu, beberapa dapur MBG, terutama yang beroperasi di wilayah perbatasan seperti Papua, harus menghadapi tantangan geografis yang memperlambat distribusi makanan. Sejumlah wilayah terpencil bahkan harus mengandalkan transportasi laut yang memakan waktu berhari-hari.

Maunya Susu, Jadinya Kelor

Janji awal MBG mencakup menu bergizi lengkap, termasuk nasi, sayur, lauk daging atau ikan, buah, dan susu. Namun, kenyataan di lapangan sering berbeda. Distribusi susu dihentikan di beberapa daerah. Konon, alasannya  karena keterbatasan pasokan sapi perah. Bahkan, sempat ada wacana menggantinya dengan kelor sebagai alternatif murah. Kritik pun bermunculan. “Kalau kita mau serius dengan program nasional ini, detil-detil seperti kecukupan gizi harus jadi prioritas,” ujar Diah Saminarsih.

Baca Juga:  Pahlawan Devisa dan Pusaran TPPO

Selain perubahan menu, keluhan lain yang muncul meliputi makanan basi, porsi tidak memadai, dan distribusi terlambat. CISDI melaporkan bahwa porsi makanan untuk anak PAUD hingga SMA disamaratakan, yang jelas tidak sesuai dengan kebutuhan gizi mereka. Di beberapa daerah, seperti Sumatera Utara, makanan tiba dalam kondisi tidak higienis akibat keterlambatan distribusi. Sementara di Jawa Barat, terdapat laporan makanan yang kurang layak konsumsi karena kurangnya pengawasan di dapur MBG lokal.

Dalam proyek sebesar ini, kekhawatiran tentang korupsi tidak bisa dihindari. Trubus Rahardiansyah, pengamat kebijakan publik, menyebut bahwa pengawasan harus melibatkan lembaga independen. Ia mengingatkan bahwa sistem pengawasan internal pemerintah seringkali lemah. “Jika dana Rp10 ribu disunat menjadi Rp8 ribu, bagaimana nasib anak-anak kita?” tanyanya.

post-cover
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan. (Foto: Antara/Fianda Sjofjan Rassat).

Deputi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, menegaskan bahwa program MBG harus diawasi ketat. “Potensi korupsi di proyek ini besar, apalagi jika pengawasannya longgar. Kita harus memastikan penggunaan dana benar-benar sampai ke tangan penerima manfaat,” ujar Pahala. Menurut da, KPK saat ini tengah memetakan titik rawan penyimpangan, termasuk dalam proses pengadaan bahan baku dan distribusi dana ke tingkat daerah.

Pengamat lainnya, Agus Pambagio, bahkan menyebut bahwa potensi korupsi di proyek semacam ini bisa mencapai 40 persen. “Dalam proyek besar seperti ini, peluang korupsi selalu ada. Kita butuh sistem pengawasan yang lebih ketat,” ujarnya. Indikasi ini menunjukkan bahwa meski program ini melibatkan TNI sebagai ujung tombak, adat korupsi tampaknya masih bisa mencari celah.

Pelibatan TNI dalam pelaksanaan MBG mencerminkan tantangan unik di lapangan. Di banyak daerah, TNI menjadi garda depan distribusi makanan, terutama di wilayah terpencil. Di Sragen, misalnya, TNI berhasil memastikan makanan tetap layak konsumsi meski harus didistribusikan ke lokasi paling jauh. Peran TNI juga terlihat signifikan di wilayah-wilayah dengan tingkat keamanan rendah, seperti Papua dan Kalimantan Utara, di mana mereka harus mengatasi hambatan keamanan serta tantangan geografis.

Baca Juga:  Bergelut dengan Rencana Tarif Trump

Namun, pelibatan itu pun tak urung menuai kritik. Beberapa pihak mempertanyakan apakah itu justru mencerminkan lemahnya mekanisme sipil dalam mengelola program nasional. Selain itu, beberapa anggota DPR menyatakan bahwa pelibatan TNI harus dibarengi dengan pelatihan khusus terkait pengelolaan program sosial. Tanpa itu, efektivitas pelibatan ini mungkin tidak maksimal.

Harus Diawasi Ketat

Pahala Nainggolan menyarankan agar pemerintah segera menyusun skema pengawasan yang lebih jelas untuk mencegah penyimpangan. “Program ini baik, tapi tanpa pengawasan yang ketat, kita membuka peluang besar untuk korupsi,” ujar Pahala. 

Di sisi lain, Wakil Kepala BKKBN, Ratu Isyana Bagoes Oka, menekankan bahwa infrastruktur seperti Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) masih jauh dari ideal. “Kami terus melakukan evaluasi agar seluruh sasaran bisa menerima manfaat program ini,” kata Bagoes Oka.

post-cover
Wakil Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Wamendukbangga)/Wakil Kepala BKKBN Ratu Isyana Bagoes Oka sedang membagikan Makan Bergizi Gratis untuk Ibu hamil dan menyusui. (Dokumentasi: Inilah.com/ Clara Anna)

Inspirasi juga datang dari negara seperti Jepang, yang telah menerapkan program makan siang gratis ini selama puluhan tahun. Namun, Agus Pambagio mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa meniru begitu saja. “Semua butuh proses panjang. Tidak mungkin kita langsung mencapai level itu tanpa jatuh bangun terlebih dahulu,” ujar Agus.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah janji besar yang membawa harapan besar pula. Namun, tantangan anggaran, logistik, dan pengawasan menjadi ujian berat. Tanpa perencanaan matang dan pengawasan ketat, MBG hanya akan menjadi proyek ambisius tanpa dampak nyata.

Sebagai masyarakat, kita harus terus mengawal program ini. Hanya dengan komitmen untuk memperbaiki kelemahan, janji kampanye ini dapat menjadi kenyataan yang membawa perubahan nyata bagi generasi muda Indonesia. [dsy/rizki aslendra/clara anna/reyhaanah asyaroniyyah]

Back to top button