Macet Horor Tanjung Priok hingga 8 Kilometer, Sekali Parkir Truk Harus Bayar Rp17.500

Belum pernah terjadi dalam sejarah pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta Utara, mengalami macet horor hingga lebih dari 8 kilometer pada Kamis (17/4/2025). Akar masalahnya berupa-rupa mulai parkir mahal, tak adanya transportasi rel serta buruknya infrastruktur pelabuhan.
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno mengatakan, pemerintah harus segera membenahi tata kelola pelabuhan secara menyeluruh. Mulai infrastruktur darat dan mahalnya parkir dan banyak lagi.
Dia menyebut antrean kendaraan dari kawasan Sungai Bambu hingga gerbang Pelabuhan Tanjung Priok, merupakan salah satu kemacetan terparah yang pernah terjadi di kawasan pelabuhan terbesar di Indonesia itu.
“Akses menuju Pelabuhan Tanjung Priok hanya mengandalkan jalan raya. Sementara akses jalan rel sudah tidak begitu diminati, selain mahal juga tidak praktis,” kata Djoko, Jakarta, Sabtu (19/4/2025).
Dia bilang, penyebab kemacetan bukan semata volume kendaraan, tetapi juga karena ketidakseimbangan pembangunan sisi laut dan sisi darat pelabuhan. Kapasitas sisi laut diperbesar, sementara sisi darat tidak mengalami pengembangan berarti, termasuk ketersediaan parkir truk, toilet, dan fasilitas dasar lainnya.
Djoko menyoroti pilihan moda transportasi yang selama ini, terlalu mengandalkan truk. Di masa Belanda, akses rel yang menghubungkan pelabuhan dengan kawasan industri, terbangun bagus. Kini nyaris tak difungsikan.
Padahal, kata dia, secara ekonomi, angkutan berbasis rel lebih efisien untuk jarak menengah 500-1.500 kilometer (km). “Menggunakan jalan rel, lebih mahal ketimbang jalan raya. Menggunakan jalan rel, mahal, disebabkan menggunakan BBM nonsubsidi, masih dikenakan PPN 11 persen dan dikenakan track access charge (TAC),” jelas Djoko.
Dia juga menyoroti hilangnya buffer zone atau area penyangga antara pelabuhan dengan pemukiman. Dahulu diatur dengan jarak minimal satu kilometer. Kini, kawasan itu dipenuhi bangunan komersial dan hunian yang mempersempit ruang gerak truk dan logistik.
Tak hanya itu, Djoko menilai pungutan Rp17.500 untuk sekali parkir masuk pelabuhan sangat memberatkan pengemudi. Biaya ini, kata dia, dibebankan dari uang jalan yang diberikan ke sopir, padahal tidak jelas peruntukannya.
“Perparkiran adalah konsesi dari pemerintah. Biaya-biaya semacam ini selain menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost), juga tidak jelas manfaatnya. Penarikan biaya pada ranah publik harus jelas peruntukan dan manfaatnya,” tegasnya.
Menurutnya, layanan publik seperti pelabuhan semestinya tidak berorientasi profit, tetapi hanya sekadar cost recovery. Jika tidak, maka biaya logistik di Indonesia akan terus mahal, dan daya saing nasional kian melemah dibanding negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
“Biaya produksi barang di Indonesia jauh lebih tinggi. Selain cost logistic, juga karena perizinan yang ruwet dan mahal. Ditambah lagi beban dari oknum aparat dan preman yang marak,” ujar Djoko.
Kemacetan di Tanjung Priok, lanjut Djoko, juga dipicu kebijakan pemerintah yang terlalu lama membatasi operasional logistik selama musim mudik Lebaran, hingga 16 hari. Akibatnya, terjadi penumpukan kontainer dan hambatan distribusi barang.
“Pembatasan operasional angkutan logistik semestinya tidak boleh lebih dari lima hari. Ini bisa menghambat pertumbuhan ekonomi,” katanya.