UKT Naik Mahasiswa Menjerit

Perasaan Ulwanul Askan (21), sedang dag dig dug begitu membaca sejumlah berita tentang wacana kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), imbas efisiensi anggaran pemerintah.
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, selama ini membayar UKT dengan uang yang dari hasil kerja serabutan. Pernah mengajukan keringanan UKT ke kampus namun ditolak. Situasi itu semakin dipersulit dengan Ulwan telah membiayai kehidupannya sendiri termasuk UKT sejak semester 4 perkuliahan.
Semenjak itu, Ulwan mencoba semua pekerjaan untuk menutupi uang kuliah, sewa tempat tinggal hingga kebutuhannya sehari-hari. Mulai dari ojek online, hingga kerja sampingan untuk mendapat penghasilan, sehingga bisa meneruskan pendidikan.
“Untuk bayar kuliah harus kerja dulu sementara kerja saya gak menentu jadi saya ngumpulin uang untuk UKT saya yang sekarang aja yang Rp3 juta, berat buat ngumpulinnya apalagi kalau UKT naik,” keluh Ulwan kepada inilahcom.
Merantau jauh dari Pemalang, Jawa Tengah, Ulwan terus mencoba survive sambil berusaha sukses di Ibu Kota. Demi menutupi biaya kuliah, Ulwan sudah biasa mengencangkan ikat pinggang dalam urusan kebutuhan sehari-hari.
Jika UKT benar naik, Ulwan hanya bisa menerawang satu kemungkinan untuk tetap bertahan, menambah jam kerja setelah kuliah.”Makanya saya pikir efisiensi anggaran itu kalau bisa jangan sampai menyentuh sektor-sektor yang penting di kebijakan perguruan tinggi ini, jadinya nanti kayak efek domino aja bagi saya” katanya.
Dengan nada yang penuh kekhawatiran, Muhammad Nizar (22), mahasiswa semester akhir, mengungkapkan kegelisahan yang hampir serupa. Rasa khawatir tentang tingginya biaya kuliah kini menghantui pikirannya. Sebagai anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, isu tentang kenaikan UKT di perguruan tinggi semakin menambah kepanikannya.
Sama halnya dengan Ulwan, Nizar juga seorang mahasiswa rantau dari Sukabumi, Jawa Barat yang bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kendati tak sepenuhnya UKT ia bayar dengan uang sendiri, Nizar tetap resah lantaran kondisi keuangan orang tuanya tak selalu stabil.
“Ya, sekarang jadi makin bingung. Kalau UKT naik makin berat beban orang tua,” ujar Nizar yang mempertanyakan di mana janji-janji pemerintah yang ingin menghadirkan pendidikan gratis.
Tak hanya Ulwan maupun Nizar, di luar sana masih banyak mahasiswa rantau ataupun tidak yang membiayi uang kuliah dari hasil pekerjaan sampingan. Kondisi itu akan semakin dipersulit dengan kemungkinan UKT naik akibat pemangkasan anggaran pendidikan oleh pemerintah. Alih-alih, membuat kebijakan untuk mengratiskan pendidikan, pemerintah malah menjadikan ranah pendidikan bukan sebagai prioritas utama.
Anggaran Dipangkas, Pendidikan Gratis Cuma Mimpi
Pengamat pendidikan Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Jejen Musfah menilai pemangkasan anggaran pendidikan sebesar Rp14,3 triliun adalah bukti inkonsistensi pemerintah dalam memajukan pendidikan dengan biaya terjangkau maupun gratis di Indonesia.
“Tanpa pemotongan, kualitas PTN (Perguruan Tinggi Negeri) kita sangat rendah, apalagi jika dipotong,” kata Jejen saat dihubungi inilah.com.
Ia berharap pemerintah tidak menyetujui kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) jika kampus mengusulkan. Menurutnya, kenaikan UKT akan sangat menyulitkan mahasiswa dari kalangan tidak mampu.
“UKT yang ada saja sudah sangat besar bagi keluarga miskin dan menengah,” ucapnya.
Selain itu, pemotongan anggaran tersebut juga berpotensi membuat dosen tidak fokus mengajar karena berusaha mencari pekerjaan sampingan. Bahkan, menurutnya, tidak menutup kemungkinan beberapa dosen akan berhenti untuk mencari pekerjaan lain yang lebih menjanjikan.
Sebelumnya, pemerintah memangkas anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dari Rp22,5 triliun menjadi Rp14,3 triliun. Pemotongan ini mencakup berbagai pos penting, termasuk subsidi perguruan tinggi, beasiswa KIP Kuliah, serta tunjangan dosen non-PNS.