Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan mendorong KPK untuk menyelidiki dugaan orupsi dalam pengadaan aplikasi pajak Coretax yang mengalami kendala. Padahal, proyek Rp1,3 triliun itu digarap sejumlah perusahaan asing.
Dia bilang, keputusan Direktur Jenderal Pajak bernomor 24 Tahun 2025 yang mengizinkan 790 wajib pajak (WP) menggunakan aplikasi e-faktur lama, merupakan bentuk pengakuan bahwa Coretax masih bermasalah.
“Pihak dirjen pajak mengakui bahwa sistem Coretax belum berjalan sebagaimana mestinya. Mengingat besarnya anggaran yang digunakan, kami menduga adanya potensi penyimpangan yang perlu diusut lebih lanjut oleh KPK,” kata Rinto, Jakarta, Selasa (21/1/2025).
Untuk membongkar dugaan ketidakberesan dalam proyek Coretax ini, Rinto bersama Sekjen Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), Dharmawan, siap membantu KPK. Agar segera ditemukan dua alat bukti lagi, berupa keterangan saksi dan keterangan ahli.
“Kami telah menerima banyak laporan dari anggota terkait kendala aplikasi Coretax. Kami siap menghadirkan sejumlah saksi. Sementara, P5I telah menyiapkan ahli audit forensik untuk membantu KPK mengungkap dugaan korupsinya,” ungkap Rinto.
Ketua Umum P5I, Alesandro Rey mengatakan, terkendalanya aplikasi pajak Coretax jelas merugikan wajib pajak. Karena, mereka terancam sanksi administrasi yang berarti harus membayar denda.
Misalnya, wajib pajak ingin menerbitkan faktur pajak, karena Coretax terganggu menjadi tak bisa menerbitkan. Konsekuensi hukumnya, wajib pajak harus membayar denda yang lumayan besar.
“Kalau dulu 2 persen dari omzet atau DPP (Dasar Pengenaan Pajak), sekarang 1 persen. Misalnya seseorang bertraksaksi Rp100 miliar, tidak bisa keluarkan faktur pajak. Jadi kena denda 1 persen, sekitar Rp1 miliar. Besar kan,” ungkapnya dikutip dari podcast Guru Gembul, Senin (20/1/2025).
Terkait pembangunan Coretax senilai Rp1,3 triliun, kata Rey, membuka data Partai X yan diunggah di edia social (medsos). Pertama, pengadaan agen procurement oleh PricewaterhouseCoopers (PwC) senilai Rp37,8 miliar.
Kedua pengadaan sistem integrator yang dimenangkan LG CNS-Qualysoft, konsorsium yang terdiri dari perusahaan teknologi terkemuka asal Korea Selatan dan Austria. Ditunjuk menyediakan solusi Commercial Off The Shelf (COTS). Nilainya Rp1,2 triliun.
Ketiga, pengadaan jasa konsultasi yang dimenangkan Deloitte Consulting dan Towers Wilson Indonesia. Nilainya Rp110 miliar. sehingga totalnya sekitar Rp1,3 triliun.
“Ini kan proyek mahal. Kalau tidak bisa berjalan dengan baik atau running well tapi malah malfunction atau partially malfunction, maka patut diduga indikasi tindak pidana korupsi,” tandas Rey.
Sementara iu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dwi Astuti mengatakan, kendala yang terjadi di fitur Coretax telah dilakukan perbaikan.
“Kami juga telah mengidentifikasi dan memperbaiki seluruh kendala yang ada, baik untuk kepentingan eksternal maupun internal DJP,” kata Dwi, dikutip dari kumparan.
Dia menegaskan, seluruh kendala yang teridentifikasi telah berhasil diperbaiki, meliputi proses bisnis pendaftaran, pembayaran, layanan perpajakan, SPT, dan Document Management System.
“DJP berkomitmen untuk terus melakukan upaya yang diperlukan agar Pemerintah memiliki sisten informasi perpajakan yang maju akan segera terwujud,” ungkap Dwi Astuti.
Sebelumnya, juru bicara KPK, Tessa Mahardhika mengatakan, KPK menunggu laporan dari syrakat terkait dugaan korupsi dalam pembangunan aplikasi pajak Coretax.