Realisasikan Zero ODOL untuk Efisiensi Anggaran, RI Perlu Belajar dari China dan Thailand


Untuk memerangi angkutan yang melanggar aturan Over Dimension Over Load alias ODOL yang merugikan negara serta mengganggu keamanan lalu lintas, pemerintah disarankan belajar dari negara tetangga.

Pengurus DPP Himpunan Pengembangan Jalan Indonesia (HPJI), Purnomo menyebut, pendekatan pemerintah selama ini tidak menyentuh akar persoalan, sehingga pelanggaran ODOL terus terjadi di berbagai wilayah.

“Kenapa penertiban ODOL tidak pernah selesai? Karena cara menangani ODOL itu pemerintah tidak rasional. Tidak pernah menyentuh naiknya biaya transportasi,” ujar Purnomo di Jakarta, dikutip Sabtu (28/6/2025).

Resistensi, kata dia, kebijakan pelarangan ODOL seringkali menuai resistensi dari pelaku usaha karena berpotensi menaikkan biaya logistik. “Begitu angkutan dipotong separuh, biaya transportasi naik. Pengusaha tidak mau, lalu perindustrian protes, perdagangan protes karena harga naik. Itu mengakibatkan inflasi dan lain sebagainya,” jelasnya.

Sebagai alternatif, Purnomo mendorong Indonesia belajar dari China dan Thailand yang menerapkan sistem pengawasan terintegrasi dan memberi sanksi menyeluruh kepada seluruh pihak yang terlibat dalam pelanggaran ODOL.

“Kalau di Thailand dan China, kendaraan yang overload dipanggil. Pemilik barang siapa, penerima barang siapa, pemilik kendaraan siapa. Tiga-tiganya didenda,” kata Purnomo.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Roy Rizali Anwar mengatakan, mengaspalnya kendaraan ODOL menyebabkan kerugian negara hingga Rp43,47 triliun tiap tahun. Kejadiannya ini berlangsung dalam 10 tahun ini.

“Penambahan muatan di sumbu kendaraan dari ketentuan sebesar 10 ton untuk jalan kelas satu, menjadi 13 ton, meningkatkan faktor kerusakan jalan, tiga kali dan menurunkan umur rencana dari 10-11 tahun, menjadi hanya 3 tahun,” kata dia.

Berkah Zero ODOL

Direktur Eksekutif Indonesia Public Policies and Economics Studies (IPPES), M. Zulfikar Dachlan menegaskan, penerapan zero ODOL menjadi sebuah keharusan. Banyak keuntungan jika kondisi tersebut bisa secepatnya direalisasikan.

Penegakan kebijakan zero ODOL secara ketat, kata dia, memiliki dampak ekonomi yang besar. Sebuah studi dari Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti menunjukkan, penerapan zero ODOL secara drastis, meningkatkan jumlah truk yang dibutuhkan untuk mengangkut volume barang yang sama.

“Pada gilirannya dapat menaikkan total biaya distribusi secara nasional hingga triliunan rupiah per tahun,” ungkapnya.

Jika zero ODOL berhasil diterapkan, lanjutnya, negara bisa berhemat anggaran hingga puluhan triliun rupiah. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tidak perlu harus menggelontorkan anggaran Rp43 triliun untuk perbaikan jalan rusak akibat angkutan ODOL. “Demikian pula pengelola jalan tol, tak perlu anggarkan Rp1 triliun untuk memperbaiki jalanan yang rusak akibat angkutan ODOL,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Zulfikar, statistik Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri memaparkan hasil yang mengerikan terkait angkutan ODOL yang masih mengaspal di jalanan Indonesia.

Pada 2023, tercatat 58 kecelakaan yang melibatkan truk ODOL dengan 18 korban meninggal dunia. Setahun kemudian naik menjadi 33 kecelakaan dengan 18 korban meninggal.

Hingga awal 2025, tercatat 3 kecelakaan dengan 10 korban meninggal dunia. Secara keseluruhan, pada 2024, Polri mencatat lebih dari 26.000 kematian akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia, di mana ODOL menjadi salah satu faktor penyebab yang besar.

“Dampak paling menyedihkan dari ODOL adalah korban jiwa di jalan raya. Kendaraan ODOL sering disebut ‘monster jalanan’ karena perannya sangat besar dalam kecelakaan lalu lintas yang fatal,” pungkasnya.

 

Exit mobile version