Kanal

Dokter Cabul, Sistem Mandul: PPDS dan Kejahatan yang Dilindungi Institusi


“Tidak ada percakapan yang lebih menyenangkan daripada dengan orang yang memiliki integritas, yang mendengarkan tanpa niat untuk mengkhianati, dan berbicara tanpa niat untuk menipu.” Wit and Wisdom of Socrates, Plato, Aristotle (1967)

Dalam hening ruang periksa itu, saat jarum infus menyalurkan obat bius ke nadinya, seorang perempuan muda percaya ia sedang berada di tempat paling aman: di bawah perlindungan seorang dokter. Yang terjadi justru sebaliknya. Ketika ia terlelap, “penjaga nyawa” itu justru menjadi predator. Kepercayaan yang seharusnya menjadi fondasi profesi medis, dihancurkan oleh tangan yang seharusnya menyembuhkan.

Kisah ini bukan fiksi. Ini nyata, terjadi di RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, pada Maret 2025, ketika Priguna Anugerah Pratama, peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi Universitas Padjadjaran (Unpad), memperkosa pasien yang tak berdaya. Dan Priguna bukan satu-satunya.

Kasus pelecehan seksual oleh dokter spesialis pendidikan (PPDS) yang terkuak ke publik belakangan ini hanyalah puncak dari gunung es persoalan. Mulai dari pelecehan hingga pemerkosaan, pelaku berasal dari institusi kedokteran terkemuka di Indonesia. Ironisnya, sistem seleksi PPDS yang seharusnya ketat dan ketatnya pengawasan di rumah sakit pendidikan terbukti gagal menyaring predator seksual di balik jas putih.

Menanggapi kasus kekerasan seksual di dunia kedokteran, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Senin (21/4/2025), mengatakan, kasus-kasus perundungan hingga kekerasan seksual di dunia kedokteran merupakan fenomena gunung es yang dibiarkan berlarut-larut. Namun, belakangan, kemajuan pola pikir manusia dan teknologi membuat kasus muncul ke publik.

Meski begitu, Budi meminta agar rentetan kejadian, mulai dari perundungan hingga kekerasan, di dunia kedokteran yang terus bermunculan ini tidak meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada kualitas dokter Indonesia. Sebab, masih banyak dokter tidak berperilaku menyimpang seperti yang dilaporkan.

Baca Juga:  INFOGRAFIS: Tarif Trump Ditunda, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Citra Medis Terkoyak

Namun tidak lama setelah kasus Priguna terungkap, publik terus menerus digegerkan dengan kasus seperti Muhammad Azwindar Eka Satria, PPDS Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (UI), yang merekam mahasiswi saat mandi di kosan.

Di Malang, seorang dokter umum di RS Persada Hospital, dr. A.Y.P., diduga melakukan pelecehan seksual terhadap setidaknya delapan pasien perempuan.

Berdasarkan data Kemenkes, dalam dua tahun terakhir saja, tercatat 620 laporan kasus perundungan di lingkungan PPDS, dengan tiga di antaranya adalah kekerasan seksual. Ini hanya puncak gunung es.

Komnas Perempuan dalam catatan tahunan 2024 juga menyoroti bahwa 7% dari pelaku kekerasan seksual di ranah publik adalah tenaga medis.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Devi Rahayu, kekerasan seksual di lingkungan pendidikan medis bukan kebetulan. Ia bertumbuh dalam ekosistem relasi kuasa yang tidak sehat.

“Senioritas yang berlebihan, budaya patriarki yang masih kental, ditambah minimnya sistem perlindungan korban, menciptakan ruang subur bagi predator,” tegasnya.

Dalam banyak kasus, korban justru dibebani rasa malu dan takut. Mereka takut stigma, takut nilai akademik mereka terganggu, atau bahkan diintimidasi untuk bungkam.

“Di banyak kampus kedokteran, sistem lebih melindungi nama baik institusi daripada keberanian korban,” ujar Devi.

Trauma Psikologis: Luka Seumur Hidup

Psikolog klinis A. Kasandra Putranto mengungkapkan bahwa pelecehan seksual oleh tenaga medis menimbulkan trauma psikologis yang sangat dalam.

“Korban mengalami PTSD, depresi, kecemasan berlebih, bahkan kehilangan kepercayaan terhadap layanan medis secara keseluruhan,” jelasnya.

Baca Juga:  Tarif Impor Trump, antara Peluang dan Ancaman
MAES (mengenakan baju tahanan), mahasiswa PPDS Universitas Indonesia yang mengintip mahasiswi mandi di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2025). Akibat perbuatannya, ia telah mencoreng citra profesi dokter yang ia telah geluti. (Foto: Humas Polda Metro)
MAES (mengenakan baju tahanan), mahasiswa PPDS Universitas Indonesia yang mengintip mahasiswi mandi di Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Senin (22/4/2025). Akibat perbuatannya, ia telah mencoreng citra profesi dokter yang ia telah geluti. (Foto: Humas Polda Metro)

Kasandra menambahkan, korban bisa mengalami isolasi sosial, kesulitan membangun hubungan, dan keengganan mencari pertolongan medis di masa depan.

“Dampaknya panjang dan melumpuhkan,” ujarnya. Terlebih bila pelaku adalah pihak yang dianggap pelindung, luka itu menjadi lebih sulit disembuhkan.

Upaya Perbaikan

Sebagai respons atas kasus di RSHS Bandung, Kemenkes menghentikan sementara program PPDS Anestesi Unpad. Selain itu, langkah baru diumumkan: penerapan tes psikologi wajib saat seleksi dan evaluasi kejiwaan rutin setiap enam bulan bagi seluruh peserta PPDS.

“Kita hentikan sementara, evaluasi dan perbaiki semua SOP agar kasus serupa tidak terulang,” jelas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Aji Muhawarman,  kepada reporter inilah.com.

“Kami ingin memperkuat filter awal. Tes kejiwaan ini harus menjadi standar nasional,” kata Aji. Ia juga menegaskan bahwa sistem pengawasan akan diperketat. Setiap pelaporan kekerasan, sekecil apapun, wajib direspons cepat.

Untuk memperbaiki sistem PPDS, Kemenkes kini mewajibkan setiap calon dokter spesialis untuk mengikuti tes psikologi secara berkala setiap enam bulan sekali. Hal ini demi menjaga kondisi kejiwaan para mahasiswa PPDS agar terpantau dengan baik dan mitigasi pencegahannya bisa segera dilakukan, misalnya dengan memperbaiki sistem kerja lebih sehat.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) bersama Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Brian Yuliarto (kanan) menjawab pertanyaan waratawan melalui live zoom saat konferensi pers Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin (21/4/2025). (Foto: Antara)
Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi, RS Hasan Sadikin Bandung dan Universitas Padjadjaran saat gelar konferensi pers untuk menanggapi kasus dugaan kekerasan seksual oleh oknum dokter PPDS di Bandung sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah dalam menjaga integritas profesi medis. (Foto: Antara)

Pelaksanaan tes psikologi untuk setiap calon mahasiswa PPDS dimulai saat perekrutan. Setiap rumah sakit yang akan menerima residensi mahasiswa PPDS harus memastikan kesehatan mental peserta tidak terganggu sebelum bertugas.

Namun pertanyaannya, apakah langkah ini cukup? Melihat pengalaman di negara maju, reformasi tidak hanya soal tes psikologis dan SOP.

Baca Juga:  Mimpi Kolektif, Realitas Inklusif

Melihat praktik di negara lain, seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Australia, Indonesia bisa mengambil pelajaran penting. Di Jepang, rumah sakit pendidikan diwajibkan memiliki komite khusus untuk menangani pelecehan seksual, dilengkapi pelatihan rutin untuk tenaga medis. Di Amerika Serikat, sistem pendidikan kedokteran dilengkapi dengan pemeriksaan latar belakang ketat untuk calon dokter spesialis.

Australia bahkan melakukan reformasi besar-besaran setelah muncul laporan pelecehan seksual di kalangan dokter bedah, dengan menerapkan kebijakan zero tolerance dan pelatihan etika intensif.

Depresi PPDS.png

Indonesia baru melangkah, dan itu pun setengah hati. Tidak semua rumah sakit pendidikan memiliki unit perlindungan korban. Budaya “cari aman” masih kuat, dengan kecenderungan membungkam kasus daripada membongkarnya.

Saatnya Menolak Diam

Jika dunia medis tidak bergerak cepat dan tegas, luka ini akan semakin menganga. Pendidikan dokter spesialis harus menjadi tempat melahirkan penyembuh, bukan melanggengkan predator berseragam.

“Profesionalisme sejati bukan hanya soal kompetensi klinis,” kata Kasandra. “Tapi tentang integritas, rasa hormat kepada pasien, dan tanggung jawab moral yang tidak bisa dikompromikan,” sambungnya.

Komnas Perempuan juga mengingatkan: “Jangan lagi berlindung di balik jargon akreditasi atau reputasi kampus. Yang dipertaruhkan adalah keselamatan manusia,” tegas Devi Rahayu.

Masyarakat butuh jaminan bahwa ruang periksa adalah ruang aman, bukan tempat mimpi buruk. Korban berhak mendapatkan keadilan, bukan sekadar permintaan maaf institusi. Dan para calon dokter harus tahu: kepercayaan pasien adalah hak suci, bukan kesempatan untuk berbuat sesuka hati.

Pembersihan dunia medis dari predator berseragam harus dilakukan. Bukan besok. Bukan nanti. Tapi sekarang. [Inu/Vonita/Reyhanaah)

Back to top button