Sulsel

Hari Perempuan Internasional, Ini Kisah Dua Pahlawan Wanita Sulsel

INILAHSULSEL.COM – Hari Perempuan Internasional diperingati setiap tahunnya pada tanggal 8 Maret. Tema Hari Perempuan Internasional 2024 adalah “inspire inclusion” atau menginspirasi inklusi. Tema ini diangkat untuk mendorong inklusi perempuan untuk dunia yang bebas dari bias, stereotip, dan diskriminasi.

Sejarah Hari Perempuan Internasional dimulai dari demonstrasi 15.000 perempuan di New York pada tahun 1908. Mereka menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, dan hak untuk memilih.

Hari Perempuan Internasional 2024 mengajak kita meningkatkan kesadaran tentang pentingnya inklusi perempuan, mendukung dan mendorong perempuan untuk mencapai potensi penuh mereka, melawan bias, stereotip, dan diskriminasi terhadap perempuan, serta bekerja sama untuk menciptakan dunia yang adil dan inklusif bagi semua orang.

Untuk merayakan Hari Perempuan Internasional ini, mari kita menengok kembali sejarah perjuangan para pahlawan perempuan dari Sulawesi Selatan dan mengingat jasa-jasa yang mereka berikan untuk Indonesia.

Pahlawan Wanita dari Sulawesi Selatan

Pada awal kemerdekaan, perempuan di Sulawesi Selatan memiliki peran yang cukup sentral dalam menopang perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Peran tersebut dilakoni dengan mendirikan organisasi dan kelaskaran perjuangan.

Baca Juga:  Komisaris BPD Bersepakat dalam membangun Ketahanan Cyber

Opu Daeng Risaju

Opu Daeng Risajau adalah salah satu pahlawan perempuan dari Sulawesi Selatan. Opu Daeng Risajau lahir pada tahun 1880 dari pasangan Muhammad Abdulah To Bareseng dan Opu Daeng Mawellu.

Ibunya adalah cicit dari Raja Bone XXII (1749-1775) La Temmasonge MatinroE ri Malimongeng dari pernikahannya dengan Bau Habibah, putri Syekh Yusuf Tuanta Salamaka ri Gowa.

Sementara itu, La Temmasonge adalah anak laki-laki dari Raja Bone XVI, La Patau Matanna Tikka MatinroE ri Nagauleng, dan We Ummung Datu Larompong, yang merupakan putri dari Datu Luwu MatinroE ri Tompotikka.

Dengan begitu, Opu Daeng Daeng Risaju adalah keturunan dari raja-raja yang berasal dari kerajaan “TellumpoccoE Maraja” (tiga kerajaan besar) di Sulawesi Selatan, yakni Kerajaan Luwu, Gowa-Tallo, dan Bone.

Opu Daeng Risajau adalah salah satu tokoh penting dalam pergerakan nasional Serikat Islam, khususnya di Luwu. Ia ditunjuk sebagai Ketua Cabang Serikat Islam (SI) di Palopo atau Luwu pada tahun 1930.

Banyak tantangan yang dihadapinya dalam mengembangkan Serikat Islam dan perjuangan merintis kemerdekaan Indonesia. Beberapa kali dirinya harus berhadapan dengan aparat pemerintah kolonial Belanda. Bahkan, harus beberapa kali menjadi tahanan politik dan hidup di balik jeruji.

Baca Juga:  Komisaris BPD Bersepakat dalam membangun Ketahanan Cyber

Dalam perjuangannya, Opu Daeng Risajau bahkan rela melepas status kebangsawanannya dan menceraikan suaminya demi keinginannya untuk berjuang.

Keterlibatannya dalam Serikat Islam dan perjuangan merintis kemerdekaan Indonesia menjadi bukti bahwa perempuan tidak hanya bekerja di dapur dan mengasuh anak. Namun, mereka juga dapat memberikan kontribusi yang tidak kalah dari kaum laki-laki.

Emmy Saelan

Emmy Saelan adalah sosok perawat dan pejuang yang berperan dalam mempertahankan kemerdekaan di Sulawesi Selatan.

Emmy Saelan dilahirkan pada tanggal 15 Oktober 1924 di Makassar dengan nama asli Salmah Soehartini Saelan. Ia merupakan anak pertama dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Saelan, seorang pegawai pamong praja Makassar pada zaman Belanda. Sementara ibunya bernama Soekanti.

Sebagai anak pegawai pemerintah, Emmy memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan yang layak. Ia bersekolah di Eerste Europesche Large School lalu melanjutkan ke Horge Burger School di Makassar.

Baca Juga:  Komisaris BPD Bersepakat dalam membangun Ketahanan Cyber

Setelah berakhirnya masa pendudukan Jepang, Emmy Saelan mengembangkan karirnya sebagai juru rawat di rumah sakit Stella Maris Makassar. Karirnya sebagai perawat membawanya pada perkenalan dengan laskar-laskar penjuang yang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Suatu ketika terjadi bentrok antara tentara NICA dengan para pemuda sehingga terjadi konflik bersenjata. Para korban yang terluka dibawa ke rumah sakit Stella Maris, tempat Emmy bekerja, untuk dirawat.

Ketika penangkapan dan pengasingan Gubernur Sulawesi Sam Ratulangi pada 5 April 1946 oleh Belanda, banyak terjadi aksi-aksi protes dari masyarakat. Salah satunya adalah pemogokan “Stella Marris”. Emmy terlibat dalam peristiwa ini.

Emmy Saelan juga bergabung dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) di bawah komando Ranggong Daeng Romo. Pada agresi meliter Belanda kedua, Emmy Saelan menggabungkan diri pada Laskar Harimau Indonesia yang pimpinan Wolter Mongonsidi. Emmy kemudian menjadi pimpinan Laskar Perempuan sekaligus petugas Palang Merah. Perjuangannya berakhir setelah berhasil melemparkan granat pada pasukan Belanda di Kassi-Kassi pada tanggal 23 Januari 1947.

Back to top button