AS Protes Aturan Halal di Indonesia, Ini Jawaban Tegas MUI


Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa kebijakan sertifikasi halal di Indonesia bersifat wajib dan tidak bisa ditawar, meskipun mendapat keberatan dari Amerika Serikat (AS) yang menilai kebijakan tersebut sebagai hambatan perdagangan.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan bahwa kewajiban produk bersertifikat halal adalah amanat konstitusi dan bentuk perlindungan atas hak asasi manusia, khususnya hak beragama umat Islam di Indonesia.

“Undang-undang kita jelas menyebutkan, setiap produk yang masuk, beredar, dan/atau diperjualbelikan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal,” ujar Ni’am di Jakarta, Selasa (29/4/2025).

Kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang telah menjadi dasar hukum implementasi sistem jaminan halal nasional.

Prinsip Fiqih: Bukan Siapa, Tapi Bagaimana

Ni’am menegaskan bahwa dalam prinsip fiqih muamalah, bukan negara asal mitra dagang yang menjadi persoalan, melainkan aturan main yang berlaku di negara tujuan.

“Indonesia tidak melarang perdagangan dengan negara manapun, termasuk AS, selama dilakukan dengan prinsip saling menghormati, saling menguntungkan, dan tidak ada tekanan politik,” ujarnya.

Menurutnya, sebagai negara dengan mayoritas Muslim, Indonesia wajib memastikan produk yang dikonsumsi warganya sesuai dengan prinsip halal yang merupakan bagian dari ajaran agama.

Sertifikasi Halal = Hak Asasi Manusia

Terkait keberatan pemerintah AS yang tercantum dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025, Ni’am menyatakan keberatan tersebut tidak berdasar jika dikaitkan dengan prinsip hak asasi.

“Kalau Amerika berbicara soal hak asasi manusia, maka justru kewajiban sertifikasi halal adalah bentuk penghormatan terhadap hak paling dasar, yaitu hak beragama,” tegasnya.

Ni’am juga menyebut bahwa sistem sertifikasi halal bukan hal asing di Amerika. Ia mengaku telah melakukan kunjungan ke sejumlah negara bagian di AS untuk memastikan bahwa produk ekspor ke Indonesia memahami dan memenuhi standar kehalalan.

Kompromi di Teknis, Bukan Substansi

Meskipun bersikukuh pada prinsip kehalalan, MUI tetap membuka ruang dialog dalam aspek teknis. Menurut Ni’am, kompromi bisa dibuka pada aspek administrasi, transparansi pelaporan, efisiensi biaya, dan waktu pengurusan.

Namun ia mengingatkan agar substansi halal tidak dikompromikan hanya demi insentif ekonomi jangka pendek.

“Jangan sampai karena ingin mendapatkan insentif pajak atau imbal balik dagang, kita mengorbankan prinsip fundamental. Itu artinya hak dasar masyarakat Indonesia tercabut,” ujarnya.

Exit mobile version