Menavigasi Ekonomi 2025


Jalan terjal menghadang laju ekonomi di tahun 2025. Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk beberapa barang tertentu dari 11% menjadi 12% dinilai akan tetap memberatkan konsumen maupun produsen. Begitu pula dengan kenaikan Upah Minimum Nasional (UMP) sebesar 6,5%, yang meskipun disambut baik oleh pekerja, tetap terasa memberatkan bagi pengusaha. Ini adalah tantangan dari sisi domestik.

Dari sisi global, terpilihnya Donald Trump kembali menjadi Presiden Amerika Serikat memberikan sinyalemen kuat tentang tantangan ekonomi global yang akan datang. Cermati apa yang disampaikan saat kampanye politiknya dan kebijakan-kebijakan kontroversial yang pernah ia lakukan selama masa kepresidenannya pada 2017-2021. Keputusan-keputusan kontroversial seperti perang dagang dengan China, keluar dari Perjanjian Paris, pembatasan imigrasi, dan pembangunan tembok pemisah AS-Meksiko menunjukkan bahwa kebijakan serupa kemungkinan akan dilanjutkan.

Melihat beratnya tantangan ekonomi 2025, maka diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat dari Presiden Prabowo. Presiden harus mampu menavigasi ekonomi dengan bijak dan memastikan hajat hidup 280 juta jiwa penduduk Indonesia tetap terjamin, serta mengajak seluruh komponen bangsa untuk bahu-membahu bersinergi dengan pemerintah.

Beban Berat

Rencana kenaikan PPN akan berimplikasi pada konsumen maupun produsen. Naiknya PPN berarti naiknya harga barang, yang otomatis menambah beban bagi konsumen. Daya beli yang memang sudah berkurang akan semakin tertekan. Deflasi yang berlangsung selama 5 bulan berturut-turut memang menurunkan harga barang, tetapi konsumen tetap tidak bisa meningkatkan konsumsi karena daya beli yang terus melemah. Respon konsumen terhadap kenaikan harga tentu adalah mengurangi konsumsi.

Kenaikan PPN juga berpengaruh pada produsen. Ketika konsumen menurunkan permintaan atau mengurangi belanja, pendapatan konsumen berkurang. Keuntungan perusahaan pun berkurang, yang akhirnya mendorong pengusaha untuk mengurangi input atau bahkan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Meningkatnya PHK otomatis akan menambah pengangguran.

Kenaikan Upah Minimum semakin menambah beban berat bagi dunia usaha. Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan insentif kepada dunia usaha. Insentif fiskal mungkin terasa berat, tetapi upaya mendorong ekspor perlu dilakukan. Jika pengusaha kesulitan mendapatkan keuntungan di pasar domestik, masih tersedia pasar luar negeri yang perlu digali.

Himbauan Moral

Dalam nota APBN tahun 2025, tema kebijakan fiskal adalah “Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”, sebagai landasan untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Salah satu target Indonesia Emas 2045 adalah pendapatan per kapita sebesar US$ 23.000 hingga US$ 30.300. Saat ini, pendapatan per kapita Indonesia baru sekitar US$ 4.940. Ini berarti, pemerintah menargetkan kenaikan income per kapita hampir lima kali lipat.

Untuk mencapai target tersebut, diperlukan tenaga kerja yang berkualitas. Belajar dari negara maju yang telah mencapai pendapatan per kapita yang jauh lebih tinggi, semua itu tidak terlepas dari investasi mereka dalam bidang human capital. Oleh karena itu, Indonesia harus melakukan hal yang serupa: berinvestasi besar dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Investasi pada human capital memerlukan pengorbanan yang besar. Jika kita tidak melakukannya sekarang, maka kita akan kehilangan momentum bonus demografi. Dan Indonesia Emas itu akan terlewatkan.

Selain mengotak-atik kebijakan fiskal dan moneter, pemerintah perlu mengadopsi kebijakan himbauan moral (moral persuasion). Saatnya menantang seluruh komponen bangsa untuk berkorban demi Ibu Pertiwi. Meminjam kalimat heroik dari J.F. Kennedy: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang engkau berikan kepada negara.”

Rakyat Indonesia adalah bangsa yang selalu siap berkorban untuk negerinya. Sejarah menunjukkan bahwa bangsa ini merdeka berkat pengorbanan harta, waktu, darah, dan nyawa rakyatnya. Saat ini, negara membutuhkan “jihad” ekonomi dari rakyat. Rakyat pasti bisa melakukan itu, asal ada teladan dari pemimpinnya.

Seperti halnya saat Bung Tomo membakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dalam Perang 10 November 1945, dengan teriakan “Merdeka atau Mati”. Rakyat berjuang dengan penuh semangat karena mereka melihat pemimpin mereka memberi teladan. Pemimpin berada di garda depan bersama rakyat.

Saat ini pun, rakyat siap berkorban bersama, asal pemimpin memberi teladan. Rakyat membayar pajak, dan pemimpin berdiri tegak memastikan bahwa tak ada yang mengkorupsi uang pajak tersebut, menjaga agar tidak ada kebocoran anggaran yang dibiayai oleh uang rakyat. Pemimpin juga tidak boleh bergaya hidup mewah saat rakyatnya dalam keadaan sulit.

Jika pemimpin dan rakyat memiliki pemikiran dan tindakan yang sama—siap berkorban untuk negeri ini, bersedia memberikan yang terbaik untuk negeri—maka Indonesia akan mampu menavigasi ekonomi di tengah beratnya tantangan ekonomi masa depan.

Exit mobile version