Kanal

Pendidikan Dasar Berkualitas untuk Semua Warga Negara


Dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2025 yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), diputuskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah harus menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.

MK memang mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya terkait frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Kita tentu patut bergembira atas lahirnya putusan yang berdasar pada permohonan yang diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia bersama tiga pemohon individu, yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum (www.mkri.id, 27 Mei 2025).

Tindak Lanjut

Tindak lanjut dari pemerintah dan pemerintah daerah atas putusan MK tidak bisa lagi ditunda-tunda. Meski kita paham implementasinya tak mudah sebab ada persoalan pembiayaan, tata kelola kebijakan, kondisi Indonesia yang beragam, dan fasilitas pendidikan yang tak merata. Masyarakat menunggu koordinasi dan sinkronisasi cepat yang perlu dilakukan oleh pemerintah. Serta, yang tak boleh dilupakan adalah dialog dengan beragam pihak yang berkepentingan seperti para pengelola sekolah swasta. Prosesnya perlu dilakukan secara transparan dan melibatkan partisipasi publik.

Pada tahap awal, pemerintah perlu menyampaikan informasi yang jelas kepada publik. Jika tidak ditanggapi secara serius, akan banyak disinformasi di masyarakat terkait implementasi putusan MK tersebut. Misal, dalam putusan MK disampaikan bahwa sekolah/madrasah swasta tidak dilarang sepenuhnya membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari peserta didik atau sumber lain selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

antarafoto-mahkamah-konstitusi-putuskan-sd-smp-negeri-dan-swasta-gratis-1749682407.jpg
Siswa antre untuk bersalaman dengan gurunya di SDN Grogol Selatan 08, Jakarta, Rabu (28/5/2025).  (Foto: Antara)

Dalam putusan MK juga disampaikan bahwa bantuan pendidikan bagi peserta didik yang bersekolah di sekolah swasta tetap hanya dapat diberikan kepada sekolah/madrasah yang memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu berdasarkan peraturan yang berlaku. Artinya, ada syarat dan ketentuan yang berlaku dalam penerapan putusan MK tersebut yang harus dipahami oleh masyarakat dan perlu disosialisasikan dengan presisi oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

Mengapa keputusan MK ini sangat penting untuk dikawal? Sebab, kita memahami bahwa ruang faktual medan pendidikan Indonesia memiliki kompleksitas dan problematika seperti ketimpangan pendidikan yang masih mencolok, komersialisasi pendidikan yang semakin nampak, dan kontur geografis Indonesia yang sangat beragam, serta kondisi pendidikan yang tidak setara antar satu daerah dengan daerah lainnya.

Baca Juga:  10 Negara Legalkan Kasino, Indonesia Menyusul?

Ketimpangan pendidikan menjadi hal yang tak mudah untuk diselesaikan. Bahkan setelah lebih dari 20 tahun reformasi, kondisi pendidikan di Indonesia tidak kunjung memiliki performa yang optimal dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Secara statistik, angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah, dan Indeks Pembangunan Manusia memang meningkat, tetapi kasus-kasus ketimpangan dan potret pendidikan yang carut-marut juga semakin mudah kita saksikan.

Meskipun mandat konstitusi maupun ragam regulasi pendidikan secara normatif menunjukkan keberpihakan pendidikan bagi seluruh warga negara, sudah jadi cerita harian di mana anak-anak dari kelompok marjinal perlu berjuang untuk mendapatkan haknya di bidang pendidikan. Hal tersebut menjadi cerminan betapa kebijakan demi kebijakan untuk memprioritaskan anak-anak dari kelompok tak berpunya masih belum optimal untuk mengokohkan posisi mereka di ruang pendidikan.

Jika mencatat janji kampanye dari setiap presiden di era reformasi, sesungguhnya posisi pendidikan selalu menjadi hal utama yang disampaikan. Tetapi dalam konteks faktual, kita masih secara mudah menyaksikan pergulatan keluarga tak berpunya untuk menikmati pendidikan yang bermutu. 

Apalagi di kondisi saat ini ketika terjadinya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa daerah yang meningkat. Meski antara data pemerintah dengan Kemnaker sangat berbeda (73.992 pekerja versi pengusaha dan 26.455 pekerja versi Kemnaker) (Jawa Pos, 21 Mei 2025), kondisi tersebut tentu akan berpengaruh pada kondisi ekonomi keluarga dan juga pada pemenuhan pendidikan bagi anak-anak.

Ragam Keterbatasan

Selama ini, anak-anak keluarga miskin justru memiliki keterbatasan dalam mengakses layanan pendidikan yang diakomodasi negara melalui sekolah-sekolah negeri. Sehingga mereka terlempar ke sekolah-sekolah swasta yang memerlukan biaya tambahan. Meski ada kebijakan afirmasi seperti Program Indonesia Pintar (PIP) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, masih ada kelompok masyarakat yang belum tersentuh kebijakan tersebut. Pada akhirnya, untuk meraih pendidikan dasar pun bukan perkara mudah bagi keluarga marjinal tersebut.

Peserta didik penerima bantuan Kartu Indonesia Pintar (KIP) (Foto: Laman Web Anies Baswedan)

Keberpihakan negara pada hak pendidikan seluruh anak bangsa menjadi ikhtiar untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi. Sebab jika ditilik lebih mendalam, keberhasilan memperbaiki pendidikan akan mengurangi dominasi elite yang selama ini lebih memiliki peluang besar dalam mendapatkan pendidikan berkualitas. Jika pendidikan yang hadir adalah pendidikan yang serba biaya dan berbasis pada kompetisi, maka sudah jelas kelompok miskin yang minim kapital akan terdegradasi lebih awal dari klasemen pendidikan.

Baca Juga:  100 Hari Pemerintahan dan Paradoks Janji Politik Kepala Daerah

Dalam teori modal manusia, investasi pendidikan akan meningkatkan produktivitas di masa depan (Psacharopoulos & Patrinos, 2018). Lalu, jika investasi pendidikan dibebankan pada keluarga, keluarga miskin tentu memiliki kemampuan yang super minim untuk berinvestasi pada pendidikan anak-anak mereka. Dan di kondisi serba kompetisi saat ini, tentu saja keluarga dengan kapital ekonomi yang memadai akan lebih berpeluang mendapat pendidikan yang berkualitas. Putusan ini semakin menguatkan, betapa investasi pendidikan dasar tak bisa dibebankan semata pada keluarga, yang pada praktiknya akan menyebabkan diskriminasi, tetapi membutuhkan komitmen negara.

Saya teringat dengan obrolan bersama salah satu pengemudi ojek daring beberapa tahun lalu ketika kami melewati salah satu SMA Negeri unggulan di selatan Jakarta. Ia sampaikan, “Anak saya nggak bisa masuk ke sekolah ini, Pak, meski rumahnya dekat. Kami yang nggak punya uang nggak bisa masuk ke SMA ini, dan harus keluarkan uang lebih banyak untuk masuk ke sekolah swasta.” Saya selalu ingat perkataan sang pengemudi, sebab hal tersebut sangat terekam dengan jelas. Sekolah-sekolah unggulan terbaik memang bukan sahabat keluarga miskin. Dalam mekanisme tes dan lainnya, keluarga miskin mendapatkan tantangan yang luar biasa. Di era serba kapital ini, perang pengetahuan dan keterampilan sangat bergantung pada kapital yang dimiliki keluarga. Untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan tertentu maka perlu ada investasi besar yang dikeluarkan oleh keluarga. Anak-anak keluarga miskin yang cemerlang dan menginginkan beasiswa harus bertarung habis-habisan mendapatkan hak pendidikannya.

Ketidakadilan

Keluarga tidak mampu menghadapi perasaan ketidakadilan dalam realitas keseharian. Mereka mengalami kekhawatiran dan rasa frustrasi menghadapi hidup yang selalu tidak berpihak pada mereka. Orang-orang tua yang merasa sudah bekerja sepenuh hati demi kehidupan lebih baik ini pun merasa semakin terjebak dalam kehidupan yang serba kompleks. Harapan satu-satunya hadir melalui pendidikan. Akan tetapi, pendidikan yang dianggap sebagai “jembatan emas” untuk meningkatkan kapabilitas personal dan jaringan sosial yang memadai, justru menjebak mereka dalam momen panjang kesia-siaan.

Mereka menghabiskan waktu di sekolah, tapi tidak mendapatkan peningkatan kualifikasi akademik, keterampilan untuk bekerja, momen sosialisasi dengan sesama, atau penguatan karakter yang kokoh. Sekolah justru menjadi momen kritis bagi mereka. Tak heran jika kemudian banyak yang mempertanyakan fungsi sekolah. Sebab, sekolah justru tidak memupuk harapan, tetapi membuat mereka semakin realistis bahwa justru banyak waktu yang dihabiskan di sekolah, tetapi tidak mengakselerasi kekuatan diri untuk menghadapi hidup yang serba sulit.

Baca Juga:  Menyelami Epistemologi di Tengah Kemalasan Berpikir
antarafoto-sekolah-rusak-di-kabupaten-serang-1749682283.jpg
Sejumlah siswa membaca buku usai mengikuti ulangan di SD Negeri Binangun, Kabupaten Serang, Banten, Selasa (10/6/2025). (Foto: Antara)

Ini semakin menantang negara untuk menghasilkan kebijakan pendidikan yang secara efektif memampukan setiap anak, tak memandang latar belakangnya, untuk memperkokoh diri menghadapi realitas kehidupan yang tak mudah. Bayangkan saja, di era kekinian anak-anak menghadapi tantangan hebat terkait dengan multidisrupsi di berbagai sektor kehidupan. Dalam usia yang rentan mereka tak mendapatkan bimbingan memadai untuk membaca secara kritis beragam fenomena, dibuai oleh hedonisme, pergaulan bebas tanpa kontrol, dibuat bodoh oleh asupan informasi, dan semakin terpojok.

Pemuda kini menghadapi ragam terpaan, tekanan sosial, pencapaian pribadi, dan citra tubuh yang ideal. Hal ini sangat berkaitan dengan adaptasi sosial, lingkungan yang baru dihadapi, serta tuntutan akademik masa depan yang semakin berat (Raaper, Hardey, Tiidenberg, & Aad, 2024). Bayangkan saja jika mereka menyerah dengan keadaan hanya disebabkan oleh dukungan pemerintah yang tak memadai. Sementara di sisi lain, kelas-kelas yang dominan secara ekonomi telah mengendalikan sekolah dan institusi ekonomi (Apple, 2015). 

Minimnya keberpihakan sudah jelas akan membuat anak-anak semakin tersingkir dari dunia yang serba kompetitif. Apalagi kompetisi telah menjadi elemen sentral dalam diskusi kebijakan pendidikan secara global, terutama sejak pengenalan Programme for International Student Assessment (PISA) oleh OECD pada tahun 2000 (Duggan, 2019). Menyimak kondisi tersebut, perbaikan dalam pendidikan adalah suatu keniscayaan. Negara perlu memberikan akomodasi yang memadai dalam pendidikan, sehingga anak-anak tidak tergilas edannya zaman.

Bayangkan jika spirit kompetisi dikedepankan, tetapi lapangan pendidikan yang disediakan tidak berkeadilan. Sudah jelas, para pemenangnya sudah bisa ditentukan sebelum pertandingan pendidikan dilaksanakan. Oleh sebab itu, hadirnya putusan MK juga diharapkan sebagai penguat perjuangan dalam berupaya menihilkan pendidikan yang penuh diskriminasi dan eksploitasi. Dan tentu saja kita berharap pendidikan berkualitas dapat dinikmati oleh semua anak bangsa tanpa terkecuali.

Back to top button