1,4 Juta Driver Ojol Terancam Nganggur Gegara Aturan Baru, Ekonomi RI Bisa Ambruk Rp178 T


Rencana kebijakan reklasifikasi mitra pengemudi ojek online (ojol), taksi online, dan kurir logistik menjadi karyawan tetap menimbulkan kekhawatiran di berbagai sektor. Berdasarkan kajian internal dan analisis lembaga independen, kebijakan tersebut dinilai berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi digital nasional, meningkatkan pengangguran, hingga mengganggu ekosistem UMKM yang saat ini sangat bergantung pada layanan platform digital.

Menurut data dari Svara Institute tahun 2023, perubahan status kerja dari mitra menjadi karyawan hanya memungkinkan 10–30% dari total mitra yang ada saat ini untuk tetap terserap bekerja. Artinya, sekitar 70–90% mitra pengemudi terancam kehilangan sumber penghasilan. Hal ini berdampak langsung terhadap perekonomian digital dan berpotensi menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 5,5%.

“Jika dihitung secara keseluruhan, potensi kerugian ekonomi akibat kebijakan ini bisa mencapai Rp178 triliun,” tulis laporan itu, mengacu pada multiplier effect dari sektor logistik, UMKM, hingga konsumsi masyarakat yang menurun.

Berdasarkan data ITB (2023), industri ojol, taksol, dan kurir saat ini menyumbang 2% terhadap PDB nasional. Reklasifikasi akan mengganggu peran strategis sektor ini sebagai bantalan ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Efek Domino dan Ancaman ke UMKM

UMKM diprediksi menjadi pihak yang paling terdampak. Banyak pelaku usaha mikro yang menggantungkan pengiriman produk melalui mitra logistik instan. Kenaikan harga layanan akibat kewajiban pemberian upah minimum dan manfaat karyawan akan mengerek beban operasional.

“Restoran online, apotek digital, hingga toko daring di e-commerce besar seperti Tokopedia dan Shopee sangat bergantung pada layanan kurir instan. Tanpa efisiensi biaya, mereka akan kesulitan bertahan,” ungkap Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara dalam laporan tersebut dikutip, Selasa (22/4).

Studi dari Tenggara Strategics dan CSIS tahun 2019 menyebutkan bahwa setiap kenaikan 10% jumlah mitra pengemudi dapat meningkatkan lapangan kerja di sektor mikro dan kecil hingga 3,93%. Maka dari itu, pengurangan jumlah mitra secara signifikan akan membawa efek domino pada banyak sektor ekonomi lainnya.

Pembelajaran dari Luar Negeri

Negara-negara seperti Spanyol, Swiss, dan Amerika Serikat telah mengadopsi kebijakan reklasifikasi, namun hasilnya memunculkan konsekuensi serius.

Di Spanyol, 83% mitra Glovo diputus kontrak karena perusahaan tidak mampu menyerap seluruh pengemudi. Di Geneva, Swiss, jumlah mitra pengemudi turun 67% dan mayoritas tidak mendapat pekerjaan pengganti dalam waktu enam bulan. Di AS, sejak penerapan upah minimum, layanan UberEats di Seattle anjlok 45% karena tarif naik dan permintaan merosot.

Kehilangan Kepercayaan Investor

Selain dampak sosial, kebijakan ini juga dipandang dapat mengikis kepercayaan investor global terhadap iklim digital Indonesia. Hilangnya fleksibilitas platform digital untuk merekrut dan mempertahankan mitra berisiko memicu hengkangnya modal asing dari sektor teknologi dan transportasi daring.

“Kita tidak boleh gegabah menyalin kebijakan dari negara lain tanpa regulatory impact assessment yang menyeluruh. Situasi sosial dan struktur tenaga kerja kita berbeda,” ujar sumber dari asosiasi industri transportasi digital.

Pemerintah diimbau untuk berhati-hati dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk keberlanjutan platform digital, perlindungan pengemudi secara adil, serta keberlangsungan UMKM sebagai tulang punggung ekonomi nasional.

Exit mobile version