Indonesia kiranya sedang darurat inses. Terbaru, kita dikejutkan dengan adanya enam grup media sosial Fantasi Sedarah di Facebook yang membahas inses. Mirisnya, anggota grup-grup itu mencapai 40.000 orang. Kementerian Komunikasi dan Digital telah memblokir grup tak bermoral tersebut.
Darurat inses di negeri kita sebenarnya bukan hal baru. Menurut data Komnas Perempuan, pada tahun 2018 tercatat ada 1.071 kasus hubungan sedarah yang dilaporkan di Indonesia. Pada tahun 2017, angka kasus inses bahkan mencapai 1.210 kasus. Jumlah ini belum mencakup kasus hubungan sedarah yang tidak dilaporkan.
Yuniyanti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan memaparkan, ayah dan paman kandung adalah pelaku utama inses. Dari 1.071 kasus hubungan sedarah pada 2018, 425 di antaranya dilakukan oleh ayah kandung terhadap anak perempuannya. Pagar makan tanaman. Ayah (kandung dan tiri), paman, dan anggota keluarga yang seharusnya menjadi pelindung justru sering menjadi pelaku.
Para korban inses umumnya mengalami depresi berat, kesulitan dalam belajar dan mengembangkan diri, dan bahkan berpotensi menjadi pelaku inses jika tak didampingi dengan baik.
Akar Masalah
Kita perlu mencegah terjadinya inses di akar rumput dengan strategi dan sinergi. Kita perlu memahami terlebih dahulu jenis dan akar penyebab hubungan sedarah. Lantas, kita perlu memetakan keluarga mana yang ada dalam situasi berisiko inses. Setelahnya, perlu dibentuk gugus tugas di akar rumput yang bersinergi untuk mencegah terjadinya inses.
Ada tiga jenis inses. Pertama, inses paternal yang pelakunya adalah ayah kandung atau tiri. Kedua, inses antarsaudara kandung. Ketiga, inses di luar dua kategori tersebut yang dilakukan anggota keluarga lain, misalnya kakek dan paman.
Inses disebabkan oleh aneka faktor yang sering berkelindan. Untuk memahami dengan baik, tiap kasus hubungan sedarah perlu diselidiki secara saksama.
Raymond Lande (1989) memaparkan, inses banyak terjadi dalam keluarga yang berantakan. Tiadanya keharmonisan dalam keluarga, termasuk kurangnya kehangatan seksual suami-istri, memicu terjadinya inses.
Sementara itu penelitian Bevc (1998) menunjukkan, inses antarsaudara kandung lebih banyak terjadi di kalangan keluarga ekonomi lemah daripada di kalangan keluarga berada. Lazimnya keluarga kurang mampu ini kerap berpindah rumah (kontrakan). Anak-anak dari keluarga miskin yang menjadi responden penelitian ini menyatakan, mereka sulit menjalin persahabatan dengan teman-teman di luar rumah.
Inses juga bisa dipicu faktor keterbatasan ruang tinggal. Sebuah laporan kasus inses di Turki oleh Ali Yildirim dan Burak Gumus (2011) mencatat, inses antara kakak laki-laki (23) dan adik perempuannya (17) terjadi antara lain karena mereka tinggal di kamar yang sama. Pengalaman penulis ketika bertugas di sebuah daerah menunjukkan, rumah keluarga miskin yang tanpa sekat membuat anak-anak rentan menyaksikan aktivitas seksual orang tua dan rentan pula menjadi korban kekerasan seksual oleh anggota keluarga sendiri.
Jika kita cermati, kasus inses cenderung terjadi dalam keluarga dalam situasi beresiko. Keluarga dalam situasi berisiko dapat dikategorikan menjadi empat. Pertama, keluarga yang mengalami perceraian dan pisah ranjang. Kedua, keluarga kurang mampu yang tinggal di rumah atau satu kamar yang sempit. Ketiga, keluarga yang menerapkan pola asuh dengan mengandalkan kuasa dominan ayah. Keempat, keluarga di mana anak-anak ditinggal sendirian oleh salah satu atau kedua orang tua yang sibuk bekerja.
Berdasarkan aneka ragam situasi berisiko tersebut, pencegahan dan penanganan (korban) inses tidak cukup hanya dengan pendekatan hukum. Pendampingan keluarga, edukasi moral seksual, dan peningkatan kesejahteraan keluarga perlu kita upayakan lebih giat lagi sebagai bangsa.
Strategi dan Sinergi
Pemerintah, agamawan, akademisi, dan pemerhati masalah keluarga hendaknya menyusun strategi atau peta jalan yang jelas dan bersinergi untuk melakukan upaya pendampingan bagi keluarga dalam situasi beresiko inses.
Membentuk gugus tugas pendampingan keluarga berisiko inses di tingkat akar rumput kiranya mendesak dilakukan. Gugus tugas ini perlu melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat warga. Pemerintah pusat dan daerah perlu menginisiasi pembentukan gugus tugas ini. Tentu dengan alokasi SDM dan keuangan yang memadai.
Para pemangku kepentingan dapat memetakan wilayah mana yang amat memerlukan kehadiran gugus tugas pencegahan inses ini.
Bentuk pembinaan yang dapat diberikan, antara lain konseling psiko-spiritual, edukasi pengasuhan anak, pendidikan seksual, dan pemberdayaan ekonomi keluarga. Perlu dibangun rumah aman bagi anak dan remaja dalam keluarga beresiko inses, terutama di daerah rawan.
Gugus tugas pendampingan keluarga berisiko inses sejatinya dapat pula diperluas tugasnya, misalnya dalam pencegahan kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia, dan pelacuran anak.
Patroli Siber
Indonesia memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas). Aturan ini mengatur kewajiban setiap platform digital untuk melindungi anak dari paparan konten berbahaya serta menjamin hak anak untuk tumbuh dalam lingkungan digital yang aman dan sehat.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama lebih giat lagi untuk memberantas penyebarluasan konten menyimpang ini. Selama ini, ada kesan bahwa kementerian dan pihak berwajib kurang tegas menindak para pelaku penyebarluasan konten pornografis, termasuk inses.
Patroli siber hendaknya lebih digiatkan dengan penyediaan sumber daya manusia dan peralatan yang memadai. Penegakan hukum bagi pelaku penyebaran konten ilegal harus mampu memberikan efek jera.
Selain penindakan yang bersifat preventif, kita tidak boleh melupakan upaya kuratif untuk menolong para korban dan keluarga yang terluka. Jejak digital sulit dihapuskan. Demikian pula luka psikologis para korban. Empati dan penegakan hukum dapat meringankan luka para korban. Semoga!