
INILAHSULSEL.COM – Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengajak masyarakat untuk aktif dalam upaya mitigasi bencana, terutama mengingat adanya serangkaian bencana alam seperti banjir dan tanah longsor yang terjadi belakangan ini di sejumlah daerah di provinsi tersebut.
“Mitigasi merupakan hal yang sangat krusial. Kita tidak menginginkan keadaan darurat, karena selalu ada risiko kehilangan baik dalam hal nyawa maupun harta,” ungkap Kepala Pelaksana BPBD Sulsel, Amson Padolo, dalam konfirmasinya pada hari Jumat (10/5/2024).
Amson menekankan bahwa langkah mitigasi atau pencegahan dini bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau instansi terkait, melainkan juga tanggung jawab bersama masyarakat.
“Dalam upaya mitigasi, kita perlu menjaga lingkungan, terutama dalam kondisi ekstrem, dengan melakukan penanaman pohon. Kita juga perlu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak membuka lahan tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan,” jelas Amson.
Selain itu, masyarakat juga diminta untuk tidak menggunakan zat kimia seperti pestisida secara berlebihan atau sembarangan, yang dapat mengakibatkan hilangnya unsur hara tanah. Begitu juga, mereka diimbau untuk tidak membangun pemukiman di lokasi yang rentan terhadap bencana seperti banjir dan tanah longsor.
“Kami juga menyarankan agar masyarakat tidak membangun rumah di lokasi yang sangat rawan, dan jika memungkinkan, untuk melakukan relokasi. Selain itu, penting untuk membentuk masyarakat yang tangguh terhadap bencana, melakukan pemetaan lokasi bencana, serta membangun infrastruktur penahan ombak atau banjir,” paparnya.
Menyikapi serangkaian bencana alam di Sulsel, Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas), Ilham Alimuddin, menjelaskan bahwa selain akibat cuaca ekstrem, banjir dan longsor di tujuh kabupaten di Sulsel juga disebabkan oleh kerusakan lingkungan.
Ilham menyatakan bahwa luasnya area yang terdampak oleh bencana telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian materiil. Salah satu kekurangan yang terlihat adalah minimnya langkah-langkah mitigasi bencana.
Menurutnya, reaksi pemerintah daerah menjadi sibuk setelah bencana terjadi dengan membentuk satuan tugas tanggap darurat, padahal investasi dalam mitigasi sangat penting. Namun, upaya pencegahan kebencanaan belum berjalan lancar.
“Diperlukan saat ini adalah kampanye mitigasi. Kami sudah melakukan untuk membantu pemda dengan menyusun dokumen Kajian Risiko Bencana (KRB). KRB ini sebenarnya amanah undang-undang, tetapi banyak daerah tidak membuat dokumen itu,” katanya.
Apabila dokumen KRB itu ada, lanjut dia, tiap daerah sudah mempunyai langkah pencegahan serta edukasi. Selain itu pemda juga akan punya sistem pencegahan dini agar tidak memakan korban jiwa maupun meminimalisir kerusakan dampak bencana.
Perubahan alih fungsi lahan, ungkap dia, juga berpengaruh terhadap terjadi bencana, bukan hanya disebabkan cuaca ekstrem dengan intensitas sedang-tinggi pada daerah tertentu.
“Dapat kita lihat bersama bencana alam banjir maupun longsor itu semakin meluas. Padahal, dulunya tidak begitu, sebab 10 tahun lalu tutupan lahan kita masih banyak yang hijau serta vegetasinya masih lebat,” papar Ilham.
Perubahan itu berkaitan dengan laju urbanisasi, pembangunan pemukiman makin masif yang membutuhkan lahan sehingga terjadi alih fungsi. Begitu pula aktivitas tambang bertambah, termasuk pembukaan lahan pertanian dan perkebunan, misalnya di Enrekang perkebunan bawang dan lahan merica di Kabupaten Luwu.
“Bila melihat lokasi bencana di Luwu, apakah lima sampai 10 tahun lalu aktivitas alih lahan itu memberikan dampak signifikan dengan bencana kali ini terjadi. Belum lagi contohnya sungai yang dulunya lebar, kini menyempit, diduga terjadi pendangkalan akibat sedimen dari atas (hulu),” pungkasnya.