Kanal

“SBY-gita” Sebelum Kontestasi 2024

Tidak berlebihan jika orang memandang nasihat itu sejatinya untuk sang putra, AHY. Barangkali, ibarat Sri Kreshna yang tak hendak melihat Arjuna termangu dalam bimbang, SBY pun tak ingin melihat hati sang putra yang akan bertandang itu tidak bulat dan kurang padat. Bahkan ada yang bilang, nasihat itu laiknya “Bhagawadgita” kecil, bagian epos tua “Mahabharata”, berisikan nasihat Kreshna untuk Arjuna, sesaat sebelum perang di Kurusetra.

Oleh    : Darmawan Sepriyossa

Setelah lengser keprabon secara konstitusional, 20 Oktober 2014, bisa dikatakan bahwa pada sisi dirinya, mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono benar-benar  madeg pandhita. Usai bertahta dan meninggalkannya, sebagaimana idealisasi tata kehidupan yang “njawani” SBY terlihat menjalani kehidupan layaknya begawan yang mulia nan bijaksana (madeg pandhita).

Dalam tata lelaku kenegarawanan Jawa, “madeg pandhita” memang mengidealkan posisi sebagai begawan yang hanya berperan memberi nasihat seperlunya kepada penguasa baru, berdasarkan kebijakan dan pengalaman hidup yang telah dijalani. Seorang mantan kepala pemerintahan akan lengser, menjauh dari riuhnya keduniawian, hanya mempersiapkan jalan terbaik untuk pulang ke kampung halaman sejati : akhirat, menemui Yang Mahakuasa yang telah memberikan segala. Ia memang sesekali menengok dan memberikan nasihat bijak. Tetapi fokusnya tetap mempersiapkan jalan pulang ke Keilahian. Semacam miniatur perbuatan dari lelaku seda yang dilakukan para Pandawa setelah berakhirnya Perang Bharata Yudha.

Sayang sekali, peran sebagai pandhita linuwih yang mampu memberi nasihat karena posisi dan pengalamannya di masa lalu itu, tampaknya kurang optimal dilakukan SBY. Meski asumsi ini hanya didasarkan pada berita-berita media massa dan media sosial, peluangnya sebagai kebenaran tampaknya jauh lebih besar.

Tetapi kekurangoptimalan itu tentu tak harus ditudingkan semata sebagai kesalahan SBY. Bernasihat adalah perbuatan berbalasan, resiprokal. Lebih sering, dalam tata krama Nusantara, pihak yang diberi nasihat sejatinya adalah pihak yang memang meminta nasihat. Sementara, setidaknya dari berita-berita media massa, hubungan sang penerus, Presiden Jokowi, dengan SBY lebih sering mengesankan publik tidak dalam kondisi baik.

Belum lagi publik juga melihat, betapa para buzzer yang cenderung dilekatkan sebagai inner circle Presiden Jokowi pun memang terlihat tidak menunjukkan simpati kepada SBY. Hanya satu-dua tahun setelah naiknya Jokowi sebagai presiden, para buzzer—di medsos sering disebut sebagai “Buzzer Istana”—sering mengulang-ulang kalimat yang kurang memiliki sikap sopan dan rendah hati, terutama, misalnya, “Presiden sebelumnya kemana saja?”, atau “Presiden yang kemaren-kemaren pada ngapain aja ya? #eh”. Biasanya hal itu mereka angkat seiring mengangkat berbagai hal yang dianggap sebagai prestasi pemerintahan Presiden Jokowi.

Baca Juga:  Langkah Politik: Tidak Ada Lagi Teori Ekonomi

Dari googling sebentar saja kita bisa mendapatkan, misalnya, pada 1 Maret 2016, di saat mengangkat berbagai upaya pemerintah menaikkan potensi kepariwisataan Danau Toba, akun “KataKita” menulis :”Presiden yang kemaren-kemaren pada ngapain aja ya? #eh. Trus masih ada yang protes jangan suka membandingkan-bandingkan…Trus dari dulu kondisi Danau Toba aja gak kepikiran Presiden kita sebelumnya ngapain aja…”  Hal sejenis itu dengan gampang kita temukan. Dan memang umumnya datang sebagai cuitan, postingan beberapa pihak yang di publik sering disebut sebagai “Buzzer Istana” itu.

Belakangan, manakala di medsos mulai muncul beragam hal yang mengindikasikan kekecewaan publik terhadap pemerintah, frasa panjang “Presiden sebelumnya ngapain aja” itu justru dipakai pihak “oposisi” untuk mendegradasi pamor pemerintah. Misalnya, di Twitter, seiring kekecewaan warga terhadap indikasi perlemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada 4 September 2017 akun @panca66 dengan hastag #RepublikDagelan mencuit,”Hanya terjadi di era Jokowi. Presiden sebelumnya ngapain ajaa?”

Bahkan untuk hal ‘remeh temeh’, yang terlihat dari artikel berjudul “Jalan Kaki 2 Kilometer di Malioboro, Jokowi Beli Tas Rp 20.000”, yang ditulis sebuah media terkemuka, pada 31 Desember 2017 akun yang sama merespons dengan cuitan yang senada,”Luar biasa. Presiden sebelumnya ngapain aja?”

Tampaknya, “kelalaian” pemerintah untuk menyetop posting-posting sinis para  buzzer tersebut, memiliki saham besar untuk terjadinya fenomena yang kurang beradab yang kemudian berbalas itu.

Setelah itu, sekian tahun kemudian, beberapa hari lalu kita menemukan clue bahwa memang hubungan antara SBY dan Jokowi, tidak harmonis sebagaimana mestinya. Bila tidak, rasanya tak akan mungkin SBY merilis sebuah buku yang secara jumlah halaman memang ganjil, 27 halaman: “Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi“. Meski Partai Demokrat melalui Juru Bicara Partai, Herzaky Mahendra Putra, mengatakan buku yang dirilis SBY tersebut dimaksudkan untuk “memperluas wawasan dan memperdalam pemahaman para pimpinan dan kader Demokrat mengenai situasi Pilpres 2024”, kepada publik pesannya tegas dan jelas: SBY tak sepaham dengan cara Jokowi bermanuver seiring Pemilu 2024.

Baca Juga:  Politik Imajinasi

***

Tetapi sebagaimana penulis ungkap di atas, pada sisi dirinya, SBY benar-benar telah mandhita. Itu dengan jelas kembali ia lakukan Rabu (5/7/2023) lalu, saat mendatangi ratusan kader dan para bakal caleg partai tersebut di sebuah rumah makan di Ciperna, Cirebon.

Dengan gayanya yang santai, khas seorang pensiunan yang tengah menikmati masa-masa istirahat pasca-bakti, SBY bernasihat kepada para kader Demokrat. Dari isinya, banyak pihak menafsirkan sejatinya wejangan itu untuk putra terkasih dan kader biologis-ideologisnya, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).

Tak hanya membakar panas tekad para kader, dalam arahannya SBY mewanti-wanti bahwa jalan menuju kemenangan adalah jalan terjal, panjang, perih, lelah, membosankan, yang akhirnya disertai sikap pasrah. Di hadapan kader Demokrat SBY mengatakan, ada dua kunci yang harus dipegang para kader untuk berjuang memenangkan partai. Yang pertama perjuangan keras dan ikhtiar maksimal para kader. “Yang kedua, hal yang sepenuhnya harus dipasrahkan, yakni kehendak Allah,”kata SBY. “You’re fighting the battle, kalianlah yang bertempur di situ. Maka bertempurlah baik-baik, dengan cara baik, dengan niat baik, karena tujuannya baik, melakukan sesuatu untuk rakyat yang kita cintai.”

Ia mengulang kenangan Pilpres 2004, di saat dirinya ‘mengalahkan’ pasangan Megawati Soekarnoputri-KH Hasyim Muzadi; Hamzah Haz-Jenderal Agum Gumelar; Amien Rais-Siswono Yudohusodo; Jenderal Wiranto-KH Solahuddin Wahid. Mega adalah petahana presiden, demikian pula Hamzah Haz yang petahana wapres. KH Hasyim adalah ketua PBNU, sementara Agum dan Wiranto adalah senior SBY, bahkan Wiranto adalah mantan panglima TNI. Di sisi lain Amien Rais adalah bapak Reformasi, dan Gus Solah adalah adik kandung Gus Dur yang mewakili NU. “Semua di atas saya, senior saya,”kata SBY. Tidak heran, banyak orang yang tak gampang percaya dirinya bisa terpilih sebagai presiden keenam negeri ini.

Baca Juga:  Kartini dari Blitar: Rofiah Bangkitkan Tradisi Jamu dan Ekonomi Perempuan di Desa

Hanya karena dorongan sang istri, almarhumah Ibu Ani, kata SBY, disertai berangkat dari bismillah, perjuangan panjang itu bisa tuntas ia lakukan. Pagi, siang, sore, menurut SBY, ratusan titik dalam sepekan ia datangi. “Saya temui saudara kita rakyat Indonesia, I talk to them. Sangat melelahkan, tetapi harus saya lakukan. Lalu saya dengarkan apa harapan mereka, keinginan mereka.”

Yang tak lupa ia lakukan, kata SBY, ia juga menegaskan apa yang menjadi program. “Saya katakan, kalau Allah menghendaki saya jadi, inilah tugas saya: menegakkan keadilan, membuat rakyat makin sejahtera, Indonesia yang makin aman….” Semua itu, menurut dia, tak akan terwujud tanpa kerja keras dan keyakinan yang tumbuh dari doa. “Tak ada resep ajaib, tak ada jalan pintas,”kata mantan presidan tersebut.

                                  ***

Tidak berlebihan jika orang memandang nasihat itu sejatinya untuk sang putra, AHY. Barangkali, ibarat Sri Kreshna yang tak hendak melihat Arjuna termangu dalam bimbang, SBY pun tak ingin melihat hati sang putra yang akan bertandang itu tidak bulat dan kurang padat. Bahkan ada yang bilang, nasihat itu laiknya “Bhagawadgita” kecil, bagian epos tua “Mahabharata”, berisikan nasihat Kreshna untuk Arjuna, sesaat sebelum perang di Kurusetra. Kalau menurut Mao Tse Tung politik adalah perang tanpa pertumpahan darah, barangkali Pemilu memang sejenis perang juga. Meski tentu, kita tak hendak semua menjadi epos Kurusetra, di mana yang terjadi adalah civil war alias perang saudara.

“SBY-gita” itu mungkin bisa dianggap Bhagawadgita kecil karena nasihat SBY itu pun seolah mengandung “Karma Yoga”, bagian dari Bhagawadgita yang menguraikan hakikat perbuatan manusia di dunia. Tentang bagaimana perbuatan manusia membelenggu, atau sebaliknya, membebaskan dirinya dari ikatan dengan dunia. Ibarat keyakinan para Nazi, “Arbeit macht frei” atau “Kerja itu membebaskan”, meski kemudian disalahgunakan jadi ungkapan yang dipasang di gerbang Kamp Konsentrasi Auschwitz.

SBY telah madeg pandhita. Sayang, seperti juga kepada Aryanto Misel, peneliti Nikuba Hidrogen di BRIN, negara lalai memperhatikannya selama ini. Mungkin, meliriknya pun tidak. [  ]

Back to top button