Pemilu Serentak Dinilai Gagal, Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah Sudah Tepat

Direktur Riset Trust Indonesia, Ahmad Fadhli menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dengan daerah sangat penting. Menurutnya, sistem pemilu serentak 2024 dilaksanakan tanpa urgensi sehingga perlu diubah aturannya.
Ia menyebutkan, pemilu serentak 2024 hanya mengutamakan persoalan jadwal. Namun, tidak memperhatikan sumber daya manusia yang terlibat dalam kontestasi tersebut.
“Karena yang diutamakan itu menurut saya hanya masalah jadwal, padahal keserentakan itu tidak diikuti dengan yang namanya kualitas dari sumber daya manusia, baik itu sumber daya manusia yang mempersiapkan kemudian sumber daya manusia yang dipilih,” kata Fadhli kepada Inilah.com di Jakarta, Senin (30/6/2025).
Fadhli mengatakan, pelaksanaan pemilu legislatif serentak di Indonesia, yang digelar mulai dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota, mencakup setidaknya 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi juga menunjukkan kegagalan dalam sistem kaderisasi dan kelembagaan partai politik. Sebab, partai tidak mampu mempersiapkan kader-kader yang benar-benar layak dan siap bertarung di kontestasi politik.
“Karena tadi waktunya tidak pas, secara serentak, orang berlomba-lomba, mulai dari pusat sampai kabupaten/kota untuk mencari SDM yang akan menduduki daftar nama-nama calon anggota legislatif. Jadi apa yang diputuskan oleh MK ada jeda waktu tersebut, cukup bagus,” ujar Fadhli.
Di sisi lain, menurutnya dengan adanya pemisahan antara pemilu nasional dan daerah menjadi kesempatan bagi kandidat-kandidat untuk mempersiapkan diri secara matang. Baik itu memperdalam terkait strategi internal di dalam parpol maupun strategi eksternal menggunakan konsultan politik.
“Sehingga itu ada distribusi secara normal terkait dengan strategi tersebut, jadi kalau menurut saya pemisahan antara pemilu lokal dan pemilu nasional itu cukup baik dan kami sangat berterima kasih kepada Perludem karena ini menjadi bahan evaluasi,” tuturnya.
Ia juga menyoroti kualitas anggota legisatif tingkat pusat maupun daerah hasil Pemilu 2024 yang menurun. Menurutnya, hasil Pemilu 2024 yang lalu sangat kapitalis karena segala sesuatunya diukur menggunakan materi.
“Sementara calon-calon anggota dewan yang ada di daerah maupun yang bertarung untuk pusat, itu yang tidak memiliki sumber daya atau tidak memiliki materi, maka mereka harus merelakan melapang dadanya untuk agar tidak terpilih,” katanya.
Menurut dia, sebagian besar anggota legislatif yang saat ini menjabat menggunakan materi atau uang agar terpilih. Artinya, peluang keterpilihan mereka yang tidak menggunakan uang itu akan sangat kecil dibanding dengan yang memiliki banyak materi.
“Saya kira dengan fokus kepada materi-materi atau uang tersebut itu justru akan menghasilkan anggota-anggota dewan yang sangat kapitalis dan cukup membuat rakyat nanti akan menangis, karena mereka di awal sudah mengeluarkan uang. Tapi justru produk undang-undang yang mereka hasilkan itu tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Justru hanya untuk kepentingan dari para anggota dewan tersebut,” ujarnya.
Alhasil, menurutnya tak banyak anggota DPR yang kritis atau berseberangan dengan pemerintahan Prabowo Subianto. Bahkan, ia menyebut tidak ada yang secara tegas menyatakan oposisi dari pemerintah saat ini.
“Semua mohon maaf sangat malu-malu kucing, tidak ingin dicitrakan sebagai oposisi tapi juga ketika berada di ruang parlemen itu juga tidak ada suara yang lantang untuk menyuarakan apa yang sesuai dengan keinginan rakyat,” kata Fadhli.
“Bahkan kalau kita lihat elite-elite parpol hari ini itu hanya berlomba-lomba untuk menambah pundi-pundi kekuasaan dan pundi-pundi saldo keuangan mereka masing-masing,” tambahnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah atau lokal. MK mengusulkan pemungutan suara nasional dipisah dan diberi jarak paling lama 2 tahun 6 bulan dengan pemilihan tingkat daerah.