News

Dokter Bedah di Hadapan Parlemen Inggris Sebut Gaza Mirip Hiroshima


Para dokter dan staf medis menggambarkan situasi mengerikan di Gaza kepada anggota parlemen Inggris Selasa (12/11/2024). Mereka menggambarkan krisis perawatan kesehatan yang melanda daerah kantong terkepung itu mirip dengan Hiroshima.

Selama pertemuan dengan anggota parlemen dan Komite Pembangunan Internasional, para dokter dan staf medis berbagi cerita langsung tentang rumah sakit yang penuh sesak, kekurangan pasokan medis yang parah, dan kekerasan tanpa henti yang berdampak pada warga sipil.

Profesor Inggris Nizam Mamode, mantan spesialis bedah transplantasi dan pernah menghabiskan waktu di Rumah Sakit Nasser, yang diserbu dan dikepung pasukan Israel pada Februari lalu, berbicara tentang pengalamannya di Gaza.

Ia mengatakan kepada para anggota parlemen bahwa pemandangan yang disaksikannya mirip dengan Hiroshima dan Nagasaki. Apa yang dilihat di Gaza adalah kehancuran bangunan-bangunan menjadi puing-puing. “Kebanyakan orang di Gaza terpaksa pindah enam atau tujuh kali,” katanya.

“Serangan pesawat tanpa awak terus-menerus terjadi. Ini telah menjadi ciri kehidupan Palestina selama beberapa waktu, tetapi sekarang serangan itu sangat menimbulkan rasa takut,” tambahnya, mengutip The New Arab (TNA).

Mamode berada di Gaza dari pertengahan Agustus hingga pertengahan September dan mengatakan banyak hal yang dilihatnya menyedihkan. “Ada tindakan yang jelas, disengaja, dan terus-menerus, di mana setelah bom dijatuhkan, pesawat tanpa awak akan datang dan menargetkan warga sipil dan anak-anak… 60 persen orang yang kami tangani adalah wanita dan anak-anak,” katanya.

Baca Juga:  Soal Tentara Masuk Kampus, Mensesneg akan Pertanyakan Tujuan TNI

“Peluru yang ditembakkan pesawat nirawak itu adalah pelet kuboid kecil, yang saya ambil dari anak-anak. Anak termuda yang saya operasi adalah seorang anak berusia tiga tahun mengalami cedera parah pada arteri di lehernya. Kami menggunakan bahan terakhir di rumah sakit…dia meninggal sekitar tiga atau empat hari kemudian karena infeksi,” tambahnya, seraya menyatakan tidak diragukan lagi bahwa serangan itu disengaja.

Mamode mengatakan bahkan peralatan medis dasar, seperti kapas penyeka, sarung tangan steril, dan parasetamol tidak tersedia di Gaza. “Bantuan medis diparkir di perbatasan dan tidak diizinkan masuk. Kami tidak diizinkan membawa obat-obatan kecuali untuk penggunaan pribadi, dan itu adalah kebijakan yang merupakan pembatasan yang disengaja,” katanya, seraya menambahkan bahwa luka sering kali dihinggapi belatung karena kurangnya kebersihan dan perlengkapan penting seperti sabun.

Selama sidang, para saksi mengatakan kondisi seperti penyebaran Hepatitis A meluas di Gaza karena kurangnya vaksinasi dan kebersihan. Para pembicara juga mencatat bahwa banyak pekerja medis memiliki pengalaman dan pelatihan yang minim, karena banyak spesialis telah terbunuh atau ditahan oleh pasukan Israel.

Baca Juga:  UGM Jalin Komunikasi dengan Polisi terkait Ijazah Jokowi, Siapkan Data untuk Penyelidikan

Para pembicara juga menekankan bahwa kekurangan gizi dan penyakit merupakan tantangan paling signifikan yang dihadapi warga Palestina di daerah kantong tersebut. Sementara mereka yang memiliki kondisi bawaan, seperti kanker, mengalami penurunan kesehatan – yang digambarkan sebagai “biaya perang yang tak terhitung.”

Mamode mencatat bahwa konvoi PBB ditembaki secara langsung oleh pasukan Israel, dan menekankan bahwa sejumlah besar pekerja bantuan telah sengaja menjadi sasaran. “Ada pola yang sangat meresahkan, di mana korban mengalami tiga atau empat luka tembak di bahu atau selangkangan, yang mengindikasikan penggunaan pesawat tanpa awak semi-otonom… seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun datang dengan perut terbuka; apakah dia masih hidup, saya tidak tahu,” kata Mamode, menggambarkan pasien yang datang ke rumah sakit tempatnya bekerja.

Larangan bagi UNRWA Memperburuk Gaza

Selama sesi tersebut, Sam Rose, wakil direktur senior urusan UNRWA di Gaza, menyoroti situasi mengerikan di Gaza yang disebabkan larangan dan pembatasan Israel terhadap operasi organisasi tersebut.

“Dampak [larangan] ini akan sangat menghancurkan…ketika orang-orang hidup dalam kesengsaraan tempat mereka tinggal, penyakit akan menyebar secara besar-besaran, seperti yang baru-baru ini kita lihat pada kasus polio,” katanya, seraya menambahkan bahwa tidak ada organisasi lain di Gaza yang memiliki kapasitas untuk melaksanakan bantuan seperti yang dilakukan UNRWA.

Baca Juga:  Pekerja Migran Tewas di Kamboja tak Ada Indikasi Penjualan Organ Tubuh

Rohan Talbot, direktur advokasi Bantuan Medis untuk Palestina (MAP) mengatakan bahwa Gaza akan terjerumus ke dalam “keruntuhan sistem total” jika UNRWA dilarang. “Mustahil bagi organisasi lain untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan UNRWA, karena mereka merupakan tulang punggung bantuan kemanusiaan, dalam hal klinik, logistik, dan distribusi makanan,” katanya.

Para pembicara mengatakan bahwa mengizinkan bantuan masuk ke Jalur Gaza akan membuat perbedaan yang signifikan dan menyelamatkan banyak nyawa. Sidang di hari itu menandai kedua kalinya anggota parlemen Inggris mengadakan pertemuan untuk menerima bukti mengenai situasi kemanusiaan di Gaza.

Sesi ditutup dengan pembicara yang mengungkapkan bahwa banyak warga Palestina merasa ditinggalkan oleh komunitas internasional dan menekankan kebutuhan medis yang mendesak di Jalur Gaza, termasuk kebutuhan pokok seperti antibiotik, kain penyeka, gaun, kateter, peralatan pencitraan khusus, dan mesin dialisis.

Perang Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 43.603 warga Palestina dan melukai 102.929 lainnya sejak 7 Oktober 2023. Perang tersebut, yang oleh banyak pihak digambarkan sebagai genosida, telah menghancurkan seluruh lingkungan dan menjerumuskan wilayah tersebut ke dalam krisis kemanusiaan yang mendalam.

Back to top button