Penghapusan Presidential Threshold 20 Persen: MK Era Jokowi Ngapain Aja?

Di era PT, politik “dagang sapi” menjadi jamak. Partai-partai kecil menjual dukungannya kepada partai besar dengan imbalan kekuasaan. Akibatnya, kandidat yang diusung sering kali lebih mewakili kepentingan elite daripada rakyat. Penghapusan PT membawa kita kembali pada kritik filosofis terhadap hukum yang membatasi kebebasan. Jean-Jacques Rousseau pernah menulis dalam “The Social Contract”: “Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia berada dalam belenggu.”
Fakta mengejutkan muncul di awal 2025 ketika Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) sebesar 20 persen. Sebuah aturan yang selama ini dianggap sebagai alat permainan politik partai untuk membatasi kompetisi pemilu kini resmi tak berlaku lagi.
Putusan ini dihasilkan melalui perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Pada 2 Januari 2025, MK menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak lagi memiliki kekuatan hukum karena bertentangan dengan UUD 1945.
Mengapa Presidential Threshold Dibenci Banyak Pihak?
Selama lebih dari dua dekade, PT dianggap membelenggu hak politik rakyat. Dengan persyaratan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional, hanya partai besar atau koalisi dominan yang dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden. Hal ini menimbulkan oligarki politik dan mempersempit pilihan rakyat.
Di era PT, politik “dagang sapi” menjadi jamak. Partai-partai kecil menjual dukungannya kepada partai besar dengan imbalan kekuasaan. Akibatnya, kandidat yang diusung sering kali lebih mewakili kepentingan elite daripada rakyat. Contoh nyata adalah Pilpres 2019 dan 2024, di mana hanya ada dua kandidat, menciptakan polarisasi tajam di masyarakat. Jika aturan ini diteruskan, ancaman pemilu dengan calon tunggal juga membayangi.
Penghapusan PT ini membawa kita kembali pada kritik filosofis terhadap hukum yang membatasi kebebasan. Jean-Jacques Rousseau pernah menulis dalam “The Social Contract”: “Manusia dilahirkan bebas, tetapi di mana-mana ia berada dalam belenggu.” Aturan seperti PT adalah bentuk belenggu atas nama hukum yang mengurangi hak dasar warga negara untuk memilih pemimpin.
Ahli hukum konstitusi seperti Prof. Jimly Asshiddiqie pun menyoroti bahaya PT. Menurutnya, PT lebih mencerminkan kompromi politik dibandingkan landasan konstitusional. Ini bertentangan dengan asas demokrasi yang memberikan hak setara bagi seluruh warga negara untuk mencalonkan dan dipilih.
Mengapa Baru Sekarang?
Putusan ini menjadi pertanyaan besar. Mengapa baru sekarang MK mengabulkan judicial review ini, padahal permohonan serupa konon sudah diajukan setidaknya 32 kali sejak 2004? Banyak pihak menduga MK periode sebelumnya lebih condong pada kepentingan politik tertentu. Sejumlah putusan menunjukkan lemahnya keberpihakan MK pada prinsip konstitusi. Apakah ini karena tekanan politik? Ataukah, seperti yang sering disindir rgume, MK “masuk angin”?
Hakim Saldi Isra, dalam pertimbangan hukumnya, menyatakan bahwa MK telah bergeser dari pendirian sebelumnya karena tidak ada lagi alasan konstitusional untuk mempertahankan PT. Namun, alasan ini menimbulkan tanda tanya lain: Mengapa rgument konstitusional yang sama tidak cukup kuat dalam 32 permohonan sebelumnya?
Pilpres di Era Tanpa Presidential Threshold
Penghapusan PT membuka peluang besar bagi demokrasi Indonesia. Namun, hal ini juga menghadirkan tantangan baru yang perlu diantisipasi. Tanpa batas minimal, jumlah calon presiden yang maju dalam Pilpres dapat meningkat drastis. Situasi ini berpotensi memecah suara secara ekstrem, sehingga pemilu bisa memerlukan dua hingga tiga putaran.
Di sisi lain, peningkatan jumlah kandidat juga memperluas pilihan bagi rakyat. Kandidat independen atau yang diusung oleh partai kecil kini memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi. Hal ini mendorong hadirnya calon-calon alternatif dengan visi dan program yang lebih beragam.
Namun, sistem politik yang tidak siap menghadapi perubahan ini dapat mengalami keruwetan. Misalnya, debat kandidat bisa menjadi terlalu banyak, logistik kampanye lebih rumit, dan proses penghitungan suara lebih lama. Selain itu, partai-partai besar yang selama ini terbiasa mendominasi proses pencalonan mungkin akan berusaha mencari cara lain untuk mempertahankan kekuasaan mereka, termasuk melalui lobi politik yang lebih intensif.
Jelas, era tanpa PT memiliki sisi positif dan negatif. Positifnya, sistem ini dapat mengurangi oligarki politik dan membuka ruang bagi kompetisi yang lebih adil. Partisipasi politik rakyat dapat meningkat karena mereka merasa suaranya benar-benar berpengaruh. Di sisi lain, potensi kekacauan akibat banyaknya kandidat perlu menjadi perhatian serius.
Dalam konteks ini, pelajaran bisa diambil dari negara-negara lain. Amerika Serikat, misalnya, menggunakan sistem konvensi partai untuk menyaring kandidat sejak awal. Dengan begitu, meskipun tidak ada ambang batas, jumlah kandidat yang maju dalam pemilu tetap terkendali. Prancis, yang menerapkan pemilu dua putaran, juga memberikan contoh bagaimana sistem yang terstruktur dapat menangani keragaman kandidat tanpa menimbulkan keruwetan.
Solusi untuk Sistem Pemilu ke Depan
Untuk menghadapi tantangan di era tanpa PT, beberapa langkah dapat diambil:
-Penyaringan Awal Kandidat: Aturan baru seperti pengumpulan tanda tangan dukungan rakyat dapat diterapkan untuk memastikan kandidat memiliki basis dukungan yang cukup sejak awal.
-Debat Terbuka dan Terfokus: Debat kandidat harus dirancang lebih efektif dengan tema-tema spesifik agar publik bisa menilai kapabilitas calon secara objektif.
-Edukasi Politik: Pendidikan politik bagi masyarakat perlu ditingkatkan agar mereka dapat memilih berdasarkan kualitas calon, bukan hanya popularitas atau pencitraan.
-Pemilu dengan Teknologi Canggih: Penggunaan teknologi dalam penghitungan suara dan logistik pemilu dapat mempercepat proses serta mengurangi potensi kecurangan.
Bagaimana ke depan?
Melihat ke belakang, putusan ini menjadi pengingat bahwa MK pernah gagal menjalankan fungsinya sebagai penjaga konstitusi. Entah karena tekanan politik atau kurangnya keberanian moral, MK periode lalu membiarkan PT terus berlaku meski jelas-jelas melanggar hak konstitusional rakyat. Kini, MK telah menebus kesalahan itu, tetapi catatan kelam di masa lalu tetap menjadi pelajaran penting.
Penghapusan PT adalah langkah maju menuju demokrasi yang lebih inklusif. Meski membawa tantangan baru, era tanpa PT memberikan harapan bagi terciptanya sistem politik yang lebih adil dan bebas dari dominasi partai. Seperti kata filsuf John Stuart Mill: “Kebebasan tidak hanya kebebasan dari, tetapi juga kebebasan untuk.”
Kini, rakyat Indonesia memiliki kebebasan untuk memilih tanpa dibelenggu aturan yang membatasi. Tantangan yang muncul harus dihadapi dengan reformasi sistem pemilu yang bijak, demi memastikan demokrasi Indonesia tetap kuat dan bermartabat.