Market

Pasokan Gas di Jaringan SSWJ Turun, Pengamat: Pelanggan Merugi, PGN Harus Tanggung Jawab


Pasokan gas lewat jaringan SSWJ (South Sumatra-West Java) milik PT PGN (Persero/PGAS) Tbk mengalami penurunan hingga 780 mmscf. Atau di bawah batas minimum 800 mmscf. Fenomena ‘hipotensi’ gas ini, mengganggu operasional industri serta sejumlah pembangkit listrik di Pulau Jawa.

Musabab dari ‘hipotensi’ gas ini, tak lain karena pasokan gas dari Medco EP Grissik (MEPG) anjlok. Akibatnya, tekanan di plan gate berada di titik minimum yang cukup mengganggu pelanggan. Termasuk PLTGU Tanjung Priok di Jakarta Utara, dan PLTGU Muara Tawar di Bekasi, Jawa Barat.

Direktur Komersial PGN, Ratih Esti Prihatini membenarkan adanya penurunan pasokan gas di jaringan SSWJ. Berdasarkan pemberitahuan dari pemasok (MEPG), memang sempat terjadi gangguan. Namun sudah teratasi.

“Selain itu, apabila terdapat gangguan dari pemasok gas pipa, kami telah menyiapkan LNG untuk menjaga pengaliran kepada pelanggan tidak terjadi kendala,” kata Ratih, Jakarta, Rabu (22/1/2025).

Baca Juga:  Meski Harga Tiket Pesawat Diskon, Jumlah Penumpang Malah Turun

Pengamat migas Yusri Usman mempertanyakan pernyataan Ratih terkait langkah PGN mempersiapkan LNG untuk menjaga suplai gas SSWJ ke pelanggan.

“Mengapa tidak ada penjelasan terkait keterbukaan informasi. Kan, setiap kontrak baru termasuk LNG harus disampaikan ke bursa. Karena ini bersifat material dan dapat memengaruhi keputusan pemilik saham PGAS. Jangan sampai direksi PGN dituduh melakukan kebohongan publik. Seolah-olah tidak ada masalah dengan pasokan,” paparnya.

Kondisi ini, lanjutnya, jelas berdampak kepada operasional industri yang selama ini mendapat pasokan gas dari SSWJ. Apalagi, PGN selaku pemilik gas memutuskan adanya pembatasan konsumsi . “Artinya, pasokan gas dalam jaringan pipa SSWJ boleh dibilang sudah sangat kritis,” kata Yusri.

Baca Juga:  Airlangga Pastikan Kepentingan Indonesia dalam Negosiasi Tarif Trump Jadi Prioritas

Untuk mengantisipasi fenomena ‘hipotensi’ gas, PGN telah mengeluarkan kebijakan pembatasan konsumsi gas lewat surat edaran kepada pelanggan pada akhir Desember 2024. Isinya, konsumsi gas pipa dengan harga normal dibatasi 45 persen dari volume kontrak. Sisanya yang 55 persen, dikenakan harga gas LNG yang nilainya nyaris dua kali lipat lebih mahal.

“Kemarin kan baru pemberitahuan 45 persen gas pipa, sisanya 55 persen gas LNG. Artinya, pelanggan tetap bisa menyerap 100  persen dari volume terkontrak. Karena LNG tidak ada dan pasokan gas dari Medco EP Grissik turun, otomatis konsumsi tidak bisa 100 persen. Sehingga harus dibatasi hingga 30-40 persen dari kontrak,” jelas Yusri.

Artinya, kata Yusri, pelanggan gas dari SSWJ tidak boleh mengambil lebih dari nilai kuota yang telah ditetapkan PGN. Apabila nekat menyedot gas melebihi atas kuota, bakal disetop pasokan gasnya. “PGN memberlakukan ketentuan baru terkait pasokan 45 persen dan 55 persen, seolah-olah tidak ada masalah dengan pasokan LNG. Padahal tidak begitu kenyataannya. Ini culas,” tandasnya.

Baca Juga:  Wakil Menteri Koperasi dan UKM Akui Diamanahi Tugas Berat dari Presiden

Dampak ‘hipotensi’ atau penurunan tekanan gas  ini, menurut Yusri, sangat merugikan pelanggan. Karena bisa merusak mesin dan memengaruhi kualias produk dari industri yang menjadi pelanggan gas SSWJ. Misalnya industri keramik, kekuatan produk keramiknya bakal berkurang.

“Ibarat makanan yang dimasak, menjadi kurang matang karena masalah ini. Jelaslah, sejumlah industri termasuk pembangkit listrik yang gasnya dipasok dari SSWJ harus menanggung kerugian. Pemerintah iming-imingi gas murah tapi barangnya enggak ada,” pungkasnya.

 

Back to top button