Predator Berjas Putih Menebar Teror dan Trauma di Ranjang Pemeriksaan

Perempuan itu tampak terbaring pasrah di atas ranjang pemeriksaan. Usia kehamilannya baru memasuki trimester pertama. Hari itu ia datang untuk kontrol kandungan dengan penuh harapan.
Suasana ruang periksa tampak normal, dingin, tenang, seperti biasa. Tapi hari itu, alih-alih pulang membawa kabar detak kesehatan janinnya, ia malah mendapat luka yang tak bisa dideteksi USG.
Sang dokter, Muhammad Syafril Firdaus (MSF), tak hanya memegang stetoskop, tapi juga menodai kepercayaan. CCTV tak bisa berbohong. Tangan yang seharusnya menyentuh untuk memeriksanya, justru meremas di tempat yang bukan wilayah medis, tapi wilayah privasi yang sakral. Sang dokter dengan sadar meremas payudara pasien yang sedang diperiksanya itu, jelas sebuah pelecehan.
Tubuh perempuan itu berada dalam ketakutan dan kebingungan. Tempat yang seharusnya menjadi zona nyaman berubah menjadi panggung teror dan kecemasan. Ini bukan lagi sekadar pelanggaran etik tetapi bentuk pengkhianatan terhadap nilai profesi mulia.
Ketika seorang dokter mencederai kepercayaan pasien, luka yang ditinggalkan tak hanya fisik, tapi juga psikis. Trauma ini menjalar, membentuk ketakutan kolektif di tengah masyarakat, terutama pasien perempuan yang seharusnya dilindungi. Kasus ini membuat banyak orang—terutama perempuan—bertanya, “Kalau dokter kandungan aja bisa begini, kita masih harus percaya siapa?”
Menelurusi Rekam Jejak Dokter
Di Jakarta Selatan, Diana (27), seorang ibu yang baru melahirkan satu anak, mengaku hatinya terasa dicabik-cabik saat pertama kali membaca berita tersebut. “Bikin khawatir sih, karena takut banyak dokter laki-laki berbuat seperti ini. Apalagi biasanya ibu-ibu yang periksa kandungan itu new mom, dan belum tahu persis apa aja yang terjadi saat USG,” ujarnya.
Diana, seperti banyak perempuan lainnya, mulai mempertanyakan rasa aman yang seharusnya tak perlu diragukan ketika berada di bawah penanganan tenaga medis. Bukan karena ia pernah jadi korban, tapi karena bayang-bayang kejadian itu terlalu sulit untuk diabaikan.
“Alhamdulillah aku enggak pernah mengalami hal yang aneh,” katanya. Diana mengaku selalu rajin riset sebelum memilih dokter. “Aku cari dulu rekam jejaknya. Kalau enggak menemukan info jelas, ya udah, skip. Masih banyak dokter lain,” tambahnya.
Karyawati perusahaan swasta itu tak menyangkal dokter kandungan memang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki. Dokter pria lebih banyak dipilih karena berdasarkan pengalaman, dokter perempuan seringkali lebih galak dan kurang sabar.
Tapi kini persepsi itu perlahan mulai memudar dari pikiran Diana. Lebih baik berhadapan dengan seorang dokter perempuan yang galak ketimbang harus menerima tindakan tidak senonoh dari pria bejat seperti Syafril Firdaus.
“Kalau dokter cewek memang agak pemarah. Jadi pasien malas bertanya dan takut dimarahin, sementara kalo dokter cowok kebanyakan malah sabar dan enak menjelaskannya, ini berdasarkan pengalaman aku ke dua dokter kandungan cowok yang berbeda ya,” katanya.
Lemahnya Pengawasan
Kasus pelecehan yang dilakukan dokter di Garut adalah satu dari sekian alarm menyoroti lemahnya pengawasan dalam pelayanan kesehatan. Bukan itu saja, munculnya dokter yang mencederai etika profesinya juga merupakan buah dari kegagalan sistemik dalam pendidikan dan rekrutmen calon tenaga medis.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis menegaskan, pentingnya koreksi dari hulu, yaitu pembenahan sistem pendidikan kedokteran serta seleksi ketat terhadap calon-calon dokter.
“Orang sudah mulai muak. Kasus seperti ini membuat orang kehilangan kepercayaan. Dokter-dokter ini kesannya melanggar sumpah, kode etik, melanggar norma susila dan sebagainya dalam satu tindakan. Efeknya adalah orang akhirnya banyak yang tidak percaya pada dokter,” katanya.
Menurut Rissalwan, kepercayaan publik terhadap profesi dokter sejatinya dibangun di atas pondasi sumpah, integritas, dan kepatuhan terhadap kode etik. Namun, kepercayaan tersebut mulai runtuh seiring melemahnya kontrol sosial yang seharusnya menjadi benteng utama dalam dunia medis.
Selama ini masyarakat sangat percaya dengan sumpah profesi, seolah kata-kata sakral yang menjadi benteng utama. Padahal benteng sejati adalah seleksi awal yang ketat, pendidikan membentuk karakter, dan pengawasan. Dokter bukan malaikat, kalau sistem ini terus dibiarkan seperti sekarang ini, maka korban-korban berikutnya hanya tinggal menunggu giliran.