Penggawa-penggawa Baru di Telkom


Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) pada Selasa, 27 Mei 2025, bukan sekadar ajang formalitas. Forum ini menjadi penentu arah baru bagi raksasa telekomunikasi nasional, terutama melalui penunjukan jajaran direksi dan komisaris baru. Di tengah tantangan digitalisasi dan kompetisi yang semakin ketat, wajah-wajah lama dan baru kembali dipercaya mengisi posisi kunci.

Beberapa nama sudah santer terdengar sebelum RUPST digelar. Ada Honesti Basyir, Mohammad Awaluddin, Dian Siswarini, dan Ismail. Keempatnya punya rekam jejak panjang di sektor telekomunikasi, bahkan di luar itu.

Mohammad Awaluddin (57), misalnya, adalah “orang dalam” Telkom sejak awal kariernya. Ia meniti jalur dari level regional, memimpin anak usaha seperti Infomedia, dan sempat dipercaya menjadi Direktur di Telkom sebelum dilimpahkan ke sektor transportasi sebagai Dirut Angkasa Pura II dan Komisaris Utama Pelni. Sebuah transisi lintas sektor yang membuktikan keluwesan strategisnya.

Dian Siswarini (56), nama besar lain, merupakan perempuan pertama yang menjabat CEO di sektor telekomunikasi Indonesia melalui XL Axiata. Ia membawa perspektif kompetitor ke dalam tubuh Telkom. 

Di XL, Dian sukses mendorong kepemimpinan perempuan, memberdayakan UMKM melalui program Sisternet, dan menyiapkan regenerasi melalui XL Future Leaders. Kini, ia menjadi sosok yang diyakini dapat menyuntikkan angin segar ke Telkom—perusahaan yang dulu pernah ia hadapi sebagai rival.

Honesti Basyir, mantan CEO Bio Farma, kini menjabat Komisaris Telkom. Ia sebelumnya juga Direktur Group Business Development Telkom dan memiliki pengalaman manajerial di sektor BUMN yang strategis. Pengalamannya selama pandemi menjadi nilai tambah di bidang manajemen krisis dan transformasi digital.

Ismail (56), tokoh senior di Kementerian Komunikasi dan Digital, menambah kedalaman kebijakan dalam dewan komisaris. Dengan pengalaman 32 tahun, termasuk sebagai Dirjen SDPPI dan Sekjen Komdigi, Ismail menjadi sosok arsitek kebijakan digital nasional—termasuk Palapa Ring, registrasi prabayar, IMEI, dan ASO (Analog Switch Off). Ia kini dipercaya sebagai Komisaris Independen.

Perempuan, Digitalisasi, dan UMKM

Dian Siswarini patut disorot bukan hanya karena gendernya yang minoritas di level top eksekutif BUMN, tapi juga karena jejak keberpihakan pada pemberdayaan perempuan dan UMKM. Ia mendirikan Sisternet pada 2015, yang kini sudah memberdayakan lebih dari satu juta perempuan, terutama pelaku UMKM di daerah. Ia juga memperluas akses dan literasi digital hingga ke pelosok.

Kembali dari kantor pusat Axiata di Malaysia pada 2015, Dian melanjutkan estafet kepemimpinan dari tokoh legendaris Hasnul Suhaimi. Di bawah arahannya, XL mampu beradaptasi dan melakukan konsolidasi internal, termasuk menyongsong merger XL Axiata dengan Smartfren menjadi entitas baru: XL Smart.

Bergabungnya Dian ke Telkom bisa menjadi tonggak penting transformasi bisnis digital BUMN, sekaligus menguatkan semangat inklusi dan regenerasi kepemimpinan nasional.

Tantangan di Tengah Industri Tiga Besar

Kini Telkom bersaing dalam struktur pasar yang makin terkonsolidasi: hanya tinggal tiga raksasa—Telkomsel, IOH (Indosat Ooredoo Hutchison), dan XL Smart. 

Telkomsel, sebagai anak usaha utama Telkom, menjadi andalan pemasukan grup. Tantangannya kini bukan lagi soal jaringan, melainkan inovasi layanan, cloud service, dan kecerdasan buatan (AI).

Dengan kombinasi Awaluddin yang kenyang pengalaman operasional, Dian yang andal dalam transformasi dan pemberdayaan, serta Ismail yang paham betul arsitektur regulasi, Telkom seperti meramu formula anyar. Mereka akan memimpin Telkom tidak hanya dari sisi korporasi, tapi juga membawa nuansa kebijakan publik dan inklusi sosial.

Bonus dan Risiko Kepemimpinan

Tantangan ke depan tak bisa dianggap remeh. Ekosistem digital Indonesia tengah disorot publik, mulai dari perlindungan data pribadi, investasi AI, hingga disrupsi layanan berbasis aplikasi. Kombinasi kompetensi dari para pemimpin ini akan diuji dalam skenario yang terus berubah cepat.

Tak hanya tanggung jawab strategis, imbal hasil mereka juga menyita perhatian publik. Gaji direktur utama Telkom disebut-sebut bisa mencapai Rp 2,2 miliar per bulan atau sekitar Rp 26,4 miliar per tahun. Komisaris mendapat 45% dari angka itu. Di tengah kritik efisiensi dan transparansi BUMN, angka ini bisa jadi bola panas jika tidak diimbangi dengan kinerja konkret.

RUPST kali ini mungkin hanya berlangsung beberapa jam. Tapi dampaknya bisa bertahun-tahun ke depan. Di tangan para ponggawa baru ini, masa depan Telkom—dan sebagian besar transformasi digital Indonesia—akan diarahkan dan dipertaruhkan.

Apakah mereka akan menjadi manajer status quo, atau justru arsitek perubahan sejati? Waktu yang akan menjawab. Tapi setidaknya, pondasi awalnya sudah lebih dari cukup kuat.

Exit mobile version