Amnesty Desak Evaluasi Penggunaan Senpi TNI-Polri

Polisi dan TNI AL masih menelusuri kasus penembakan bos rental mobil berinisial IA (48) dan R (59) di rest area Km 45 Tol Tangerang-Merak. Sejauh ini, tiga prajurit TNI AL dan dua warga lainnya telah diamankan.
Peristiwa tersebut terjadi pada Kamis (2/1/2025) saat IA dan rekan-rekannya sedang melacak mobil Brio yang awalnya disewa oleh warga Pandeglang bernama Ajat Supriatna (AS).
Pemilik awal mobil alias bos rental melakukan pelacakan dan menemukan mobil itu di rest area Tol Tangerang. IA dan rekan-rekannya hendak mengambil mobil, namun terlibat keributan dengan pihak yang membawa mobil tersebut, yakni AA dan rekan-rekannya, hingga terjadi penembakan yang menewaskan IA dan melukai R.
Setelah diusut, tembakan itu diduga berasal dari pistol yang merupakan inventaris dinas prajurit TNI AL Sertu AA, yang bertugas sebagai seorang ajudan. Selain AA, ada dua prajurit TNI AL lain yang telah diamankan terkait kejadian itu, yakni Sertu RH dan Kelasi Kepala RA.
Merespons kasus penembakan warga sipil yang dilakukan prajurit TNI AL, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menyangkan bahwa keterlibatan senjata api oleh aparat hukum masih terus terulang.
“Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi. Perbuatan mereka jelas melanggar hak asasi manusia. Sayangnya perilaku aparat memakai senjata api secara tidak sah terus berulang, seakan tak ada upaya perbaikan dari pimpinan lembaga-lembaga terkait seperti TNI dan Polri,” ujar Usman, Selasa (7/1/2025).
Lebih lanjut, ia meminta ada evaluasi terkait penggunaan senjata api oleh aparat. Dia mengatakan harus ada aturan tegas disertai sanksi berat agar aparat tak sembarangan menggunakan senjata api.
“Pembunuhan di luar hukum melanggar hak hidup. Lingkaran impunitas ini harus segera dihentikan agar ke depannya tidak ada lagi korban jatuh akibat penyalahgunaan wewenang aparat,” kata dia.
Adapun berdasarkan data yang dihimpun, tahun 2024 sudah terjadi 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan jumlah korban 55 yang pelakunya mayoritas berasal dari aparat kepolisian maupun militer. Sebanyak 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 berasal dari pasukan gabungan TNI-Polri.
Selang dua hari di awal tahun 2025, pembunuhan di luar hukum kembali terjadi pada 2 Januari yang melibatkan prajurit TNI AL.
Menurutnya, pelaku harus diadili melalui peradilan umum bukan peradilan militer yang prosesnya cenderung tertutup dan tidak transparan. Dia pun mendesak agar DPR melakukan reformasi sistem peradilan militer.
“Oleh karena itu kami mendesak pemerintah dan DPR untuk segera melakukan reformasi sistem peradilan militer dengan merevisi Undang-Undang Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997. Revisi ini harus memastikan bahwa pelanggaran hukum pidana umum yang dilakukan oleh personel militer dapat diproses melalui peradilan umum, sesuai amanat Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004. Hanya dengan langkah ini kita dapat memastikan keadilan yang sesungguhnya bagi para korban dan mengakhiri impunitas yang telah berlarut-larut,” ucapnya.
Dia juga meminta kelalaian polri dalam mencegah terjadinya penembakan pada 2 Januari 2025 tersebut juga harus menjadi perhatian serius dari institusi kepolisian.
“Kelalaian aparat yang berujung pada kematian warga sipil harus dipertanggungjawabkan secara pidana dan tidak hanya berhenti pada ranah etik,” tandasnya.