Bisnis perbankan semakin ketat seiring semakin tirisnya tabungan masyarakat, berdampak kepada banyaknya Bank Perekonomian Rakyat (BPR) atau BPRS (Syariah) yang gulung tikar.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), Dian Ediana Rae mengatakan, penurunan jumlah BPR dan BPRS, seiring konsolidasi sektor perbankan yang berada di bawah kepemilikan yang sama.
Bentuknya bisa peleburan atau pencabutan izin usaha, akibatnya banyak bank berstatus bank dalam resolusi. Sepanjang 2024, OJK mencabut 20 izin usaha BPR/BPRS yang gagal melakukan penyehatan perusahaannya.
Sedangkan periode Januari-17 April 2025, OJK mencabut satu izin usaha BPRS, yakni PT BPRS Gebu Prima di Medan, Sumatra Utara, lantaran tak memenuhi tingkat permodalan dan tingkat kesehatan yang telah ditentukan.
Adapun per Maret 2025 ini, kinerja BPR/BPRS kata Dian masih tumbuh positif, ditopang dengan peningkatan pada aspek aset, penyaluran kredit, dan kondisi dana pihak ketiga (DPK) yang memadai. “Likuiditas BPR-BPRS tetap terjaga dan rasio permodalan yang masih berada di atas regulatory threshold-nya,” terang Dian, dikutip Senin (12/5/2025).
Meski demikian, rasio kredit bermasalah atawa non performing loan (NPL) BPR/BPRS kata Dian masih terkontraksi. Hal ini akibat scarring effect pasca pandemi Covid-19 yang berdampak pada nasabah perorangan atau pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di daerah yang menjadi target nasabah BPR dan BPRS.
Untuk mengantisipasi potensi kerugian ini, OJK telah meminta BPR dan BPRS untuk membentuk cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang memadai.
Selain itu untuk meningkatkan kualitas manajemen risiko BPR dan BPRS, OJK telah menerbitkan berbagai aturan seperti Peraturan OJK (POJK) Nomor 9 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola bagi BPR dan BPRS yang dilengkapi dengan SEOJK Nomor 12/SEOJK.03/2024 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi BPR.
Tak cuma itu, OJK juga telah menerbitkan Surat Edaran OJK Nomor 21/SEOJK.03/2024 tentang Standar Akuntansi Keuangan Indonesia untuk Entitas Privat atau SAK-EP.