Kanal

No Debat: Perhatian Penuh Terhadap Hajat Hidup Rakyat


Ada beberapa demonstrasi yang menarik perhatian khalayak ramai. Misalnya yang terbaru adalah aksi mahasiswa bertajuk “Indonesia Gelap.” Pro kontra terkait kebijakan pemerintah adalah hal yang biasa dalam kehidupan berdemokrasi. Namun, jika menyimak situasi kekinian di mana protes mulai muncul dari mahasiswa dan elemen gerakan masyarakat sipil, itu berarti pemerintah harus lebih seksama memperhatikan kebijakan-kebijakan yang telah diumumkan maupun yang sudah diimplementasikan.

Ketika masyarakat mulai menyatakan kesulitan hidup, sudah semestinya pemerintah membuka seluruh panca indera dan nurani untuk memeriksa kondisi riil yang ada di masyarakat. 

Pemerintah dipilih oleh rakyat, sehingga sudah sepatutnya memperhatikan aspirasi rakyat. Di tengah kehidupan yang sulit, ragam kepayahan yang dialami masyarakat bukan cerita rekaan. 

Berita kehilangan pekerjaan, kesulitan mendapatkan pekerjaan, biaya hidup yang terus menanjak tetapi penghasilan mandek, atau kriminalitas mudah ditemukan di kanal-kanal media cetak dan digital. Fakta-fakta tersebut menggambarkan betapa pentingnya akselerasi kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Butuh Angin Segar

Angin segar sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat. Kesegaran bisa dirasakan ketika kebijakan yang diimplementasikan berpihak pada kebutuhan masyarakat. Hal yang paling mudah bagi publik adalah ketika pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang menimbulkan pro dan kontra. 

Jika diperhatikan, masyarakat mudah menangkap adanya perbedaan pernyataan terkait kebijakan tertentu, terkesan ada ketidakselarasan informasi dan kebijakan di antara internal pemerintah sendiri. Ada kalanya kebijakan dibantah, dikoreksi, atau dianulir dengan cepat, apalagi jika ada penolakan dari masyarakat.

Persoalan mendasar, terutama terkait pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan sehari-hari, mulai terasa berat dipenuhi. Ini tak sulit untuk dilacak, cukup turun dan mengobrol dengan masyarakat. 

Para emak-emak, yang sering disebut-sebut saat pemilu, perlu diajak ngobrol oleh pembuat kebijakan. Kira-kira, ketika para emak-emak (meskipun pada kenyataannya, emak-emak dan bapak-bapak saling berkolaborasi dalam pengelolaan anggaran keluarga dan berbelanja) harus melakukan penyesuaian akibat kenaikan harga, misalnya dalam operasional dapur.

Seorang teman bercerita, ia sudah menerima surat kenaikan biaya sekolah di tahun ajaran baru. Untuk sekolah-sekolah swasta, biaya memang naik berlipat-lipat. Meskipun ada jaminan negara untuk pendidikan di sekolah negeri, biaya kehidupan yang terus naik akan berpengaruh pada kondisi anak-anak. Jika ada pergolakan ekonomi di tingkat keluarga, tentu akan mempengaruhi banyak aspek kehidupan, termasuk pendidikan anak-anak.

Baca Juga:  Spiritualitas Fungsional

Memikirkan kenaikan biaya pendidikan dan penghasilan yang stagnan tentu membutuhkan kecermatan dalam pengelolaan keuangan keluarga. Mumet bukan? Beberapa teman bahkan merasakan pemutusan hubungan kerja mendadak di awal tahun ini. Berita yang jelas tidak menggembirakan, sebab mencari pekerjaan dalam waktu singkat bukanlah perkara mudah. 

Misalnya, bagi yang berusia di atas 30 atau bahkan 40 tahun dengan berbagai beban cicilan, pemutusan hubungan kerja adalah mimpi terburuk. Ini bukan hanya masalah pribadi orang-orang yang saya kenal, sebab beberapa media cetak dan elektronik pun memberitakan ancaman pemutusan hubungan kerja massal. Bahkan di media sosial ramai tagar “kabur aja dulu” yang diserukan warganet. Respons arif dan bijaksana dari pemerintah sangat dibutuhkan, sebab mereka memiliki kekuatan struktural untuk memperbaiki kondisi.

Menyimak kondisi tersebut, saya teringat tulisan Romo B. Herry-Priyono dalam salah satu opini bertajuk “Menggugat Arti Ekonomi,” yang mencoba mengingatkan kita semua tentang apa itu ekonomi, yang pertama-tama terkait dengan urusan mata pencarian (livelihood). 

Dalam pandangannya, ada situasi di mana ekonomi ditempatkan pada kecenderungan menyingkirkan orang miskin dan ketergantungan pada mekanisme pasar. Catatan kritis tersebut nampaknya masih kita hadapi saat ini, di mana orang miskin harus naik tangga yang begitu panjang untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Jika urusan mata pencarian terusik, protes akan mudah muncul.

Harapan Kehidupan yang Bermartabat

Ada catatan menarik yang disampaikan oleh Giroux (2014) yang dapat digunakan untuk memotret pendidikan, yaitu pentingnya politik yang mengedepankan komitmen keadilan ekonomi dan perubahan sosial yang demokratis. Artinya, dalam bahasa Giroux, pemerintah perlu menegakkan kehidupan yang bermartabat (dignified life). 

Baca Juga:  Hari Kartini: OJK Dorong Perempuan Cerdas, Berdaya, dan Berintegritas

Poin pentingnya adalah upah yang layak, perumahan yang aman, kesempatan pendidikan, lingkungan yang berkelanjutan, serta dukungan publik untuk seni dan bentuk pengayaan budaya lainnya, terutama bagi anak muda (Giroux, 2014). Tak mengherankan jika anak-anak muda, yang diwakili oleh mahasiswa, melakukan aksi demonstrasi, sebab mereka menghadapi ketidakpastian di berbagai sektor kehidupan. Mahasiswa, sebagai kaum intelektual muda, juga melihat ketimpangan yang terjadi di depan mata mereka.

Ketika membaca tulisan Giroux, saya kembali menelaah janji kampanye Prabowo dan Gibran. Saya membaca dengan seksama, dan menemukan bahwa janji-janji yang ditulis dengan presisi tersebut sudah mengedepankan upaya membangun kehidupan yang bermartabat. Lalu saya fokus pada janji di bidang pendidikan. 

Ada poin penguatan pendidikan, sains dan teknologi, serta digitalisasi. Jika saya ringkas, janji tersebut terkait dengan beasiswa, penguatan literasi digital, peningkatan kualitas pendidikan, upah minimum guru, melanjutkan Kartu Indonesia Pintar dan memperluas cakupannya, meningkatkan dana riset dan inovasi, serta meningkatkan kesejahteraan dosen, peneliti, dan penyuluh.

Janji tersebut adalah angin segar yang diharapkan oleh seluruh elemen masyarakat. Meski masyarakat mafhum bahwa tidak mudah merealisasikan janji tersebut di tengah tantangan besar dan kompleksitas yang mewarnai pendidikan saat ini, yang kemudian menjadi sorotan adalah adanya pernyataan yang kontradiktif dari pemerintah. 

Sangat mudah melacaknya, misalnya ketika kita mendengarkan paparan di Rapat Kerja Efisiensi Anggaran Bidang Pendidikan dan Kebudayaan antara Komisi X DPR RI dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek), serta Menteri Kebudayaan di Ruang Rapat Komisi X, Gedung DPR, Jakarta, Rabu (12/2/2025).

Misalnya, untuk Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dipaparkan dampak efisiensi yang mengakibatkan program prioritas yang tidak terdanai, seperti bantuan sertifikasi kompetensi siswa SMK. 

Sementara beberapa program prioritas yang terdanai terbatas, seperti program Peningkatan Kompetensi Guru (PKG), program penataan guru dan tenaga kependidikan, peningkatan keterampilan dan penyegaran keterampilan, pengembangan talenta dan prestasi (termasuk lomba di tingkat nasional dan internasional), akreditasi satuan pendidikan, pembiayaan tusi reformasi birokrasi, dan lain-lain.

Baca Juga:  Tarif, Trump, dan Tantangan Kita

Selanjutnya, ada pembiayaan untuk dukungan terhadap program prioritas yang menjadi terbatas, seperti bimbingan teknis, sosialisasi, peningkatan kapasitas, monitoring dan evaluasi, serta operasionalisasi pemeliharaan kantor. 

Mendikdasmen memaparkan pemotongan anggaran dari Rp33,5 triliun menjadi Rp26,27 triliun. Dalam tulisan ini, saya tidak memaparkan dampaknya di Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek) serta Kementerian Kebudayaan, yang bisa dibaca lebih lanjut melalui media.

Yang kemudian menarik perhatian saya adalah diskusi dalam rapat tersebut dan pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, yang secara tegas menyatakan bahwa sektor layanan pendidikan tidak terpengaruh oleh efisiensi anggaran (17/2/2025). Lalu, kira-kira pernyataan mana yang harus dipegang oleh masyarakat? Di tengah hidup yang cenderung muram, pernyataan yang menguatkan dan tidak saling bertentangan dari pemerintah sangat dibutuhkan. 

Tentu, pernyataan tersebut harus didukung oleh kebijakan yang berpihak kepada masyarakat. Efisiensi anggaran adalah keniscayaan, namun dalam praktiknya harus dapat memilah mana yang disebut oleh Hasan Nasbi sebagai “lemak” di APBN, dan jangan sampai “otot” APBN hilang, sehingga tidak ada daya untuk mengeksekusi kebijakan-kebijakan fundamental. Jika salah eksekusi, ragam ironi akan muncul.

Dalam puisi berjudul Kesaksian Akhir Abad, W.S. Rendra menulis, “Negara tak mungkin utuh tanpa rakyatnya dimanusiakan.” Ingatan dari Rendra ini harus menjadi pegangan, sebab ketika “rakyat” dimanusiakan dengan hak-haknya yang dipenuhi oleh negara melalui kebijakan yang berpihak, maka negara akan “utuh.” Apalagi dalam sila kedua yang jelas mengarahkan pada “kemanusiaan yang adil dan beradab.” No debat, negara harus memberikan perhatian penuh terhadap hajat hidup rakyat dan memberikan porsi besar pada kemanusiaan. 

Artinya, pada tingkat yang paling mendasar, kebutuhan kemanusiaan setiap warga negara harus dipenuhi. Oleh sebab itu, jaminan kepastian hukum, keadilan, martabat, kesejahteraan, dan kebebasan berpendapat sudah jelas ada di konstitusi, maka negara wajib memenuhinya.

Back to top button